Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menunggu Keberanian Basrief

Kejaksaan belum juga memutuskan nasib perkara Yusril dan Hartono. Padahal tim pengkaji dan tim pakar yang dibentuk kejaksaan sudah menyatakan berkas keduanya laik diajukan ke pengadilan.

1 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Gugatan itu prematur," kata jaksa Subekhan. Sesaat jaksa muda di Kejaksaan Agung itu menghela napas, lalu melanjutkan kalimatnya, "Perkaranya masih dikaji dan tidak dihentikan diam-diam."

Mewakili kejaksaan, Kamis pekan lalu, Subekhan membacakan jawaban kejaksaan atas gugatan praperadilan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perkara yang dimaksudkan oleh Subekhan tersebut adalah dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum alias Sisminbakum dengan tersangka Yusril Ihza Mahendra dan Hartono Tanoesoedibjo.

Gugatan praperadilan itu diajukan tiga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam. Mereka menuding kejaksaan diam-diam menghentikan kasus Yusril dan Hartono. Petunjuknya, perkara tidak kunjung dibawa ke pengadilan, padahal berkas dinyatakan lengkap sejak Januari lalu. "Pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief di media tentang rencana penghentian juga menjadi sinyal," kata Hanif Kurniawan, pengacara pemohon.

Saat Subekhan membacakan jawaban kejaksaan, ketiga aktivis HMI itu, Fandi Ahmad Sukardin, Muhamad Rifa’i Fadirubun, dan Ahmad Latupono, tampak serius menyimak. Sekali-sekali mereka menggelengkan kepala. Dalam duplik yang dibacakan di depan hakim tunggal Yonisman, jaksa Subekhan menyatakan perkara Yusril dan Hartono masih dikaji kelaikannya untuk diteruskan ke pengadilan. Alasan kejaksaan adalah munculnya fakta hukum baru, yaitu putusan kasasi Mahkamah Agung yang melepaskan Romli Atmasasmita dari segala tuntutan.

Jauh sebelum Yusril dan Hartono menjadi tersangka, dugaan korupsi sistem online kenotariatan di Departemen Kehakiman itu telah menyeret sejumlah orang ke kursi pesakitan dan kemudian ke penjara. Kejaksaan mengusut kasus ini sejak Oktober 2008. Kejaksaan menyatakan proyek yang diluncurkan di era Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra itu membuat negara tekor Rp 420 miliar.

Sembilan puluh persen duit fee Sisminbakum yang seharusnya masuk ke kas negara ternyata mengalir ke PT Sarana Rekatama Dinamika milik Hartono. Sisanya masuk ke kantong Koperasi Pengayoman Departemen Kehakiman. PT Sarana dan Koperasi adalah pengelola pelayanan itu. Dari Koperasi, kejaksaan menuduh duit Sisminbakum itu dikeluarkan dan dinikmati sejumlah pejabat kehakiman.

Karena tuduhan menerima uang dan menguntungkan PT Sarana, tiga mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum terseret kasus ini, yaitu Romli, Syamsuddin Manan Sinaga, dan Zulkarnain Yunus. Direktur Utama PT Sarana Yohanes Waworuntu juga terjerat perkara ini.

Belakangan, giliran Yusril dan Hartono yang dijerat. Jaksa menuduh Yusril bersalah karena, sebagai Menteri Kehakiman, ia menerbitkan surat keputusan Sisminbakum serta penunjukan PT Sarana dan Koperasi. Adapun dosa Hartono membubuhkan paraf dan menyetujui draf perjanjian access fee serta meneken pengeluaran PT Sarana dari duit Sisminbakum.

Ketika perkara mereka beranjak ke tahap prapenuntutan, akhir Desember lalu, Mahkamah Agung mengetuk putusan kasasi Romli. Majelis yang diketuai Muhammad Taufik—dengan anggota Zaharuddin Utama dan Suwardi—menyatakan perbuatan Romli tidak merugikan negara dan Romli tidak terbukti menerima uang. Majelis ini pula yang memutus kasasi Syamsuddin. Hanya, berbeda dengan putusan untuk Romli, hakim memvonis Syamsuddin satu tahun penjara. Hakim menyatakan dia terbukti merugikan negara dan menerima duit Sisminbakum.

Sebelumnya, Mei 2010, majelis kasasi yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota Imam Harjadi dan Mansur Kartayasa menghukum Yohanes lima tahun penjara. Yohanes juga diwajibkan membayar kerugian negara Rp 378 miliar. Kini, Yohanes dan Syamsuddin mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Salah satu alasannya: putusan bebas Romli.

Putusan bebasnya Romli juga menghambat perkara Yusril dan Hartono. Menurut sumber Tempo, sepekan setelah berkas Yusril dan Hartono dinyatakan lengkap, akhir Januari lalu, datang perintah Basrief ke penyidik untuk menunda perkara itu karena adanya putusan Romli. Kepada Tempo, Subekhan menegaskan, kendati sudah dinyatakan lengkap, perkara itu masih di penyidikan, belum ke penuntutan karena belum terjadi pelimpahan tersangka. Subekhan menunjukkan register penuntutan di Kejaksaan Agung pada 2011 yang tidak mencantumkan perkara Yusril dan Hartono.

Sumber Tempo menyebutkan kejaksaan membentuk sebuah tim untuk mengkaji dampak hukum bebasnya Romli terhadap perkara Yusril. Sebulan bekerja, tim menyimpulkan perkara Romli tidak mempengaruhi perkara Yusril dan Hartono. Putusan Romli yang menyebutkan tidak ada kerugian negara, kata jaksa itu, tidak bisa dijadikan acuan karena putusan Syamsuddin dan Yohanes menyatakan sebaliknya. "Tim juga mengusulkan PK terhadap putusan Romli," katanya.

Ragu terhadap kesimpulan tim pengkaji, masih kata jaksa itu, akhir Maret lalu, Basrief meminta tujuh mantan jaksa menjadi tim pakar untuk menelaah putusan Romli juga. Anggotanya antara lain bekas jaksa dan guru besar pidana Universitas Trisakti, Andi Hamzah, bekas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ramelan, bekas Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Lukman Bachmid, dan bekas jaksa M. Silaban.

Akhir Juni lalu, mayoritas tim pakar, ujar sumber Tempo, mengeluarkan pendapat: putusan kasasi Romli bisa "di-PK". Komposisinya: lima setuju dan dua menyatakan putusan Romli tak bisa "di-PK". Alasan mereka yang tidak setuju, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur, putusan bebas di tingkat kasasi tidak bisa "di-PK". Sedangkan yang setuju, kata sumber berpangkat jaksa madya itu, beralasan upaya itu sudah memiliki yurisprudensi Mahkamah Agung. Mereka menyebut putusan PK yang menghukum Joko Tjandra dua tahun penjara dalam kasus cessie Bank Bali pada Juni 2009 sebagai contoh.

Andi Hamzah, kata jaksa itu, termasuk anggota tim pakar yang tidak setuju. Kepada Tempo, Andi membenarkan soal ia tidak setuju PK putusan Romli. "Dalam undang-undang, putusan bebas kasasi tidak bisa di-PK," kata Andi. Adapun Lukman Bachmid enggan mengomentari soal itu. "Tanya yang lain saja," ujarnya.

Nah, untuk perkara Yusril dan Hartono, kata jaksa itu, tim pakar secara bulat setuju perkara diteruskan ke pengadilan karena tidak bisa mengacu pada putusan Romli. Tapi baik Andi maupun Lukman tidak mau berkomentar tentang putusan tim mengenai perkara Yusril dan Hartono. Kepada Tempo, Wakil Jaksa Agung Darmono tidak membantah atau membenarkan soal adanya kajian tim pakar ini. "Nanti akan menjadi bahan pembahasan pimpinan," katanya.

Seorang petinggi kejaksaan mengaku sudah menyampaikan masukan tim pakar ini ke Basrief. Namun, kata dia, Basrief tidak memberikan jawaban. Basrief, menurut jaksa senior itu, justru memilih mengajukan opsi peninjauan kembali Romli. Setelah PK Romli keluar, kejaksaan akan menentukan sikap terhadap perkara Yusril dan Hartono. Jaksa senior ini membisikkan bahwa Basrief ditekan oleh "orang kuat" agar bisa menghentikan perkara Hartono dan Yusril. "Ia terkesan mengulur waktu," ujarnya.

Ditemui Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu, Basrief memilih bungkam. "Nanti ya, jangan soal itu," katanya. Sebelumnya, Basrief mengatakan tidak diintervensi siapa pun dalam memutuskan perkara Sisminbakum.

Pengacara Yusril, Maqdir Ismail, meminta kejaksaan segera menghentikan perkara itu karena tidak cukup bukti. Maqdir juga sangsi perkara kliennya sudah dinyatakan lengkap lantaran hingga kini belum dilakukan penyerahan tersangka dan barang bukti. Pengacara Hartono, Andi F. Simangunsong, menilai kejaksaan tidak beralasan meneruskan kasus itu karena memang tidak ada kerugian negara. Adapun pengacara Romli, Denny Kailimang, menilai kejaksaan keliru jika mengajukan PK atas putusan kasasi Romli. Yurisprudensi, kata dia, tidak bisa dijadikan dasar karena menyalahi ketentuan.

Mandeknya perkara Yusril dan Hartono menimbulkan implikasi lain. Kejaksaan terpaksa memperpanjang cegah-tangkal keduanya yang habis pada 25 Juni lalu. Di mata Yusril, perpanjangan ini cacat hukum lantaran menggunakan Undang-Undang Imigrasi yang lama. Padahal, kata dia, Undang-Undang Imigrasi 2011 sudah terbit. Yusril sudah memperkarakan ketidakabsahan cekal itu ke pengadilan tata usaha negara. Wakil Jaksa Agung Darmono mempunyai alasan kenapa kejaksaan memakai Undang-Undang Imigrasi Nomor 9 Tahun 1992. "Undang-Undang baru belum bisa diterapkan," ujarnya.

Tidak jelasnya sikap kejaksaan terhadap perkara dua tersangka ini membuat geregetan berbagai kalangan. Tak hanya anggota HMI, Kamis pekan lalu, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendaftarkan gugatan praperadilan atas sikap kejaksaan yang tidak kunjung melimpahkan perkara Yusril dan Hartono ke pengadilan. "Ini menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Ketua MAKI Bonyamin Saiman.

Anton Aprianto, Tri Suharman


Belum Juga Tuntas di Meja Hijau
Diperiksa sejak tujuh tahun silam, kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) hingga kini belum juga tuntas. Sejumlah kejanggalan muncul dalam putusan menyangkut para tersangka perkara ini. Romli Atmasasmita, misalnya, divonis bebas, sementara tersangka lain yang saat itu meneruskan kebijakan yang dilakukan Romli dinyatakan divonis hukuman penjara.

Februari 2000
Romli Atmasasmita (Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum) merancang sistem Sisminbakum.

Juni 2000
Romli menggandeng Hartono Tanoesoedibjo melalui PT Sarana Rekatama Dinamika.

4 Oktober 2000
Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan Surat Keputusan Pemberlakuan Sisminbakum.

10 Oktober 2000
Yusril menunjuk Koperasi Kehakiman dan PT Sarana sebagai pelaksana Sisminbakum.

8 November 2000
Koperasi dan PT Sarana mengikat kontrak kerja sama 10 tahun yang mengatur jatah perolehan: 10 persen untuk Koperasi dan 90 persen untuk PT Sarana.

31 Januari 2001
Sisminbakum diresmikan Wakil Presiden Megawati.

8 Februari 2001
Romli menerbitkan edaran tarif access fee.

25 April 2003
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan proyek Sisminbakum melanggar ketentuan penerimaan negara.

Oktober 2008
Kejaksaan Agung menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum.

24 Oktober 2008
Bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Syamsuddin Manan Sinaga dan Zulkarnain Yunus menjadi tersangka. Sebulan berselang, Romli dan Direktur Utama PT Sarana Yohanes Waworuntu menjadi tersangka.

24 Desember 2008
Mantan Ketua Koperasi Pengayoman Ali Amran Djanah menjadi tersangka. Karena sakit, ia belum diadili.

29 April 2009
Persidangan perdana Sisminbakum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

7 September 2009
Romli divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta plus membayar uang pengganti US$ 2.000 dan Rp 5 juta.

11 September 2009
Syamsuddin divonis 1 tahun 6 bulan penjara plus membayar denda Rp 100 juta dan wajib membayar uang pengganti Rp 344 juta dan US$ 13 ribu.

28 Oktober 2009
Yohanes divonis 4 tahun penjara plus denda Rp 200 juta dan wajib membayar uang pengganti Rp 3,5 miliar.

20 Januari 2010
Pengadilan tinggi mengkorting vonis Romli dan Syamsuddin menjadi 1 tahun. Keduanya juga harus membayar uang pengganti US$ 2.000 dan Rp 5 juta.

1 Februari 2010
Pengadilan tinggi mengkorting vonis Yohanes menjadi 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta plus tanpa membayar uang pengganti.

2 Mei 2010
Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya memvonis Yohanes 5 tahun penjara plus membayar ganti rugi Rp 378 miliar.

25 Juni 2010
Yusril dan Hartono menjadi tersangka. Keduanya langsung dicekal.

2 Desember 2010
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Zulkarnain Yunus 1 tahun penjara plus denda Rp 100 juta. Zulkarnain diadili belakangan karena sebelumnya sakit parah.

21 Desember 2010
Mahkamah Agung melalui putusan kasasinya melepas Romli dari tuntutan. Sedangkan untuk Syamsuddin, putusan kasasinya menguatkan banding.

19 Januari 2011
Berkas perkara Yusril dan Hartono dinyatakan lengkap.

24 Januari 2011
Pelimpahan perkara Yusril dan Hartono ditunda karena Jaksa Agung Barief Arief meminta putusan lepasnya Romli dikaji.

3 Februari 2011
Basrief kepada media menyatakan kemungkinan opsi penghentian perkara Yusril dan Hartono

23 Februari 2011
Yohanes dan Syamsuddin mengajukan peninjauan kembali (PK).

Awal Maret 2011
Tim pengkaji Kejaksaan menyimpulkan putusan Romli tidak bisa menjadi acuan perkara Yusril dan Hartono. tim mengusulkan perkara Yusril dan Hartono dibawa ke pengadilan.

Akhir Maret 2011
Tim pakar terdiri atas tujuh mantan jaksa diminta mengkaji opsi upaya PK putusan Romli.

22 Juni 2011
Pengadilan tinggi menguatkan vonis 1 tahun penjara untuk Zulkarnain. Namun dendanya dikurangi menjadi Rp 50 juta.

24 Juni 2011
Cekal Yusril dan Hartono diperpanjang

Juni 2011
Tim pakar menyimpulkan kejaksaan bisa mengajukan PK putusan Romli. Tim juga menyarankan perkara Yusril dan Hartono layak ke pengadilan.


Sama Jabatan, Nasib Berlainan

Syamsuddin Manan Sinaga
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2006-2008

Peran: Meneruskan kebijakan Romli.
Dakwaan: Melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara memperkaya diri sendiri atau orang lain karena tidak menyetor fee Sisminbakum Rp 8,4 miliar ke kas negara dan menerima Rp 344 juta plus US$ 13 ribu.
Putusan kasasi: Terbukti merugikan negara dan menerima dana yang dituduhkan jaksa.

Zulkarnain Yunus
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2002-2005

Peran: Meneruskan kebijakan Romli.
Dakwaan: Melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara memperkaya diri sendiri atau orang lain karena tidak menyetor fee Sisminbakum Rp 9,1 miliar ke kas negara dan menerima Rp 240 juta.
Putusan pengadilan banding: Bersalah karena telah merugikan negara dan terbukti menerima dana yang dituduhkan.

Yohanes Waworuntu
Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika

Peran: Rekanan Koperasi.
Dakwaan: Melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama memperkaya diri sendiri atau orang lain karena tidak menyetorkan Rp 378 miliar ke kas negara tapi justru masuk PT Sarana.
Putusan kasasi: Terbukti merugikan negara senilai setoran yang diterima PT Sarana dari Sisminbakum.

Romli Atmasasmita
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum 2000-2002

Peran: Menerbitkan tarif access fee.
Dakwaan: Melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama memperkaya diri sendiri atau orang lain karena tidak menyetor fee sisminbakum Rp 1,3 miliar ke kas negara dan menerima Rp 5 juta plus US$ 2.000.
Putusan kasasi: Lepas dari tuntutan karena Sisminbakum tidak terbukti merugikan negara dan tak menerima dana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus