Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menari, perjalanan menemukan diri

Belajar tari sesungguhnya mencoba mencari dan mengenali berbagai potensi dan lapis-lapis kesadaran dalam rasa diri kita sendiri, dengan memakai kerangka watak dan peristiwa dalam wira carita sebagai acuan.

16 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika aku datang pertama kali ke rumah guru tari R.T. Kusumo Kesowo di Jalan Wirengan, Kompleks Baluwarti, Keraton Solo, umurku 13. Pada saat itu aku mendambakan peran sebagai Gatotkaca atau Hanuman, para jagoan dalam lakon Mahabharata dan Ramayana. Tetapi guruku berpendapat lain. Setelah lama memandangiku, beliau berkata, ''Kau hanya pantas menarikan tari-tari halus, seperti Arjuna, Abimanyu, atau Rama.'' Maka, aku hanya bisa iri pada temanku yang dengan semangat melangkah dalam pola tari gagah, sementara aku harus menelusuri gerak-gerak yang mengalir lembut, penuh dengan pengendalian emosi. Tentu saja bagi remaja muda yang sedang tumbuh gairah petualangannya, ini sebuah kontradiksi. Pementasan perdanaku sebagai penari adalah Arjuna, dalam fragmen Arjuna-Gardapati. Dipentaskan di dalem Cokrokusuman, di saat perhelatan ulang tahun apotek tempat ayahku sebagai direkturnya. Yang aku ingat dari peristiwa itu, orang tuaku ikut mulas perut karena tegang melihat penampilan pertamaku di depan publik. Sesudah itu berturut-turut aku sempat menari sebagai Priyambada, Panji, Kusumo Wicitro, Narayana, yang semuanya jenis tari pola halus. Tahun 1961 guruku mendapat tugas menciptakan Balet Ramayana untuk panggung terbuka Prambanan. Ini sebuah proyek besar berskala nasional, dan ketika itu seluruh masyarakat Surakarta dan Yogyakarta memusatkan perhatian pada peristiwa budaya ini. Sudah terbakar gairah saya untuk menari di sebuah pentas raksasa itu. Aku sudah yakin akan mendapatkan peran utama sebagai Rama. Tapi kembali lagi aku harus mendapati guru tariku berpendapat lain. Pada malam yang larut, tidak seperti biasanya guruku memanggilku ke dalam kamar tidurnya. Beliau bersila di tempat tidur, dan aku duduk di tikar di bawah. Aku hanya mendengar kata-katanya: ''Seperti biasa kalau aku mencipta tari aku selalu prihatin (meditasi), dan menunggu dawuh leluhur. Dan kali ini dawuh-nya, hanya anak yang gagah dari utara itu yang bisa menarikan Hanuman. Sesudah lama aku merenung, aku yakin itu kamu.'' Dalam kesepian malam itu aku merasakan hangat air mata yang meleleh. Kembali aku harus bergulat dengan persoalan batinku. Guruku ternyata lebih banyak memberikan persoalan batin daripada sekadar mengajarkan teknik-teknik menari. Dengan sendirinya aku harus mencari sendiri teknik tari Hanuman. Sebab, guruku bukanlah pengajar tari jenis ini. Selama ini beliau hanya mengajarkan padaku teknik tari halus. Persoalan teknik tari Hanuman harus saya cari sendiri dengan belajar pada guru lain, atau, harus saya karang sendiri. Singkat cerita, jadilah aku penari Hanuman. Dua tahun kemudian kembali guruku memberi persoalan padaku. Bapak Ngaliman dan S. Mardi, keduanya guru dan penari piawai di Solo, tak lagi kuat menari di udara terbuka dengan angin keras di panggung Prambanan itu. Yang kemudian dianggap siap menggantikannya hanya aku. Maka, jadilah aku Rahwana. Beberapa tahun kemudian aku baru menyadari, belajar menari sesungguhnya belajar mempelajari berbagai macam rasa gerak yang terbingkai dalam berbagai perwatakan yang ada dalam lakon-lakon Ramayana dan Mahabharata. Belajar tari sesungguhnya mencoba mencari dan mengenali berbagai potensi dan lapis-lapis kesadaran rasa dalam diri kita sendiri, dengan memakai kerangka watak dan peristiwa dalam wira-carita sebagai acuan. Maka, tak mungkin rasanya belajar tari tanpa mengerti atau mempelajari lakon-lakon dan sastra, dan bagi pelajar tari Jawa khususnya, tak mungkin untuk tak mengenal musik gamelan, dan tentu saja tata busana ukir sungging yang membungkus perwatakan-perwatakan tari. Dengan menghela kemauanku agar mau menyusuri berbagai karakterisasi tari (pola halus Rama, lalu pola terbuka improvisatoris seperti tari kera Hanuman, dan kemudian tari kasar Rahwana). Guruku mengenalkan aku pada pengertian bahwa badan penari sesungguhnya wahana untuk mengenal berbagai rasa yang terkandung dalam jiwa kita. Mungkin sekali ketika aku datang pertama kali dengan gairah ingin menjadi Gatutkaca, dan guruku serta-merta mengajariku Gatutkaca, maka aku hanya akan mengenal diriku seperti apa yang aku bayangkan tentang diriku. Tetapi cara belajar tari yang sering tak seperti yang aku mau dan justru sering bertentangan dengan sekadar apa yang aku mau itulah yang menyebabkan aku tahu lebih banyak tentang diriku yang aku tak tahu. Seorang penari sesungguhnya bukanlah orang yang sekadar menggunakan badannya untuk bergerak dalam pola gerakan-gerakan tertentu. Menari sesungguhnya sedang meniti rasa menjalani pencarian dan mungkin penemuan tentang dirinya sendiri. Bila terkandung di dalamnya suatu pengalaman yang berharga, mungkin ia bisa berbagi dengan penonton. Menari sesungguhnya sedang meniti rasa, menjalani pencarian dan mungkin penemuan, tentang lingkungan sekitarnya. Bila terlatih pengamatan dan kaya perbendaharaan si penari itu, ia akan bisa berhubungan dengan berbagai watak dan pola. Bukan hanya bentuk dan pola gerakan manusia, tapi juga nilai budaya yang mempengaruhi. Mungkin pengalaman menyusuri berbagai macam pola karakter dan pola dalam gerak tari melatihku untuk dengan ''relatif mudah'' menyusuri berbagai pola dan ragam budaya di Indonesia. Kenyataannya memang dengan badanku aku mampu berkomunikasi dengan berbagai suku di Indonesia. Teman-teman suku Dani di Lembah Baliem dan suku Kenyah di hutan Kalimantan dengan serta merta akrab karena aku langsung terserap dalam tari ritual mereka. Gerak tari kemudian menjelma menjadi bahasa yang mengatasi perbedaan bahasa verbal. Dengan badannya penari mencari pengetahuan, dengan badannya penari membagi pengertian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus