Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sosok dan perjalanan kreatif sejumlah seniman diangkat ke layar dokumenter.
Mengetengahkan aktivitas, pemikiran, karya, sekaligus kesaksian orang dekatnya.
Memperkaya arsip tentang para seniman.
Mata kamera menangkap deretan bangku-bangku panjang di teras yang luas dan adem. Beberapa poster aktivis, seperti almarhum Munir, Marsinah, dan Wiji Thukul, menghias sebidang dinding. Dinding juga penuh dengan goresan lukisan. Setelah rekaman yang cukup lama, adegan beralih ke dahsyatnya kerusuhan 1998 menjelang kejatuhan Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah itu milik seniman Dolorosa Sinaga. Sejumlah tokok menyampaikan kesaksiannya tentang sang seniman, sekaligus tentang rumah itu. Usman Hamid (kini Direktur Amnesty International), misalnya, bercerita tentang kegiatannya di rumah Dolorosa Sinaga kala ia masih mahasiswa pada tahun runtuhnya Orde Baru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai mahasiswa di tengah situasi politik yang sedang panas, ia senang menemukan oasis di rumah itu. Di sana, ia bisa berkumpul dengan para aktivis dan seniman membincangkan banyak hal. Hilmar Farid (saat ini Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi), yang saat itu juga aktivis dan sejarawan, pun bercerita betapa rumah itu menjadi tempat berkumpul yang mengasyikkan.
Ada banyak aktivis, teman-teman Dolorosa, satu per satu memberi kesaksian. Selain mereka, ada Alex Supartono, Soni Karsono, Andy Yentriani, Tunggal Pawestri, dan belasan lainnya. Dalam film dokumenter berjudul Dolo, yang disutradarai Hafiz Rancajale, penonton bisa melihat sosok, aktivisme, kesenimanan, dan kehidupan Dolorosa Sinaga. Film ini baru saja diputar untuk publik pada 19 Desember 2021 di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Sebelumnya, film ini diputar premier di kawasan Semanggi.
Film dokumenter DOLO. ffd.or.id
Film berdurasi lebih dari dua jam itu terbagi dalam tiga segmen yang menerangkan Dolo sebagai aktivis, seniman, dan guru. Penonton akan "kenyang" dengan informasi dan data tentang sosok seniman kelahiran Sibolga, 31 Oktober 1953, ini.
Ia digambarkan tidak hanya berkesenian, tapi juga sangat ekspresif dan aktif ikut memprotes peristiwa politik dan pelanggaran HAM. Ia lalu mengendapkan pengalaman aktivisme ini dalam karya-karya patungnya yang diakui secara internasional.
Namun keberadaan Hafiz yang juga bertindak sebagai pewawancara agak mengganggu. Ia muncul hampir di setiap wawancara dengan narasumber. Berbeda dengan dokumenter lain yang tak menonjolkan pewawancara dan berfokus pada narasumber.
Sebelumnya, film tentang Dolorosa Sinaga juga dibuat oleh Marselli Sumarno, pengajar di Institut Kesenian Jakarta. Marselli menyoroti kesenimanan pematung ini dalam filmnya berjudul Dolorosa Sinaga Maestro Pematung Kontemporer Indonesia. Film ini diproduksi pada 2020-2021.
Dolorosa hanya salah satu seniman yang sosok dan aktivitasnya diangkat ke film. Seniman lain yang perjalanan hidup kesenimanannya difilmkan adalah Heri Wardono, yang lebih dikenal sebagai Heri Dono. Film itu berjudul Enigma of HeDonism. Disutradarai Wimo Ambala, film produksi MES 56, Srisasanti Syndicate, dan Studio Kalahan itu meraih penghargaan Film Dokumenter Panjang dalam Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta.
Dalam trailer, Heri terlihat berbaju putih menghadap tempat terbuka sedang berolahraga. Pada saat lain, ia sedang membersihkan sarang laba-laba dan meniup debu dari karya instalasi di studionya. Ada pula wawancara dengan Heri di mobil bak terbuka yang melaju, sementara beberapa sepeda motor terlihat mengangkut karya mengikuti mobil yang ditumpangi sang seniman.
Adegan lain menggambarkan Heri Dono sedang mengutak-atik karya. “Saya Heri Wardono, tapi saya ubah menjadi Heri Dono, Heri Dono...,” demikian suara perupa yang pernah berpartisipasi dalam Venice Biennale ini di layar.
Perupa Heri Dono pada pemutaran film dokumenter Heri Donology di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 14 Desember 2021. heridono.com
Film Heri lainnya baru saja diproduksi oleh Galeri Nasional berjudul Heridonology. Film dokumenter itu menghadirkan narasumber Suwarni (ibu Heri Dono), Jim Supangkat (kurator), Nindityo Adipurnomo (seniman dan pendiri Rumah Seni Cemeti), Pustanto (Kepala Galeri Nasional), dan Agni Saraswati (Manajer Studio Kalahan). Film yang akan tayang di Indonesiana.TV pada 2 Januari 2022 ini disutradarai oleh Reza Fahri.
Heri berharap film dokumenter ini bisa memberi gambaran utuh tentang sosok seniman dan kesenimanannya dalam memproduksi karya. “Juga memberi sumbangsih diskursus seni kontemporer Indonesia agar dipahami di dalam dan luar negeri,” ujar Heri. Bagi dia, dokumenter semacam ini akan memperkaya arsip tentang si seniman. Apalagi jika kelak sang seniman sudah meninggal.
Penonton melihat aktivitas Heri di studionya yang masih menyimpan banyak karya, kesehariannya yang sering bersepeda membeli makanan atau buah-buahan dan berolahraga tiap pagi. Ada pula gambaran kedekatannya dengan sang ibunda yang ia telepon hampir setiap malam. “Ibu tidak mau pakai HP, jadi ya pakai pesawat telepon begitu. Sudah jadi rutinitas,” ujar Heri seusai peluncuran film itu di Galeri Nasional, 14 Desember 2021.
Film ini juga menghadirkan kesaksian para narasumber. Namun sutradara menyelipkan semacam animasi dari karya Heri dalam beberapa adegan, yang justru agak mengganggu.
Heri Dono seorang seniman kontemporer di era 1980-an. Ia pekerja keras, rapi dalam mengarsipkan dan mendokumentasikan karya atau gagasannya. Namun ia bukan seniman yang karyanya banyak terjual. “Ia termasuk seniman yang tidak laku, tidak sehebat seniman Indonesia lain. Tapi tak ada yang menyangkal posisi dan reputasi internasionalnya,” ujar Jim Supangkat dalam dokumenter itu.
Seniman lain yang juga didokumentasikan dalam film adalah Sylvia Saartjee, penyanyi rock kelahiran Belanda keturunan Maluku-Jawa. Jippi—panggilannya--dihidupkan kisahnya dalam film berjudul Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia, yang disutradarai Subiyanto.
Dokumenter itu cukup komplet mengupas kehidupan dan perjalanan bermusik perempuan ini. Dimulai dari penampilan Jippi, diiringi oleh sebuah band. Gayanya masih unik. Sejak 1970-an, Jippi sering konser bersama grup rock. Ia menggelar konser 25 tahun berkarya pada 2018. “Rock bukan hanya musik, kehidupan aku itu rock,” ujar Sylvia.
Sejumlah narasumber ikut memberi kesaksian tentang sang seniman ini. Ada pengamat musik almarhum Bens Leo, promotor Log Zhelebour, musikus Ian Antono, sejarawan F.X. Domini B.B. Hera, dan lainnya. Mereka seperti merangkai kepingan puzzle yang melengkapi kisah Sylvia.
Selain wawancara dengan Jippi, juga diperlihatkan potongan kliping berita tentang Jippi. Media saat itu menyebutnya Lady Rocker, ada juga yang menyebutnya Kuda Binal asal Malang. Ada pula sepotong adegan film yang dibintangi Jippi. Dokumenter berdurasi kurang dari 50 menit itu cukup menarik, padat, dan informatif. “Jarang mendengar ada musisi rocker perempuan (kala itu), beruntunglah kita mendengar ada Jippi,” ujar Bens Leo (almarhum).
Tak hanya tentang Jippi, sang sutradara juga menjahit cerita kemunculan dan perkembangan musik rock di Indonesia, terutama di Malang, dan industri penopang konser-konser rock. Kala itu, Malang menjadi kota yang selalu menjadi tujuan dan sukses menggelar konser rock.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo