Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran yang berlangsung di Galeri Nasional itu skalanya begitu besar. Hampir seluruh seniman kontemporer kita ikut serta. Semuanya berjumlah 350 perupa. Demikian riuh. Demikian banyak yang bisa dilihat. Demikian beragam. Sampai-sampai seseorang berseloroh, ”Seluruh problem yang ada di Indonesia ada dalam pameran ini.”
Memang, dari kacamata tema, hajatan ini begitu luas. Tapi pengunjung yang rajin mengikuti pameran, lepas dari persoalan konseptual tentang apakah konsep ”seni modern” di Barat dan di sini berbeda atau tidak, bisa menyaksikan ternyata banyak seniman tidak menghadirkan gagasan-gagasan terbaru mereka. Di muka galeri, misalnya, terpacak patung karya Nyoman Nuarta. Sesosok manusia, yang seolah terkibas diterpa angin, di telapak tangannya ada seekor burung. Karya itu masih seperti karya Nyoman pada umumnya.
Tapi, begitu masuk teras, kita melihat Hanafi menyodorkan sebuah instalasi berbentuk gergaji raksasa yang menancap di kayu. Cukup menggairahkan, karena sebelumnya Hanafi tak pernah membuat karya seperti itu. ”Ini lambang kebangsaan yang terkunci,” katanya. Tak jauh dari karya Hanafi, dipasang No Fear, karya lama Awan Simatupang yang cukup kuat. Seonggok timbunan kayu, di atasnya ada semacam kudung seng dengan lubang mata membentuk seraut wajah. Kudung itu berputar.
Sampai di ruang utama, pengunjung akan melihat di tengah ruangan ada sebuah ”mobil balap Formula” berwarna abu-abu. Itulah Xoxoxo karya Pintor Sirait. Di tubuh mobil itu ada ukiran barong, ornamen-ornamen Bali, ada tulisan yang mengesankan huruf Arab atau Palawa. Di rodanya ada kata-kata ”Suck self”. Tak jauh dari patung mobil itu dipasang sebuah patung sapi dengan sekujur tubuh penuh tempelan lempengan kaleng makanan karya Hedi Heriyanto berjudul Where is My Mom.
Empat kurator, Jim Supangkat, Rizki Jaelani, Kuss Indaro, dan Farah Wardani, menangani perhelatan akbar ini. Kriteria seniman yang dipilih adalah mereka yang sudah diakui publik. Meski diadakan berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional, para kurator membebaskan peserta berkarya apa saja. Pemilihan lokasi ruang untuk peserta juga luwes, mempertimbangkan konsep karya. ”Saya diberi ruang dekat pintu yang berjeruji agar seperti penjara,” kata Agoes Jolly, yang pada malam pembukaan menampilkan performa seseorang yang tengah kesakitan memikul kaleng-kaleng minyak.
Kita melihat banyak nama perupa muda yang belum pernah berpameran tunggal—tapi karya mereka menarik—diundang pada acara ini. Simak misalnya lukisan berformat besar dari Dul Ahmad Besari berjudul Under Shadow. Seorang laki-laki telanjang dada duduk di kursi, ia kebingungan. Di sisi kiri sekelompok tentara gurun menawarkan baju gamis, di sebelah kanannya para serdadu Romawi menyorongkan setelan jas lengkap.
Pada seksi Seni dan Narasi Sosial yang dikuratori Kuss Indarto, kita bisa menyaksikan karya Ronald Manulang, New Born Jugun Ianfu. Sosok Kaisar Jepang Hirohito mengenakan kimono terbuka; ia bersusu dan perutnya buncit. Sebuah karya Indra Widiyanto berjudul Hiding on the Abbey Road memelesetkan foto terkenal anggota The Beatles—tengah melintasi jalan di Abbey Road. Empat anggota Beatles itu diganti anak-anak jelata yang mengenakan sandal jepit, bertelanjang kaki.
Beberapa nama yang jarang muncul malah tampil apik. Alex Lutfi, misalnya. Ia menampilkan karya foto seseorang berjas, mengenakan topeng babi, mencencang seekor babi berdasi. Judulnya Hewan Perwakilan Rakyat. Juga Iwan Koeswana. Ia menampilkan ”manekin” wanita berkacamata seukuran manusia asli. Perempuan imut-imut itu tengah duduk dan tampak malu-malu. Di pangkuannya tergeletak buku berjudul Mystery of Modern Art.
Pada karya instalasi, sayangnya kejutan yang kita harapkan tak muncul. Mereka memamerkan karya-karya yang telah dikenal publik seni. Heri Dono, misalnya, menampilkan deretan wajah ”serigala listrik” di dinding, yang telah sering ia pamerkan. Yani Mariani Sastranegara menyajikan karya yang memang sudah menjadi trademark-nya: batu-batu tergantung di atas kolam-kolaman. S. Teddy menampilkan pohon tanduk dari pedang.
Kita juga melihat beberapa seniman terus-menerus mengolah gagasan terdahulu mereka. Setiawan Sabana membawa tumpukan buku gosong berjudul Artefak Peradaban Kertas. Hardiman Radjab menghadirkan sebuah koper terbuka penuh air dengan rumah-rumah kecil tergenang. Ada asap mengepul di koper itu seolah air mendidih. Ia sedang mengkritik kasus lumpur Porong.
Tita Rubi menghadirkan enam gerbong lori. Inilah karya yang paling mencolok mata. Karya ini sudah sering ditampilkan, tapi panjang lori kali ini ditambah. Besi-besi untuk bahan lori itu, menurut dia, dibeli kiloan. ”Saya lalu ke pabrik gula di Klaten untuk mengukur lori-lori tebu dan membuat duplikatnya.” Di tiap lori, ia pasang patung-patung lelaki telanjang dengan wajah memilukan. Ingatan kita digiring pada cerita-cerita tentang gerbong maut, gerbong pembantaian. Apalagi sosok patung itu kutung, kakinya patah.
Made Wianta menampilkan karya yang beberapa bulan lalu pernah dipamerkan di Gaya Fusion Bali. Dua kasur ditaburi kaca-kaca tajam. Lalu ada tirai kawat besi di tengahnya. Karya ini terasa mengiris. ”Ini soal hubungan manusia di atas kasur yang perih, pedih,” katanya. Amrizal Salayan menampilkan deretan patung—seperti selongsong mumi yang pernah digelar di Selasar Sunaryo.
Akan halnya Andar Manik, ia membawa sebuah lemari yang penuh berisi barang personal dari keluarganya: dari mainan anaknya, foto perkawinan dirinya, sampai foto orang tuanya. Sebuah lagu When I’m 64 dari Beatles mengalun dari laptop. Karya ini pernah ia pamerkan di Bienial Kwangju, Korea, 2004. Ia memberinya judul Museum Personal. Adapun Bunga Jeruk menghadirkan patung seorang gadis kecil tengah jongkok di depan seekor beruang putih. Tangan anak itu memegang gelas plastik seolah ingin memberi si beruang air.
Redy Rahadian menghadirkan patung permainan keseimbangan No Pain No Gain, yang sebetulnya bukan karya terbaiknya. Agus Suwage menyajikan sebuah sekop panjang dengan tiga burung gagak hitam bertengger di atasnya. Judulnya Dead Poet Society. Yusra Martunus menampilkan sebuah gagang pintu di atas kanvas putih. Sementara itu, Bambang Toko Witjaksono membikin humor. Karyanya berjudul Bagaikan Musang Berbulu Tangkis menghadirkan sebuah kotak kaca berisi musang yang diawetkan, dengan tangannya memegang raket.
Ada sebuah karya kecil yang kontemplatif. Itu adalah patung karya Nurdin Ichsan, A Half of Bridge. Sesosok lelaki dan anjing berdiri di ujung sebuah ketinggian. Wajah laki-laki dan anjing itu menunduk seolah tanpa harapan. Patung ini terasa liris. Juga karya Jompet, yang dikenal sebagai pemusik alternatif dari Yogyakarta. Sebuah jaket, sepatu, dengan tambur dan stik tergantung di ruangan. Ada video kecil di tengah jaket itu yang berisi tayangan gerak seseorang yang tengah mencambuk. Setiap cemetinya menggeletar, stik bergerak sendiri memukul tambur.
Manifesto adalah sebuah kesempatan bagus. Seharusnya ini menjadikan seniman menampilkan karyanya yang paling provokatif. Paling tidak inovasi dari perkembangan karya-karyanya sebelumnya. Pada perhelatan ini dapat kita lihat siapa seniman yang terus gelisah dalam berkarya dan siapa yang tidak maksimal, yang asal kirim saja.
Selain karya Hanafi di atas, misalnya kita lihat Dipo Andi termasuk yang terus bergulat. Ia bereksperimen dengan pelat-pelat sepeda motor. Pelat-pelat nomor ia susun rapi selang-seling dengan koran-koran tempo doeloe: Ra’jat Bergerak, Daulat Rakjat, Boedi Oetomo, De Express. ”Saya suruh bengkel pelat mobil mengerjakan pelat-pelat ini,” ujarnya.
Demikian perhelatan ini bagaikan sebuah dokumentasi akbar. Sebuah momen yang menggabungkan karya-karya yang selama ini kita lihat dalam pameran terpisah-pisah. Dan ternyata Galeri Nasional memiliki ruang yang cukup layak untuk menampung perhelatan ”raksasa” ini. Pembenahan arsitektur Galeri Nasional cukup efektif. Dari ruang tengah ada tangga yang bisa langsung membuat pengunjung menuju sayap kanan dan kiri galeri.
”Manifesto ini bukan sekadar pameran. Ini adalah persetujuan 350 seniman Indonesia terhadap konsep ’seni’ yang kami ajukan kepada mereka,” kata Jim Supangkat. Menurut Jim, dengan hajatan ini, tim kurator menolak kecenderungan persepsi seni rupa modern yang sejak Immanuel Kant melulu dipersempit sebagai semata-mata pengalaman visual tapi melupakan pengolahan rasa.
Persepsi seni 350 seniman kontemporer ini, menurut dia, tetap mengutamakan pengalaman rasa. Karya mereka ini, dikatakannya, memberikan bukti bahwa karya-karya perupa kontemporer Indonesia bisa mandiri tanpa perlu berkaca selamanya pada apa yang disebut ”indah” dari persepsi global. ”Ini sama dengan persepsi ’seni’ para tokoh modernis, seperti RA Kartini, Douwes Dekker, dan Raden Saleh,” ujarnya. Ya, pesta yang menyegarkan, meski gagasan-gagasan mengejutkan yang muncul belum cukup merata.
Seno Joko Suyono, Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo