Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=1 color=#FF9900>Hakim Agung</font><br />Kualitas yang Bikin Geleng Kepala

Seleksi akhir Komisi Yudisial memilih calon hakim agung untuk dikirim ke DPR rampung sudah. Ada calon yang kekayaannya dipertanyakan.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan gontai, Cicut Sutiarso melangkah menuju pintu keluar auditorium gedung Komisi Yudisial. Kamis pekan lalu, pria yang kini menjabat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung ini baru saja mengikuti tes wawancara. Sambil berjalan, sesekali ia membenarkan posisi peci hitamnya yang memang tak serasi bertengger di kepalanya. Ketegangan masih tampak di wajahnya. ”Saya habis pengakuan dosa tadi,” ujarnya kepada Tempo. Cicut, 56 tahun, tersenyum hambar.

Wawancara merupakan tes terakhir dari serangkaian tes yang dilakukan panitia seleksi calon hakim Komisi Yudisial kepada para kandidat seperti Cicut. Sekitar satu jam, tujuh panelis memberondong bekas Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelahiran Wonogiri ini dengan berbagai pertanyaan. Sebagian pertanyaan bisa dijawabnya, sebagian lagi cuma dijawab sekenanya, mengambang, termasuk pertanyaan tentang asal-muasal kekayaannya.

Enam calon lain yang menjalani tes adalah Sekretaris Mahkamah Agung Muhammad Rum Nessa; Djazimah Muqoddas, hakim tinggi Pengadilan Agama Jakarta, yang juga adik Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas; anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Topane Gayus Lumbuun; hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Dudu Duswara; guru besar Universitas Airlangga, Basuki Rekso Wibowo; dan dosen Universitas Islam Jakarta, Yayah Yarotul Salamah. Inilah rombongan terakhir dari 45 calon yang menjalani tes wawancara sejak 20 Juli lalu.

Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh, dari 45 calon itu, 30 orang bakal dikirim ke DPR untuk mengikuti fit and proper test.Dari situlah sepuluh orang dipilih untuk mengisi kursi hakim agung yang kosong karena pensiun. ”Pekan-pekan ini kami akan kirim nama-nama itu ke DPR,” kata Imam. Jumlah hakim Agung yang aktif kini sekitar 50 orang.

Awalnya, mereka yang mendaftar sebagai hakim untuk ”benteng terakhir peradilan” itu sekitar 100 orang. Seleksi administrasi membuat jumlahnya turun jadi 79. April lalu, mereka yang lolos administrasi tersebut diboyong ke Bogor untuk menjalani serangkaian tes lanjutan, antara lain membuat tugas-tugas tertulis. Di sini tersaring lagi tinggal 45 orang. Dari jumlah itu, yang berlatar belakang hakim 23 calon, sedangkan sisanya beragam, antara lain pengacara, anggota DPR, dan dosen. Mereka yang berlatar belakang hakim dikirim Mahkamah Agung.

Menurut Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki, kendati jumlah yang mesti diserahkan ke DPR sebanyak 30 orang, untuk diperas menjadi tinggal sepuluh, jumlah itu sulit dipenuhi. ”Banyak kandidat yang masih jauh dari standar kriteria seorang hakim agung,” katanya. Apalagi kalau sudah menyangkut integritas calon. ”Integritas itu menjadi sorotan utama,” kata Suparman.

Para panelis, yang terdiri atas tujuh anggota Komisi Yudisial plus bekas hakim agung Yahya Harahap dan Syafi’i Ma’arif, mengepung para calon dari berbagai sudut. Menguji sedalam mana pengetahuan mereka dalam hukum acara, kode etik hakim, pendapat mereka tentang sebuah kasus, hingga informasi miring soal kekayaan mereka

Salah satu anggota panelis, Taufiqurrahman Syahuri, misalnya, membombardir Cicut tentang kekayaannya yang dianggap melonjak drastis. ”Kenaikannya kok besar sekali, hampir sepuluh kali lipat,” kata Taufiqurrahman, yang juga menjabat Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial. Ia lantas membeberkan data kekayaan Cicut.

Data yang dipegang Taufiqurrahman menunjukkan harta hakim yang mengawali kariernya di pengadilan Palu itu berjumlah Rp 350 juta. Itu harta yang tercatat pada 2002. Kekayaannya melonjak menjadi Rp 3,1 miliar pada 2011. ”Keanehan” ini pun jadi sasaran pertanyaan gencar, mengingat Cicut hanya berprofesi hakim dan istrinya tidak bekerja atau memiliki usaha apa pun. Cicut menyanggah jumlah kekayaannya itu, dan menyebut kekayaannya hanya sekitar Rp 1,7 miliar. ”Tidak seperti yang disebutkan tadi,” katanya.

Mendengar jawaban itu, Imam Anshori kemudian mengajak Cicut menghitung sendiri kekayaannya: tanahnya di Batam, Surabaya, Karawang, dan Jakarta Timur serta perhiasan istrinya, yang nilainya dipastikan tak kurang dari Rp 3 miliar. Tapi soal kekayaannya yang disebutkan itu, Cicut menegaskan tidak semuanya dibeli. ”Sebagian warisan dari nenek istri saya,” kata Cicut.

Masukan perihal tingkah laku para calon hakim yang miring memang langsung ditanyakan para panelis kepada mereka yang lolos ke tahap wawancara ini. Kepada Rahmi Mulyati, yang sehari-hari menjabat panitera muda perdata khusus Mahkamah Agung, misalnya, Senin pekan lalu Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman juga menanyakan kabar yang menyebutkan ia pernah menerima uang dari seorang pengacara.

Menurut Eman, itu terjadi pada 2007. Rahmi membantah soal itu. Rahmi pada Selasa pekan lalu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi kasus suap hakim Pengadilan Hubungan Industrial, Imas Diana Sari. Rahmi dinilai mengetahui perihal penyuapan itu. ”Masih banyak yang dipertanyakan seputar integritasnya,” ujar Eman perihal Rahmi.

l l l 

Bekas hakim agung Yahya Harahap lebih banyak geleng kepala dan berdecak kecewa mendengar jawaban para calon hakim agung itu. Setiap kali seorang kandidat usai menjawab pertanyaan yang ia ajukan, ia mengempaskan badannya ke kursi. Para calon memang terlihat keteteran menjawab pertanyaan-pertanyaan hukum yang ditembakkan Yahya.

Kepada Tempo yang menemuinya setelah menguji para calon hakim agung itu, Yahya menyatakan tak menemukan yang cemerlang pengetahuan hukumnya. ”Semua biasa saja,” kata Yahya, yang buku-buku tentang hukumnya banyak menjadi acuan mereka yang bergelut di bidang hukum.

Menurut Suparman Marzuki, penguasaan ilmu hukum para kandidat hakim agung kali ini tidak sebaik calon-calon sebelumnya. ”Sebenarnya ini fatal karena, dalam keseharian nanti, hakim agung harus memiliki kualitas pengetahuan spesifik dalam hukum tertentu,” kata Suparman.

Jika ditilik dari jumlah perkara, kini ada sekitar 13 ribu perkara yang menumpuk di meja para hakim agung yang harus diselesaikan. Di luar itu, masih ada tambahan 8.000-an tunggakan perkara pada 2009. Padahal yang bisa dituntaskan masing-masing hakim maksimal 60 perkara per bulan.

Karena itulah kelak, dengan tambahan sepuluh hakim agung baru, diharapkan jumlah tunggakan perkara itu bisa dipangkas cepat. Hanya, seperti kata Suparman, jika menilik kualitas para calon hakim agung itu—termasuk yang berlatar belakang hakim—berat sebenarnya memenuhi kuota sepuluh itu. Karena itu, ia berharap, dalam seleksi mendatang, Mahkamah Agung memberi kebebasan para hakim di seluruh Indonesia untuk mendaftar tanpa perlu harus lewat Mahkamah. ”Jadi kelak akan terjaring hakim-hakim yang memang pantas jadi hakim agung,” katanya.

Sandy Indra Pratama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus