Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekejian dan Keserakahan Pada akhirnya, 2003 menunjukkan: kita masih jauh dari kemakmuran dan keamanan, dan lebih dekat pada kekejian dan keserakahan. Dibuka dengan sebuah pengumuman status darurat militer di Aceh pada 19 Mei silam, pemerintah menyajikan konsep kedaulatan dan keamanan negeri. Ratusan jiwa berjatuhan, termasuk nyawa warga sipil yang tak berdosa, namun pemerintah masih belum puas. Maklumlah, para pentolan Gerakan Aceh Merdeka justru belum terjerat. Maka operasi militer itu pun diperpanjang enam bulan lagi, 19 November lalu. Bara api konflik ternyata juga masih mengeram di berbagai belahan Bumi Pertiwi. Di Poso, Sulawesi Tengah, beberapa pertempuran baru meletup. Di Papua, niat memekarkan wilayah ternyata berbuntut amuk massa. Adapun di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, persidangan telah berubah menjadi kobaran api. Tapi pada 5 Agustus lalu, warga Republik akhirnya semakin menginsafi, betapa rapuhnya keamanan justru di jantung Indonesia. Pengeboman di Hotel JW Marriott telah membuktikan semuanya. Aparat memang semakin rajin menelisik dan mengungkap jaringan terorisme di Nusantara. Namun sayang, Dr. Azahari bin Husin, lelaki asal Malaysia yang dituding sebagai otak di balik serangkaian bom di Indonesia, justru raib, tak tentu rimbanya. Nasib tenaga kerja Indonesia yang tersia-sia di negeri tetangga pun semakin melengkapi kesuraman itu. Sayang, pemerintah seolah masih menutup mata terhadap penderitaan mereka. Maka, awal tahun 2004, dengan harapan pelaksanaan pemilihan umum, perbaikan dan perubahan tak boleh hanya menjadi pengumbaran janji.
Pelarian Panjang Dr. Azahari Di sebuah siang tanpa dosa, tanggal 5 Agustus lalu, sebuah bom mengubah Hotel JW Marriott menjadi neraka. Mereka yang tengah berada di Restoran Syailendra, di kawasan yang penuh ekspatriat itu, menjadi korban lanjutan dari rangkaian teror di negeri ini. Dua belas orang tewas dan ratusan orang luka-luka. Sebuah kepala milik Asmar Latin menjadi pertanda, dan sebuah kesimpulan disiarkan: ini bom bunuh diri. Kawan Asmar, Sardona Siliwangi, memastikan potongan kepala berpitak itu milik Asmar. Dari mulut Sardona, keluar dua nama warga Malaysia, di antaranya Dr. Azahari bin Husin, yang selama ini tersohor sebagai ahli bom dari Johor. Ini masih menjadi lanjutan dari kisah keji rangkaian bom yang meluluhlantakkan Paddy's Café dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 lalu, yang kemudian menyeret sejumlah nama: Amrozi, Imam Samudra, Muchlas. Penangkapan demi penangkapan kemudian berlanjut di seluruh Indonesia, dari Riau sampai Palu, Sulawesi Tengah. Namun, Azahari, mantan dosen Universitas Teknologi Malaysia, tak terjaring. Azahari baru diketahui posisinya berada di Bengkulu, setelah polisi mencokok Idris alias Gembrot di Medan, Mei 2003 lalu. Namun, belum sempat di- libas, Azahari dan karibnya, Noordin M. Top, serta anggota rekrutan baru Asmar Latin Sani, telah meninggalkan kota itu. Bahkan, bertiga, mereka punya rencana gawat: meledakkan Jakarta. Setelah polisi berhasil menangkap anggota komplotan Tohir, di Cirebon, awal November lalu, saat itu polisi yakin Azahari bercokol di Bandung. Di Kota Kembang itu, lagi-lagi Azahari nyaris membuat gempar. Ia hendak menghajar Bank Standard Cartered dan Citibank Dago. Untung saja keburu terbongkar. Namun, polisi hanya gigit jari setelah master bom itu tak ada lagi di tempat kosnya di Taman Sari, Bandung. Untung, bom-bom hasil rakitannya tak sempat ia bawa. Untuk sementara, polisi mungkin berhasil menjinakkannya. Tapi Dr. Azahari—dengan atau tanpa samaran—masih menjadi hantu di mana-mana.
Jalan Berdarah di Serambi Mekah PERUNDINGAN yang dibangun hampir setengah tahun itu akhirnya porak-poranda. Kesepakatan damai Cessation of Hostility Agreement (COHA) antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) gagal total. Kedua pihak saling tuding sebagai biang perusak jalan damai. Joint Security Committee beranggotakan RI, GAM, dan Henry Dunant Center pun dihentikan. Ujungnya, Presiden Megawati Soekarnoputri menghadiahkan status darurat militer untuk Bumi Serambi Mekah. Maka sejarah pertikaian pun berulang. Operasi militer—yang dikhawatirkan semua pihak—akhirnya disahkan melalui Keputusan Presiden No. 28/2003 pada 19 Mei lalu. Mereka, para penguasa pengambil keputusan, tampaknya tak pernah belajar dari sejarah. Terbukti di lapangan, perang hanyalah jalan berdarah yang menyisakan derita, luka, dan korban sia-sia. Tak hanya pihak bertikai yang terkena dampak. Orang-orang yang tak bersalah pun menjadi tumbal pralaya. Malaikat maut enggan beranjak dari kubangan darah itu. Menurut Kepala Penerangan Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Letkol CHB Firdaus, selama enam bulan pertama darurat militer, 294 prajurit menjadi korban. Sebanyak 88 orang tewas dalam kontak senjata dan kecelakaan operasi. Sementara itu, TNI mengklaim telah menewaskan 839 orang serta menawan 989 orang, dan 438 orang anggota GAM menyerahkan diri. Sipil juga menanggung prahara perang. Firdaus mengungkapkan, dari 400 jiwa lebih korban sipil, 316 di antaranya menemui ajal. Sedangkan 5.000 penduduk terpaksa mengungsi dan 600 sekolah dibakar. Tapi banyak pihak meragukan laporan soal kematian sia-sia ini. Sebab, awal September lalu, pemerintah telah mengakui 544 orang warga sipil menjadi korban: 319 tewas, 117 luka-luka, dan 108 orang hilang. Lagi-lagi pemerintah tak juga jera. Setelah enam bulan pertama usai, status darurat militer diperpanjang untuk masa 6 bulan lagi sejak 19 November 2003. Padahal tak pernah ada evaluasi lengkap dan transparan tentang hasil periode pertama. Hanya retorika sumbang para punggawa negeri yang bermunculan. Meski dikritik habis, keputusan tak bisa diubah. Perang, perang lagi, semakin tak pasti....
Rusuh Tak Kunjung Padam Ibarat peta raksasa yang dihiasi berbagai titik yang membara, kira-kira itulah wajah Tanah Air di sepanjang 2003. Di sejumlah daerah, kekerasan bergolak, sampai-sampai memetik nyawa. Selisih berpangkal pada macam-macam hal: agama, pemekaran wilayah, atau arogansi aparat negara. Satu contoh bisa jelas dilihat di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, pada awal Desember lalu. Sejumlah anggota TNI "berperang" melawan rekan-rekannya dari Kepolisian RI—kedua pihak luka-luka. Peristiwa serupa terjadi pada Februari silam ketika puluhan anggota TNI menyerang Markas Kepolisian Resor Kota Dumai. Enam bulan kemudian, nun jauh di Timika, Papua, kekerasan kembali terjadi akibat pro-kontra pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Konflik muncul karena pelaksanaan dua aturan yang bertentangan: UU Pemekaran Papua Tahun 1999 dan UU Otonomi Khusus Papua Tahun 2001. Sebulan berlalu, tiga orang mati di Sulawesi Selatan—lagi-lagi karena konflik pemekaran wilayah di Kabupaten Polewali Mamasa. Di akhir September, kerusuhan merambah hingga ke Sumbawa Besar, yang mendidih oleh amuk massa selama dua hari. Memboyakkan rupa-rupa fasilitas umum, kerusuhan itu menghilangkan nyawa Gathan, 26 tahun, seorang warga yang terkena peluru polisi saat membantu menenangkan massa. Amuk itu muncul setelah Mustakim, 22 tahun, mahasiswa Universitas Samawa, tewas di tahanan polisi sehari sebelumnya. Belum juga reda urusan di Sumbawa, pertikaian berdalih agama pecah di Sulawesi Tengah pada 10 Oktober. Lima desa di Kabupaten Morowali diserang pada dini hari, yang menewaskan 13 orang warga pemeluk Kristen. Dan kekerasan menular ke belahan timur Indonesia ketika Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menjadi ajang rusuh. Gedung pengadilan dan kejaksaan di Larantuka dibakar massa hingga rata tanah. Hal itu terjadi setelah Romo Frans Amanue—pastor yang giat membuka kasus-kasus korupsi Pemerintah Daerah Flores Timur—di- vonis dua bulan penjara dalam perkara melawan Bupati Flores Timur, Felix Fernandez. Tahun berakhir. Namun aneka konflik dan kekerasan tampaknya belum padam membakar "peta raksasa" Indonesia.
Duka Pahlawan Ternistakan CUKUP lama bangsa ini hanya mengenal pahlawan tanpa tanda jasa—istilah penghibur bagi para guru yang rendah gajinya. Kini, muncul istilah baru: pahlawan ternistakan. Merekalah para tenaga kerja Indonesia (TKI), yang dielu-elukan sebagai pemasok devisa tapi tak pernah dengan sungguh-sungguh dilindungi hak-haknya. Sekitar 2 juta TKI kini mengadu nasib di negeri seberang. Mereka bukan sekadar solusi bagi pengangguran yang mencapai 10 juta orang. Mereka penyumbang devisa yang tak bisa diremehkan: pada 2003, misalnya, para TKI menyumbang sekitar US$ 3 miliar. Tapi, jangankan penyematan tanda jasa, perlindungan hukum layaknya warga merdeka pun seperti tak pernah mereka terima. Sebelum berangkat, calon TKI harus berhadapan dengan keserakahan pengusaha pengerah jasa tenaga kerja. Di seberang lautan, mereka harus siap menerima azab dan siksa. Sampai kuartal ketiga tahun lalu, dari 1,8 juta TKI, sekitar 20 ribu tersangkut berbagai musibah: sakit, di bui, tak digaji, diperkosa, atau dianiaya hingga tewas. Lolos dari "kekejaman" majikan, saat pulang ke Tanah Air, di Terminal III Bandara Soekarno-Hatta mereka masih harus berkelit dari rupa-rupa perangkap. Tak jarang, justru di bandara negeri sendirilah para TKI kehilangan upah pengganti cucuran keringat dan darahnya. Sejumlah politikus dan cendekiawan sempat mendesak pemerintah agar menghentikan pengiriman TKI. Tapi, ketika lapangan kerja masih jadi soal, penghentian bukan obat mujarab. Buktinya, bukan hanya pengusaha yang mengajukan protes. Para calon TKI pun turun ke jalan menentangnya. Mereka memang tak minta belas kasihan, tapi lebih pada adanya perlindungan hukum, di mana pun mereka bekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo