Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun-tahun pertama Majalah Berita Mingguan Tempo adalah masa ketika sekelompok anak muda mencanangkan pembaruan pemikiran Islam yang ramai didukung dan ditentang, serta dunia kesenian marak berkembang karena menikmati kebebasan serta dukungan dana dari pemerintah DKI Jakarta. Tempo suka mengangkat kedua topik itu.
Ketika itulah, dengan sendirinya, Syu’bah menjadi wartawan yang berperan. Ia mahasiswa Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Kalijaga, Yogyakarta, dan konon tergolong maju. Ia juga "aktivis" kesenian, terutama teater dan sastra, yang bukannya tak dikenal, apalagi di Yogyakarta waktu itu. Ia bergabung dengan Teater Muslim, yang didirikan oleh Mohammad Diponegoro, juga di Bengkel Teater W.S. Rendra. Syu’bah menulis novel anak-anak, Cerita di Pagi Cerah (Balai Pustaka, 1960-an), yang membuktikan keandalannya menulis dengan hasil "asyik dibaca".
Dengan latar seperti itu, tulisan Syu’bah adalah artikel berita yang mempertajam masalah tapi bukan untuk melukai, melainkan agar persoalan lebih mudah masuk pemahaman pembaca. Tulisannya kaya akan perbandingan, menambah atau mengingatkan kembali tentang suatu pengetahuan—tanpa terasa mengajari.
Maka sejumlah artikel berita ditulis oleh Syu’bah tentang pemikiran Mukti Ali, Menteri Agama ketika itu. Juga beberapa tulisan diturunkan, baik panjang maupun pendek, tentang Ahmadiyah yang diperdebatkan. Tulisan-tulisan yang tak hanya sebatas pro-kontra, tapi juga sebuah news story yang kaya akan acuan, anekdot, dan kutipan.
Tulisan seperti itu juga dimungkinkan karena Syu’bah adalah orang yang bisa masuk (dan diterima) di kelompok apa pun kala itu. Ia akrab dengan kelompok Nurcholish Madjid, yang melansir pembaruan pemikiran Islam. Ia juga mudah bertamu dan mengobrol dengan Profesor Rasjidi, Menteri Agama di awal kemerdekaan, yang berhadapan frontal dengan Nurcholish dkk. Ia diterima di kalangan Dewan Dakwah, juga bisa berdiskusi santai dengan mahasiswa-mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah yang "radikal". Ia pernah menulis, "Tidak semua lembaga agama cukup terbuka untuk dikunjungi dan ditulis pers, terutama bila pers itu bukan pers mereka sendiri," ("Wartawan Agama?", Tempo, 4 Desember 1971).
Syu’bah sebenarnya menyimpan semacam pertentangan dalam dirinya. Ini terbaca pada kolom-kolomnya ketika ia bekerja di majalah Panji Masyarakat, majalah yang didirikan oleh Hamka, yang terbit kembali di masa reformasi. Kolom ini kemudian dibukukan, diberi judul Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik (Gramedia Pustaka Utama, 2000). Itu setidaknya menurut Azyumardi Azra, mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, yang menulis resensi kumpulan kolom itu.
Azyumardi menulis, Syu’bah dalam kolom-kolomnya menunjukkan semangat "neomodernis, tapi pada saat yang sama dia juga tetap berpegang kuat pada tradisi yang dikontekstualisasikannya dengan situasi aktual".
Bisa jadi "pertentangan" dalam diri itu membuat Syu’bah bisa menerima pendapat orang lain seperti apa pun tanpa ia harus melawan atau larut. Inilah yang membuat tugas lain di Tempo ditunaikannya dengan sangat pas: menyunting opini pembaca untuk rubrik "Komentar" (dalam Tempo periode sesudah dibredel, rubrik ini tak ada lagi).
"Komentar" adalah salah satu rubrik yang banyak dibaca, rubrik yang mirip surat pembaca tapi tak selalu tentang masalah aktual. Tulisan yang masuk biasanya panjang, dan Syu’bah memendekkannya tanpa mengubah makna. Jadi, selain penyuntingan itu mencerminkan kelapangan Syu’bah menerima dan memahami pendapat orang lain, juga menunjukkan kepiawaian penyuntingan. Itu sebabnya, ia sangat teliti menulis, sampai dalam hal titik-koma.
Semangat seperti itu pulalah yang hadir dalam resensi-resensi seni Syu’bah Asa. Dengan jernih ia mereportase pertunjukan, memberikan gambar sebenarnya seperti apa maksud sutradara, seraya menyisipkan pendapatnya di sana-sini. Reportase dengan cara penulisan yang tak membikin bosan pembaca, saya kira itulah kelebihan Syu’bah. Dalam resensi Syu’bah, orang diyakinkan bahwa memang Syu’bah menonton hingga selesai.
Pada masa itu, ketika Taman Ismail Marzuki menyuguhkan sejumlah pementasan dari para sutradara ternama (Rendra, Arifin, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, serta Putu Wijaya) dan sejumlah sutradara dari daerah dan yang muda, pertunjukan teater bukan hanya ramai, tapi juga memikat. Terutama Rendra. Ia dikenal antara lain karena pementasannya yang kontekstual dengan kondisi sosial-politik. Teater Rendra waktu itu biasanya mendapat tepuk tangan riuh—ketika kalimat-kalimat yang menyindir situasi atau pejabat dilontarkan di arena atau panggung. Rendra adalah bintang gemerlap.
Syu’bah suatu ketika menulis sebuah laporan utama tentang kritik sosial-politik Rendra yang dilontarkan lewat teaternya. Tak larut oleh tepuk tangan penonton, Syu’bah menduduksoalkan kritik sosial-politik Rendra. Kira-kira, Syu’bah menulis bahwa kritik semacam itu hanyalah mengelus telinga, membuat nyaman para elite dan intelektual, tapi tak menggerakkan orang, apalagi mengubah keadaan. Ini tulisan yang tak populer waktu itu.
Itulah Syu’bah, wartawan yang "enak dibaca", serta memiliki "sikap yang perlu" karena ia "adil" dalam mendudukkan persoalan. Itulah kenapa suatu ketika ia ingin menerbitkan majalah berita Islam, karena ia melihat ada yang perlu "dijembatani", yakni antara kelompok Islam liberal dan kelompok Islam "fundamentalis" atau "radikal".
Cita-cita itu tak kesampaian, bahkan karya jurnalistik Syu’bah belakangan juga tak terdengar. Mungkin ia kesulitan menemukan lagi media yang bersikap bahwa "kebajikan dan ketidakbajikan bukan monopoli satu pihak", juga kondisi fisiknya: ia mengidap diabetes, terkena stroke, dan kemudian sindrom Parkinson.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo