SEPERTI terciptanya jagat raya, pada mulanya adalah suara. Getaran itu melahirkan gerak-gerak abadi yang membentuk keberbagaian wujud dalam konflik harmoni yang berkepanjangan. Sejarah kehidupan diterima sebagai nasib yang tak terelakkan, betapapun tak henti-hentinya dicoba untuk dielakkan. Pada akhirnya semua harus dikembalikan kepada asal mula, karena hidup hanyalah sebuah interaksi permainan bersambung yang terus-menerus. Di dalamnya ada ritus, nafsu, penyembah (sujud), tragedi, dan apa saja yang tak mungkin dirumuskan begitu saja. Ini bukan sebuah narasi pertunjukan, tapi ini masalah yang dapat kita tangkap dari karya terbaru Sardono W. Kusumo, Passage through the Gong. Karya ini akan digelar-kelilingkan di berbagai kota Amerika Serikat dengan pemrakarsa utama Akademi Musik Brooklynn (BAM), sebuah lembaga dan sekolah tari yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Dalam berbagai karya-karyanya sejak Samgita Pancasona, Sardono W. Kusumo telah menunjukkan gejalanya yang paling signifikan, yaitu beyond the dance. Tak patut memandang karya- karyanya ''hanya sebagai'' karya tari. Apalagi sekadar koreografi. Koreografi dan skenario hanyalah elemen teknis yang paling kecil dalam karya-karyanya. Di belakang itu ada sebuah gagasan makro alam pikiran tentang manusia, kesenian, dan alam sekeliling yang mempengaruhinya. Kenyataan-kenyataan riil yang dapat kita tangkap dalam kesadaran sering hanya menjadi elemen-elemen baru yang memperoleh identifikasi lain dalam konteksnya. Sebuah subjek, karena tuntutan, mendapat personifikasi baru. Ia berubah menjadi hanya sekadar elemen sugesti untuk menyatukan sesuatu. Itu dapat berupa sebuah material seperti lumpur atau lemper, plastik, peralatan hidup sehari-hari, atau bahkan sebuah karya manusia yang paling mulia. Kenyataan ditanggapi dalam bentuknya sebagai sebuah totalitas, di mana, seperti sebuah gejala, kesadaran kita menerimanya hanya sebagai artikulasi (Jean-Paul Sartre). Dalam karya terbaru Sardono, Passage through the Gong, elemen-elemen itu berupa tari serimpi Sangupati yang sangat indah, gerak-gerak transenden dari suku Indian dan Dayak Kalimantan, nukilan-nukilan gerak tari Jawa alusan, pola-pola lepas, teater, sastra, tembang, gending, dan sebagainya. Barang-barang jadi maupun yang terwujud secara sesaat itu, sebagai sebuah eksistensi, tidak perlu lagi berdiri sendiri, tapi sendiri maupun bersama-sama membentuk sebuah eksistensi baru sebagai suatu kenyataan yang pada gilirannya juga dapat berkembang hanya sebagai sebuah elemen. Begitu seterusnya. Dalam pandangan Sardono W. Kusumo, interaksi itu tetap. Elemen dapat berubah, tapi yang sesaat akan selalu berubah. Demikianlah desah-desis suara dalam kegelapan pentas itu serta-merta berubah dalam gerak-gerak dinamis yang memukau. Lalu terjadilah prosesi hening yang mengantar terjadinya sebuah gerak serimpi Sangupati yang sangat halus tapi penuh kode-kode rasa dan raga. Demikian seterusnya, sampai terjadi pergumulan terkohesif antara kemuliaan, nafsu, kekuasaan, birahi, dan sebagainya dalam batas yang tak tampak. Simbolisme dan keadaan yang sebenar-benarnya hadir dalam satu pengalaman nyata yang sama. Tongkat sodok, yang dulu dipakai untuk adu kuat dan kesaktian para kesatria penunggang kuda, berubah menjadi sebuah lingga, simbol birahi, sarkasme humor, atau malah hanya sebagai alat penabuh gong. Selalu ada metafora yang sangat kuat dalam karya-karya Sardono. Pesan-pesannya banyak disampaikan secara implisit, kadang terus terang, kadang menyindir. Juga ada kesegaran di sana-sini yang memancing tawa tak terduga karena tepat pada momen dan posisinya masing-masing. Tari dan faktor estetika bukan lagi menjadi satu-satunya pusat perhatian dan konsentrasi, walaupun tetap menjadi hal yang sangat penting sebagai bahasa ucap. Justru ketika hampir semua telah menjadi barang hiburan, sikap seperti yang diambil oleh Sardono W. Kusumo dalam mengambil jarak dengan semua tawaran yang ada sangat kita perlukan. Pertunjukan bukan sebuah mimbar penghiburan dan pitutur, tapi sebuah peristiwa di mana kita boleh ikut mengalami walaupun dari jarak dan titik pandang yang berbeda. Passage through the Gong sangat berbeda dengan karya-karyanya terdahulu. Kaya dengan gagasan, lebih luas dalam acuan dan dalam temperamen yang memancing perhatian. Para pendukungnya, penari dari Sekolah Tari Seni Indonesia dan Keraton Surakarta, sangat kuat. Saya kira karya ini akan memperoleh sukses besar dalam tournya ke Amerika. Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini