Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASJID Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Senin subuh pekan lalu. Pagi itu salat subuh terasa lebih khidmat. Pada rakaat kedua, doa qunut dibaca lebih khusyuk. Banyak anggota jemaah yang meneteskan air mata. Sesekali terdengar suara sesenggukan pelan tertahan. Dukacita menyelimuti segenap warga pesantren.
Pagi itu Pesantren Lirboyo kehilangan K.H. Abdullah Maksum Djauhari?pengasuh pondok yang biasa dipanggil Gus Maksum. Ia wafat pada pukul 1 dini hari di rumahnya di Kanigoro, Kediri, dalam usia 59 tahun.
Sepuluh tahun terakhir, cucu K.H. Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, itu memang mengidap kencing manis dan asam urat. Setahun be- lakangan ini, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Nyai Siti Lailatul Qomariah, istrinya yang kedua. Maksum wafat meninggalkan dua istri tanpa anak dan seorang anak angkat bernama Jamil, 10 tahun.
Maka berita kematian Gus Maksum segera menyebar seperti lebah. Selepas subuh, ribuan alumni Pesantren Lirboyo dari berbagai kota di Jawa Timur berdatangan. Termasuk kelompok pencak silat Pagar Nusa, "pengawal" Nahdlatul Ulama, pimpinan almarhum. Ketika jenazah diusung ke pesantren dan disemayamkan di rumah istri pertamanya, Nyai Badi'ah, sedikitnya 10 ribu santri menyambut dengan linangan air mata. Hampir semua ruas jalan dari Kanigoro hingga Kediri luber oleh warga yang menyemut.
Sekitar pukul 10.45 WIB, jenazah yang diselimuti kain batik cokelat itu dibawa ke masjid yang penuh sesak. Satu jam kemudian, jenazah dibawa ke pemakaman di belakang masjid. Acara pemakaman dipimpin K.H. Zainudin dari Pondok Pesantren Maesan, Mojo, Kediri. Dengan iringan surat Al-Ikhlas, ayat Kursi, dan tahlil, jenazah dimakamkan.
Gus Maksum adalah bungsu dari empat bersaudara anak pasangan K.H. Djauhari dan Nyai Siti Aisyah. Ia adalah generasi ketiga pengelola Pesantren Lirboyo.
Ia pemberani dan kepemimpinannya diakui. "Almarhum adalah sosok yang tegas, berwibawa, dan pemberani sejak muda," kata K.H. Idris Marzuqi, salah seorang pengasuh Pesantren Lirboyo.
Idris bercerita. Pada 1959, di sekitar Lirboyo banyak penodong dan pencopet yang menggangu santri. Ketika itu, almarhum, yang baru 15 tahun, turun tangan "membersihkan" pengganggu.
Pada 1964, konflik horizontal men- jelang peristiwa G30S pecah. NU dan PKI?dua organisasi massa berideologi berbeda?berseteru. Dalam sebuah insiden, K.H. Abdullah Djauhari, ayahanda Maksum, diculik anggota Barisan Tani Indonesia (BTI)?organisasi ke- masyarakatan tani milik Partai Komunis Indonesia. Dalam peristiwa itu disebut-sebut BTI menginjak-injak Al-Quran di dalam masjid. Tanpa takut Maksum datang menjemput sang ayah langsung ke markas BTI. Dalam situasi konflik yang mencekam, keberanian Maksum itu sebetulnya sangat berisiko. Tapi ia selamat. "Gus Maksum merupakan pelaku sejarah penumpasan pemberontakan Gerakan 30 September," kata Idris.
Setelah tragedi 1965 lewat, Maksum memfokuskan diri pada pengembangan masyarakat. Ia pernah "menyulap" sebuah desa di Kecamatan Semen, Kediri, di lereng Gunung Wilis?yang ketika itu terkenal sebagai "desa maksiat"?menjadi desa santri.
Lima tahun terakhir, Gus Maksum menyantuni ratusan pemuda yang kecanduan narkoba. Almarhum menyediakan sebidang kebun belimbing yang sejuk di lereng Gunung Kelud bagi mereka untuk merenung. Terapinya unik: pasien diberi makan kurma sebanyak-ba nyaknya, tanpa kekerasan seperti yang banyak dilakukan di pusat rehabilitasi. "Sayang, cita-cita almarhum untuk mendirikan pesantren khusus pecandu narkoba belum kesampaian," kata Idris.
Meski berjubah seperti halnya ulama, almarhum dikenal eksentrik. Selain memelihara rambutnya yang gondrong, Maksum penggemar mobil VW Kombi dan penyayang binatang. Di sekeliling rumahnya, ia memelihara berbagai burung, ikan, orang utan, dan buaya.
Ketika Partai Kebangkitan Bangsa pecah, almarhum sempat bikin bingung para ulama. Sementara banyak kiai membela Abdurrahman Wahid, Gus Maksum terkesan membela Matori Abdul Djalil. Katanya, "Seharusnya Pak Matori dipanggil dulu, ditanya apa motifnya, baru diambil tindakan." Ketika Matori menggelar muktamar luar biasa di Jakarta, sementara Alwi Shihab bermuktamar di Yogya, almarhum mengiyakan saja namanya dicantumkan di dua kubu. "Dua-duanya minta saya datang. Yang di Jakarta saya kirimi dua pendekar Pagar Nusa untuk mengamankan. Yang di Yogya enggak perlu saya kirimi pendekar karena sudah pasti aman," katanya ketika itu.
Kini kiai pendekar itu telah pergi. Ia dimakamkan di makam keluarga bersama pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo lainnya: K.H. Abdul Karim, K.H. Mahrus Ali, K.H. Marzuki, dan K.H. Djauhari.
Budiman S. Hartojo, Dwidjo U. Maksum (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo