Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Pergulatan Ajeng, Pergulatan Djenar

Djenar Maesa Ayu membuat film berdasar dua cerpennya. Debut awalnya sebagai sutradara boleh dibilang berhasil.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka Bilang Saya Monyet Sutradara: Djenar Maesa Ayu Skenario: Djenar Maesa Ayu Pemain: Titi Sjuman, Henidar Amroe, Ray Sahetapi

Adegan kenangan sering menjadi jantung estetis sebuah film. Makin sering kita melihat film Barat yang skenarionya bertumpu pada ingatan atau kilas balik akan suatu peristiwa. Film bermain-main dengan nostalgia, penyingkapan masa lalu. Namun boleh dikatakan tema demikian jarang diolah oleh film Indonesia.

Film Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu, walau sederhana, boleh dikatakan memasuki wilayah itu. Hampir di sepanjang film kita disuguhi ulang-alik antara kehidupan masa kini sang tokoh dan ingatan traumatiknya. Film bercerita tentang seorang pengarang cerita pendek bernama Ajeng (Titi Sjuman) yang selalu dibayangi kenangan pengalaman buruk pada masa kecilnya.

Film Djenar bertolak dari dua cerpennya, Lintah dan Melukis Jendela. Untuk menikmati film ini, kita tidak dituntut agar membaca lebih dahulu kedua cerpen itu. Sebetulnya persoalan trauma yang disodorkan klise, yaitu seputar ketidakharmonisan keluarga. Ini menjadi menarik karena penekanannya pada soal seks.

Kepada kita diperlihatkan bagaimana semasa kecil Ajeng mengalami pelecehan. Ingatan-ingatannya akan hal itu menyebabkan problem pada tubuhnya. Di bagian awal diperlihatkan di sebuah diskotek, saat ia tengah bercumbu, tiba-tiba ia muntah lari ke wc. Tubuhnya sakit karena teringat pada masa kecil, oleh ibunya ia pernah dihukum menjilat, memakan kembali sayuran yang sudah dibuangnya ke WC.

Masa kanak-kanak Ajeng dipaksa menyaksikan promiskuitas. Kedua orang tuanya sama-sama membawa pasangan ke rumah tanpa mengacuhkan perasaan Ajeng. Ia melihat ibunya (Henidar Amroe) bergumul dengan lelaki simpanannya (Bucek). Ia melihat perempuan menginap di kamar ayahnya (Agust Melasz). Itu membuat Ajeng terdorong untuk mencoret-moret sosok ayah yang digambarnya sendiri, dan menulis: “Ibu saya monyet….

Penampilan Henidar Amroe patut dipuji. Ia mampu menampilkan istri yang tertekan, istri yang berusaha membalas penyelewengan suaminya dengan kebebasan. Ia mampu menjadi ibu yang khawatir melihat anaknya setelah dewasa menenggak alkohol, tapi juga santai ketika mengetahui hidup anaknya sebebas dirinya.

Debut Titi Sjuman juga lumayan menarik. Ajeng dikisahkan, untuk bisa hidup nyaman di apartemen, ia mau menjadi simpanan seorang pengusaha (Joko Anwar). Untuk menimba ilmu menulis pada seorang sastrawan senior bernama Asmoro (Ray Sahetapi), ia mau melakukan hubungan seks secara tetap dengannya. Pada dirinya, seks menjadi instrumen untuk apa saja, untuk hidup secara ekonomi terjamin sampai untuk mencari wawasan. Titi Sjuman mampu menampilkan problem psikologis dalam diri Ajeng, meski kita risi, ketika skenario mengharuskan ia sering mengucapkan kalimat yang cukup vulgar.

Struktur cerita film yang dibuat dengan kamera digital ini cukup tangkas. Keberanian Djenar membuat ilustrasi sedikit surealisme menjadikan film ini tak membosankan. Misalnya ketika lelaki simpanan ibu Ajeng diam-diam ingin “melahap” Ajeng. Film memperlihatkan pundak Ajeng dirayapi pacet (simbol penis). Dan klimaksnya ketika Ajeng kecil berendam di bath tub, dan lelaki simpanan ibunya itu masuk ke kamar mandi, dan ikut mencebur. Layar memperlihatkan air bersembur warna merah. Kita mafhum, itu simbol hilangnya keperawanan.

Adegan yang kurang digarap adalah cara menghadirkan ekspresi Ajeng kecil (Banyu Bening). Memang Ajeng kecil digambarkan sosok yang benci melihat perangai orang tuanya, namun bukan berarti sepanjang film penampilannya harus diam, cemberut tanpa omongan, sama sekali kehilangan watak alamiah keceriaan kanak-kanak.

Film ini memang terasa sangat personal. Yang paling kentara: Djenar agaknya sadar bahwa akan timbul pertanyaan pada diri penonton bahwa apakah film ini ada hubungannya dengan biografi dirinya. Djenar pintar memainkan hal ini. Ia tak menjawab. Ia malah sengaja memberikan peluang agar penonton makin menduga-duga seberapa jauh ada unsur nonfiksi dalam filmnya. Djenar cerdas menjadikan penonton penasaran.

Setelah sepanjang 70 menit menyuguhkan problem psikologis Ajeng yang liar, tapi yang mengherankan tiba-tiba akhir film terasa bijak. Film diakhiri dengan adegan Ajeng dari jendela apartemennya, melihat seluruh dirinya: saat kanak, saat remaja, ibunya, ayahnya, selingkuhan ayahnya, pacar ibunya. Ia tersenyum, melambaikan tangan terhadap masa lalunya itu. Seolah ia bisa berdamai dengan keadaan yang kelam.

Sebuah penutup manis yang justru mengganggu.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus