Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Perginya Sang Ayatullah Bahasa

Anton Moeliono percaya penguasaan makna kata akan membangkitkan rasa percaya diri pemakai bahasa. Kata-katanya tajam menyengat.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada percakapan dengan Anton Moeliono yang akan selalu saya ingat. Ketika itu, saya sedang mencari informasi mengenai Jurusan Indonesia di lorong Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta. Saya agak bingung, apakah saya harus memilih FSUI atau Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri Jakarta).

Anton Moeliono, yang berada di sana, bertanya, "Kamu mau jadi menteri atau hanya guru di SMP atau SMA?" Dengan bersemangat saya menjawab, "Wah, jadi menteri, dong, Pak!" Dengan tersenyum dia berkata, "Kalau begitu, kamu tidak salah. Di sini tempat kamu belajar menjadi ahli bahasa dan mempersiapkan diri menjadi Menteri P dan K!"

Itulah percakapan saya dengan Prof Dr Anton M. Moeliono, "ayatullah" bahasa Indonesia, 39 tahun yang lalu. Di antara para mahasiswanya, Pak Ton terkenal galak. Kata-katanya tajam dan menyengat. Mungkin banyak orang takut kepadanya. Sebagai calon doktor di bawah bimbingan Pak Ton, saya pun sangat takut kepadanya. Pada saat itu ada empat orang di bawah bimbingan Pak Ton. Semuanya wanita dan satu per satu berguguran dan berganti promotor.

Akhirnya, tinggal saya sendiri. Namun saya memilih bertahan—mungkin karena tidak punya pilihan lain. Pakar semantik leksikal, bidang yang saya pilih, hanyalah Pak Ton. Setiap kali akan menghadap Pak Ton, saya berdoa. Terus-menerus. Jika akan memasuki kantornya di Pusat Bahasa, teman-teman Pusat Bahasa akan mengantar dan mendorong saya masuk ke ruangannya.

Dalam konsultasi itu pula Pak Ton kerap menuturkan impiannya mengenai perkembangan bahasa Indonesia. Pak Ton percaya penguasaan atas makna kata dan penggunaan kata akan membangkitkan rasa percaya diri pemakai bahasa. Menurut dia, kemampuan atas bahasa Indonesia harus didampingi dengan kemampuan berbahasa asing. Pak Ton sendiri menguasai bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Hanya dengan membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa lain, menurut dia, kita dapat mendudukkan bahasa kita dengan baik.

Karier saya di bidang pembinaan bahasa juga tak lepas dari tangan dingin Pak Ton. Saya bersama Prof Dr Riris K. Toha-Sarumpaet dan Dr Josephine Mantik-Kumaat diminta mendampingi Pak Ton sebagai pembawa acara pembinaan bahasa di TVRI. Kami bertiga dikenal sebagai "Anton’s Angels".

Saya belajar banyak dari kegiatan itu. Setiap topik kami bahas bersama dan sering juga kami dibantu teman-teman dari Pusat Bahasa. Pada saat Pusat Bahasa bersama Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan program Pengindonesiaan Kata dan Ungkap­an Asing, saya harus mewawancarai Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan ketika itu, dan Pak Ton. Saya gugup luar biasa. Namun Pak Ton menenangkan saya dan mengatakan, "Kami bukan harimau, lho."

Saya sering mengikuti Pak Ton dan menjadi asistennya. Tidak mudah karena saya harus mencarikan buku yang diinginkannya dan harus berusaha mencarikannya. Kelihatannya, itulah cara Pak Ton memaksa saya membaca. Kemampuan saya dalam bidang linguistik banyak terasah oleh beliau.

Setelah berhasil memperoleh gelar doktor, saya agak takut bertemu dengan Pak Ton karena merasa tidak dapat membuat bangga Pak Ton. Hampir setahun penuh saya menghindari Pak Ton. Suatu saat, dalam sebuah simposium yang diadakan Pusat Bahasa, kami bertemu. Saya minta maaf telah menghindarinya dan menjelaskan alasan saya. Pak Ton kelihatan heran. Katanya, "Kenapa? I’m proud you survive me. Semua pergi kecuali kamu. That makes me so proud of you." Saya terharu.

Hari ini saya tidak menjadi menteri, tapi menjadi ahli bahasa yang berharap dapat meneruskan cita-cita, idealisme, dan keahlian Prof Dr Anton M. Moeliono. Beristirahatlah dengan tenang, Pak Ton.

Felicia N. Utorodewo (pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Pascasarjana UI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus