Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahad pagi, 15 Mei 2011. Rumah di Kradenan, Pekalongan, Jawa Tengah, itu tampak sejuk. Palem berjajar di halaman. Jendela lebar, ubin hitam, dan tembok tebal khas bangunan lama. Nafisah, 50-an tahun, datang menyambut kami. "Ayo, Mas Syu’bah sudah menunggu."
Bersama Hadriani Pudjiarti, kawan sekantor, Ahad itu kami menyambangi Syu’bah Asa, yang sedang sakit. "Mas Syu’bah sekarang tidak lagi seperti dulu," Nafisah berbisik. "Sudah banyak lupa dia. Jangan tersinggung, ya."
Sekitar tiga puluh menit kemudian, Syu’bah Asa—kami memanggilnya Abah—memasuki ruang tamu. Abah berbaju batik, berkursi roda didorong sang istri. Wajahnya segar meskipun kini badannya jauh lebih kurus. Sudah delapan bulan ia menggunakan kursi roda.
Kami bersalaman. Tangan Abah tak henti bergerak gemetar—sindrom Parkinson. Tak disangka, Abah masih ingat kami. Dia menanyakan kabar kawan sejawat sesama wartawan. "Bambu (Bambang Bujono—Red.) katanya mau ke sini? Goenawan, pasti sibuk dia, kan?" Dia melanjutkan dengan bersemangat, "Amarzan selalu mengingatkan saya untuk jangan banyak minum obat. Bilang sama dia, kalau saya tidak minum obat, saya sudah mati."
Riwayat penyakit Syu’bah Asa cukup panjang. "Ada gorong-gorong budaya di jantung saya," begitu dia sering bercanda. Gorong-gorong yang dimaksudkan adalah pipa arteri yang dilebarkan, hasil operasi bedah bypass pada 1999. Syu’bah selalu punya rasa humor.
Abah juga mengidap diabetes menahun. Pada Agustus 2009, dari Pekalongan, Syu’bah berkereta menuju Jakarta karena diminta Tempo menulis obituari W.S. Rendra. Sampai di kantor Tempo, Abah tampak kelelahan. Tangannya gemetar. "Saya tidur dulu, ya," katanya sambil berbaring di sofa. Apa daya, sampai tenggat terlewati, Abah tidak bisa mulai menulis. "Maaf, saya gagal memenuhi tugas menulis," katanya, tersendat. Sejak itu, kami mendengar kondisi kesehatan Syu’bah terus memburuk.
Setahun terakhir, Abah didiagnosis mengidap sindrom Parkinson. Ada ketidakseimbangan zat kimia dalam lalu lintas neuron saraf otak. Akibatnya, Abah tak bisa mengendalikan saraf motorik. Tangan dan kakinya bergerak tak terkendali. Belakangan, saraf pengatur kemampuan berbicara pun tak luput dari gangguan. Apa yang dia sampaikan sering tidak sama dengan yang ada di benaknya. Kegagalan menyampaikan apa yang ada di hatinya membuat Abah sering merasa frustrasi.
Dalam pertemuan itu, saya bertanya kepada Abah, apa yang paling berat dari semua ini. "Kebosanan," katanya. Pertemuan itu rupanya menjadi pertemuan terakhir kami. Syu’bah Asa telah berpulang. Penyair, penulis, pendakwah, dan wartawan senior itu telah menemui istirahat abadi.
Mardiyah Chamim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo