W~~UJUD pamerannya tampak bersama ~antara Affandi, Widayat, dan Nyoman Gunarsa. Itu di Galeri Rudana, Ubud, Bali, akhir Mei hingga pertengahan Juni ini. Affandi, di atas 80 tahun, adalah ~guru Widayat. Widavat. 66 tahun. adalah guru Nyoman Gunarsa. Ketiganya punya aktivitas yang menggembirakan. Puluhan kali pameran di dalam dan luar negeri, Affandi adalah penerima penghargaan nasional dan internasional. Widavat, yang sudah menerima Anugerah Seni RI itu, juga telah menggelarkan karyanya di empat benua. Nyoman Gunarsa, 44 tahun, pemenang Pameran Dwiwarsan Indonesia, sudah pula berpameran di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia. Terdiri atas 72 karya, pameran dimaksud sembari menyambut Sketsa Widayat dan Nyoman Gunarsa. Kitab dengan pengantar Kusnadi itu diterbitkan oleh I Nyoman Rudana. Semua itu biayanya lebih dari Rp 20 juta. Ia tidak pusing apa buku itu kelak laris atau bakal menghuni gudangnya. Di Bali, Rudana, 40 tahun, pemilik galeri terbesar di samping Suteja Neka dan Agung Rai. Pernah memamerkannya di Jerman Barat pada 1981, ia menyimpan tiga ribu karya para pelukis Indonesia. Di antaranya 50 koleksi pribadi yang tak dilegonya. "Saya simpan untuk sejarah," katanya. Pameran itu dalam dua ragam: sketsa dan lukisan cat minyak yang dihadirkan Widayat dan Gunarsa. Sedang Affandi menggantung 12 lukisan cat minyak terbaru (1988). Kehadiran Affandi, kata Rudana, adalah kehormatan, dan diharap jadi gambaran kekukuhan seni lukis Indonesia kontemporer. Penampilan sketsa di ruang awal sebagai penuntun menuju ruang lukisan cat minyak. Rangkaian ini mengingatkan kita pada sebuah sketsa yang dijadikan basis penciptaan. Lahirnya sebuah sketsa adalah indikasi kuat bagaimana lukisan besar itu muncul. Sketsa-sketsa Widayat berangkai~ historik, dari awal kariernya sampai 1980-an. Jajaran itu tampak satu wujud yang tak terlalu lekat dengan lukisan cat minyaknya--malah seperti sesuatu yang khusus. Sketsa-sketsanya, seperti juga lukisannya, bertabur fantasi. Sketsa Topless Tree (1985), misalnya, terasa lebih kaya dari sejumlah lukisannya. Sketsa ini bermula dari sekadar merespon lelehan tinta di kertas, yang serta merta mirip pohon. Lelehan itu juga bendulan erotik: Widayat meresponnya ke dada wanita. Dan pada bentuk "pohon" itu tersangkut sejumlah tubuh wanita telanjang. Terasa surealistik, tapi humoristik. Dari tujuh sketsa Widayat, beberapa dibubuhi warna. Sampai di sini, muncul "gugatan" dan pertanyaan: apa sketsa yang berwarna itu bukan lukisan, walau dihaturkan di atas kertas? Bl~ue Figures (1985) misalnya. Sketsa Widayat menggetarkan. Sketsa tahun 1950-annya menunjukkan keluwesan bentuk dan kepekaan menangkap obyek. Sejumlah presisi masih diperjuangkan. Walau karya-karya itu tadinya sebagai sarana studi, toh hadir utuh - seperti Studi Menggambar Pantat Sapi atau Permulaan Studi Menggambar Nude (1952). Perkembangan bentuk Widayat, setelah di atas 1970, menuju ke naif, dan lebih unik. Terpatah-patah, dengan distorsi sosok obyek yang cenderung mengurus, dirangkum dalam adegan. Sketsa-sketsa itu lantas membentuk cerita, surealistik, dan primitif. Primitivitas Widayat makin terlihat pada 14 lukisannya. Kuat mengeksploitasi tekstur, warna, dan bentuk duma flora fauna. Sugesti jagat alam masa lalu menyembur dari tangan dosen seni rupa Institut Seni Indonesia ini. Bentuknya yang mengacu pada lukisan purba di gua-gua, warnanya cenderun~g hijau, hitam kecokelatan. Strukturnya masif, menghadirkan karya lukis seperti sunggingan di atas batu. Dekoratif coraknya, dan berat wataknya. Tetapi sketsa dan hlkisan Nyoman Gunarsa adalah suatu kesatuan yang lekat. Boleh disebut lukisan cat minyak Gunarsa itu sketsa yang diberi warna, atau sebaliknya. Kekuatannya: spontan, dinamis, meriah, manis. Berbagai obyek santapannya, seperti dalam Rejang Dancer atau The Warrior (keduanya tahun 1988) ditarik ke suasana yang sama: gembira bergemerincingan dalam frame. Gunarsa menampilkan 26 sketsa dan 13 lukisan--umumnya berukuran mengentak dinding. Di Sekolah Tinggi Seni Rupa "Asri", Gunarsa adalah pengajar sketsa yang piawai. Ia dianggap pelukis yang menawarkan kesatuan yang pepal antara lukisan dan pigura--menjadikannya tak bisa diplsahkan. Pigura berukir itu dirancangnya sendiri. Beda dengan karya-karya Affandi. Bunga Matahari atau seperti Jembatan Bambu, walau masih obyek memikat baginya, daya gores dan pelotot Affandi tidak lagi sesemarak bunga matahari atau seulet bambu. Lukisan Affandi itu melemah, kecuali hanya terkandung spiritnya belaka. Ia sudah kurang kontrol. Maka, Rudana juga memasang karya Affandi semasa jayanya. Di antaranya, Barong Dancer (173, koleksi Suteja Neka) dan Cock Fight (1980, koleksi Agung Rai). Di situ, dulu, Affandi memang pelukis yang digdaya. Kesehatan Affandi belakangan ini tidak menguntungkan. Konon, ia mau menyumbangkan sebuah karyanya untuk Pemda Bali - negeri yang banyak memberi inspirasi seni lukis padanya. Begitu akan berangkat, penyakitnya kambuh. Affandi diwakili Rudana. Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra terharu menerima lukisan itu. Agus Dermawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini