Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perang yang tak selesai

Dramatari berjudul duta buta dipentaskan di teater arena, tim. penata tari, wayan diya, menampilkan cerita dengan tokoh calon arang dan empu barada yang terkenal membawa adegan perang yang tak selesai.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CALON Arang versi Bali tidak pernah menyelesaikan soal siapa yang menang. Cerita yang berkisar antara tokoh Calon Arang dan Empu Barada ini - di zaman pemerintahan Erlangga - selalu habis dengan menggantung. Pertunjukan berhenti tatkala peperangan masih berlangsung. Ini agaknya semacam petuah moral, agar setiap penonton ikut aktif melanjutkan sisa pertempuran dalam diri mereka. Maka tampillah penata tari Wayan Diya, di Teater Arena TIM - 4-5-6 Maret - dengan drama-tari Duta Buta. Para pemain telah menabuh gamelan sebelum gong resmi dipukul. Di tembok belakang arena, tampak menara bambu yang tinggi, di puncaknya terdapat bilik yang tertutup korden (langse). Daun daun hijau yang segar - seperti pisang -- dipasang di pintu dan di kaki menara, menimbulkan suasana desa di bawah langit terbuka. S 1000 Lakon mengisahkan saat tatkala Ki Patih Madri diutus sebagai duta, untuk membatalkan lamaran Erlangga kepada Ratna Manggali, puteri ratu Dirah. Calon Arang - ratu Dirah tersebut tetu saja jadi mot-motan. Madri kemudian dianiaya dalam perjalanan pulang. Patih jadi buta, sehingga rakyat Erlangga penasaran. Dengan pimpinan Ki Patih Taskara Maguna, terjadilah pertarungan seru antara pihak Erlangga dengan Dirah. Yang belakangan ini dipimpin oleh Ni Rarung, murid utama Dirah. Di tengah-tengah pertempuran, lampu mendadak padam. Lalu di pojok kanan arena TIM -- dari balik kaca pengamat di tembok atas -- muncul topeng kepala Dirah yang biasa dijadikan oleh-oleh turis yang datang ke Bali. Di bawahnya tertulis: $ 1000. Dengan tetabuhan yang terdengar klasik, Diya berusaha memberi banyak unsur tari dalam tontonannya kali ini. Lebih banyak dari pertunjukan sebelumnya. Ia pun telah mengerahkan isteri dan adiknya - yang terbilang penari-penari tangguh -- untuk memberi andil. Juga ayahnya sendiri, seorang penabuh terompong yang tak asing namanya di studio RRI Denpasar. Ditambah dengan Roda, Kompyang, Sadra serta bebera mahasiswa/siswi IPKJ. Dengan kata lain, potensi sebenarnya cukup. Herannya pertunjukan belum mengulang, setidak-tidaknya, prestasi lakon Cupak dari grup Rasa Dhavani ini di tahun 1975. Tidak sedikit ide-ide segar sempat meletup. Tetapi tak mendapat penyaluran yang tuntas sehingga tinggal menggantung, seakan bagian-bagian lepas. Misalnya ide untuk membuat set panggung yang tinggi dan ide untuk menggantung kepala Dirah sebagai benda oleh-oleh. Apalagi ide memainkan anyaman-anyaman bambu sebagai level - di atasnya bergulatan pemain-pemain -- dalam adegan pertempuran. Tontonan ini secara visuil kaya dan dinamis. Pada bagian-bagian tertentu ada peluang bagi para penari buat memperlihatkan kebolehan. Sayang sekali perekat elemen-elemen itu tidak dikerjakan selesai. Lebih menampakkan kebimbangan Diya: atau dia ingin menggarap secara konvensionil cerita klasik itu, atau mengeksploitirnya sebagai ekspresi aman sebagaimana dikerjakan Sardono. Sebagai penari, dalam memainkan Dirah Wayan tampak unggul. Juga kita sempat mendengar improvisasi kendang yang unik, kuat dan mempesona. Sayangnya tidak didukung oleh banyak pemain pria yang kelihatan bukan penari-penari baik. Meskipun mereka bergerak dalam barisan yang tidak menuntut kejempolan tarian individuil, toh mereka sudah merusak bau sederhana yang menjadi temperamen pokok penampilan Diya. Banyak yang cenderung terlalu dramatis dan emosionil, pada adegan-adegan yang sebetulnya lebih memerlukan suasana rituil dan magis. Barangkali kejadiannya akan lain, seandainya secara merata pelaku pertunjukan punya dasar tari yang kuat. Juga dasar ikatan sebagai satu grup tetap, sehingga tidak terjadi keanekaan takaran dalam gebrakan. Kita masih percaya bahwa Rasa Dhavani berada di tanan yang baik. Ia punya peluang besar sekali untuk bisa komunikatif -- karena adanya tari dan gamelan tradisionil sebagai penopang. Juga banyaknya kemungkinan yang masih bisa mencuat dari topeng-topeng yang mereka miliki. Tinggal menunggu dimainkan oleh orang yang tepat. Masa jedah, yang dilaksanakan dengan memunculkan topeng-topeng satu persatu (sejak pertunjukan-pertunjukan sebelumnya) bisa menjadi sesuatu yang khas grup ini. Tahun lalu misalnya, penari Sardono ikut menyumbang memainkan sebuah topeng dalam adegan ini dengan kocak. Sedang dalam tontonan Cupak dahulu, ada Made Netra dan Soegeng yang menghidupkan bagian tersebut. Sekarang babak tersebut gagal karena lelucon-lelucon yang hendak disuguhkan dikerjakan ragu-ragu. Padahal bila adegan ini hidup, segala kekurangan sebelumnya akan bisa terangkat. Setidak-tidaknya adegan-adegan yang sering disebut bebonresan atau bebagrigan itu, merupakan inti teater Bali yang mengajak penonton setiap kali sadar pada lingkungan mereka. Juga pada hakikat tontonan sebagai tontonan, meskipun merupakan bagian kehidupan yang dikerjakan dengan tak kurang bersungguh-sungguh -- dari misalnya bekerja atau sembahyang. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus