Berlin Barat, Musim Din~gin 1987 ~BERJALAN sepanjang tepi barat Sungai ~Spree bersama Sulamith, anak perempuannya berusia 6 tahun, Barbel Grubel dikelilingi sejarah. Di belakang mereka menjulang kubah Reichstag, parlemen yang dibungkam oleh omong besar Adolf Hitler. Di seberang timur, memanjang monumen kontemporer sebuah kediktatoran, Tembok Berlin. Tapi sebenarnya Barbel Grubel menghadapi lebih banyak daripada hanya monumen-monumen di seberang. Masih dalam jangkauan pandangan mata adalah Reinhardstrasse. Di sana Barbel dibesarkan, dan di sana masih tinggal orangtuanya, dipisahkan dari anggota keluarga yang lain oleh Tembok itu. Dari tempatnya berdiri sekarang, apartemen orangtuanya hanyalah beberapa ratus meter -- tapi itulah dunia yang lain. "Mengapa aku tak bisa melihat Kakek dan Nenek?" tanya Sulamith, hal yang sudah sering kali ia ucapkan. "Sudah kubilang," kata Barbel, "sebelum Tembok itu runtuh, kamu tak akan bisa bertemu mereka. Kamu hanya bisa menelepon Kakek dan Nenek." "Lalu kapan Tembok itu runtuh?" tanya Sulamith, dan lagi-lagi ini pertanyaan yang sudah berulang kali ia katakan. "Aku tak tahu, Sayang, mungkin saja dalam waktu dekat." Berlin Timur, A~gustus 1961 "MANA surat keteranganmu?" Bagi telinga Barbel, pertanyaan itu masih terdengar janggal. Wilayah tempatnya tinggal, Berlin Mitte, pusat kota yang kumuh, tiba-tiba saja berubah menjadi kamp tentara. Sering kali ia mendengar tembakan, terutama di malam hari. Polisi selalu menanyakan kartu pelajarnya. Kecurigaan mereka membuat marah Barbel. Dan bila mereka menanyakan kartu identitas dirinya, itu memang sudah keterlaluan. Dia adalah dia, Barbel namanya, lahir di kawasan itu juga, kini berusia 12 tahun, dan tergolong bertubuh kecil dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Bentakan menanyakan surat keterangan itu kini sebenarnya tak ditujukan padanya. Barbel berdiri dalam antrean di sebuah toko daging di jalan depan rumahnya, Jalan Reinhardstrasse, menolong ibunya. Ketika ia telah dapat giliran dan segera meninggalkan antrean, seorang perwira rupanya mencuriga seorang lelaki tua yang menunggu di dekat pintu. Toko itu terletak di ujung dunia baru Barbel yang terpotong, beberapa ratus meter di wilayah Berlin Timur. Di seberang, terletak yang kini disebut Barat yang terlarang. Perbatasan, yang semula terbuka lebar, baru saja ditutup dengan pagar kawat berduri. Di persimpangan jalan, perbatasan ditutup dengan tumpukan batu yang disemen setinggi 90 senti -- tumpukan berbentuk persegi, berwarna abu-abu, kukuh tak tertembus. Lelaki tua yang berdiri di depan toko itu memandang dengan kaget pada perwira remaja berpipi merah dan berseragam hijau Vopo (Volkpolizei, Polisi Rakyat) yang meminta surat keterangannya. "Kenapa aku harus memperlihatkan surat keterangan?" tanyanya. "Aku menunggu istriku. Ia di dalam toko. Sebentar lagi ia keluar." Barbel melangkah pulang ke apartemennya, nomor 37, di dekat belokan di satu blok di depan. Ketika ia melewati sejumlah anak-anak yang sedang bermain-main di pinggir jalan, ia baru tahu lelaki tua yang menunggu di toko daging itu berjalan di belakangnya. Ia berjalan pelan dan tampak ketakutan. "Stop, atau saya tembak!" teriak perwira itu. Lelaki tua itu malah mempercepat langkahnya. "Stop, atau saya tembak!" Barbel mendengar sekali lagi. Lelaki itu terus menyusuri Jalan Reinhardstrasse. Barbel menyeberang jalan dan berbalik. Ia melihat dua Vopo berlari. Seorang di antaranya tiba-tiba berhenti dan menembak kaki lelaki tua itu. Ia jatuh terguling di aspal jalan. Polisi satunya lagi, sangat gemuk, mengangkat senapannya dan membidik. Dari jarak sekitar 20 meter, ia tembak lelaki yang terguling itu di perutnya. Barbel begitu kaget hingga ia tak bisa melangkah pergi. Berdiri bagaikan patung, ia melihat sejumlah pekerja datang berlari. Tentu, mereka mendengar tembakan tadi. Mereka adalah para buruh di pabrik mostar yang bersebelahan dengan toko daging. Mereka rupanya hendak menyerbu si polisi gemuk. Tapi empat truk penuh Vopo tiba-tiba muncul. Mereka berlompatan ke arah para buruh tadi dan, dengan tongkat di tangan, mereka mengusir para buruh kembali ke pabrik. Baru setelah jalan itu sepi, lelaki yang tertembak itu dibawa ke rumah sakit yang terletak di beberapa blok berikut. Rumah sakit dengan daya tampung dua ribu orang itu tergolong paling baik di Jerman Timur. Tapi para dokter bedahnya tak bisa menolong lelaki tua itu. Pembunuhan politik telah berlangsung di Reinhardstrasse. Di rumah, tak sepatah pun ada omongan tentang tembakan itu. Barbel paham pada kebisuan itu. Ia memang matang sebelum waktunya, selain cerdas. Ia bisa membaca yang dipikirkan orangtuanya lebih daripada anak-anak yang lain. Bagaikan kera bijaksana dalam legenda klasik, ayah dan ibunya mendengar, melihat, tapi tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Berbudi halus dan bersikap pasif, mereka menemukan toleransi. Dan mereka hanya ingin dibiarkan dalam damai. Barbel tahu, banyak orang Jerman Timur yang tak tinggal diam. Sampai Agustus 1961 --khususnya sampai Minggu, 13 Agustus, tanggal yang diingat oleh orang Jerman sebagaimana orang Amerika mengingat Minggu ketika Pearl Harbour diserang --lebih dari dua ribu orang menyeberang ke Jerman Barat tiap harinya. Sampai hari itu, sudah sekitar empat juta orang melarikan diri dari rezim komunis yang menindas. Rezim yang dalam banyak hal mengingatkan mereka pada Hitler. Orangtua Barbel tak berniat bergabung dengan para pengungsi itu. Barbel, pernah menjadi aktivis, marah. Ia marah kepada bapaknya, Franz, yang tak dapat berpisah dengan pekerjaan yang ia cintai sebagai administrator di bagian urologi di RS Saint Hedwig. Salah seorang doktor yang melarikan diri ke Barat sebenarnya ingin mengajak Franz dan keluarganya. Ia menawarkan pekerjaan yang sama dan gaji yang lebih besar. Tapi ayah Barbel menolak. Saint Hedwig adalah rumah sakitnya, pasien di situ adalah pasiennya bapak Barbel tak bisa meninggalkan semua itu. Sejak malam Minggu 13 Agustus yang panas dan lembap, kesempatan itu terlambat sudah, meski Barbel tak menyadarinya di akhir pekan itu. Saat itu, ia~ berada di perkemahan musim panas sekolahnya, di sebuah desa perkemahan yang besar di hutan dekat Neu-Brandenburg. Pagi-pagi, Minggu 13 Agustus itu, pengeras suara perkemahan mendadak mengumandangkan pengumuman singkat yang mengejutkan semua orang Republik Demokrasi Jerman (inilah nama resmi Jerman Timur) dengan "sungguh-sungguh" menyegel perbatasannya dengan Barat -- sebagai tindakan pengamanan. Mereka yang berada di pekemahan langsung terlibat dalam suatu diskusi yang panas. Barbel mendengar seseorang berkata bahwa penutupan itu hal yang tak bisa dihindarkan. Arus pelarian para cerdik pandai ke Barat -- dokter, akademisi, insinyur, dan para ahli di banyak bidang -- tak bisa dibiarkan. Dan bagaimana dengan Grenzganger, 40 ribu penyeberang Berlin Timur yang tiap pagi bekerja di Berlin Barat dan kembali dengan mengantungi Mark Barat -- yang harganya empat sampai lima kali lebih tinggi daripada Mark Timur -- yang membelanjakan uangnya untuk barang-barang yang jarang dijumpai di Timur? Bukankah itu sebuah sabotase yang tak patriotik? Tapi, kata yang lain, kebocoran itu tak akan pernah bisa ditutup. Memencilkan sebuah kota, suatu bangsa, tanpa memperhitungkan jumlah keluarga yang tak terhitung jumlahnya, tak mungkin bisa dilakukan. Orang tak akan bisa menerimanya, baik di Timur maupun di druben, "di sana" (begitulah orang Jerman Timur menyebut Barat). Siapa bisa membayangkan pemisahan yang kurang ajar itu? Barbel tidak. Dari tengah hutan Neu-Brandenburg, hal itu terdengar fantastis. Barbel sudah biasa menyeberangi perbatasan, pergi ke Barat, beberapa kali dalam sehari. Tak ada tempat bermain di blok apartemennya. Maka, ia bersama teman-temannya menyusup ke Barat, ke Tiergarten, sebuah taman yang luas di Berlin, yang jaraknya cuma tiga menit jalan kaki. Tak ada lagi Tiergarten? Itu tak boleh terjadi. Beberapa hari kemudian, dalam perjalanan pulang dari perkemahan, Barbel menyusuri Reinhardstrasse langsung dari setasiun kereta bawah tanah. Dan ia tahu, Tiergarten memang tak ada lagi. Di mana-mana penjaga, kawat berduri, dan tumpukan batu bersemen. Dan polisi itu selalu memeriksa surat keterangan. Tiergarten memang tak ada lagi. Bingung dan takut, ia naik ke lantai lima dengan berlinang air mata. Ia langsung menemui ibunya. Barbel, kutu buku yang perasa, tak menampakkan sisi lain kepribadiannya: sebagai seorang yang suka berontak. Ia begitu rapuh dengan tubuhnya yang kecil. Wajahnya yang cantik didominasi matanya yang hitam besar dan membingungkan dengan pandangan yang menembus. Wajah itu dibingkai oleh rambutnya yang halus, panjang, dan hitam. Di rumah itu jarang terdengar suara bernada tinggi. Tapi kali ini Barbel begitu emosional, penuh kemarahan pada pengurungan yang terjadi di Timur, yang membelah dengan semena-mena dunianya. Mengapa keluarganya tak mengungsi ke Barat, sebelum ini semua terjadi, sebagaimana keluarga yang lain-lain itu? Mengapa? Dengan sabar Eva, ibunya, mengingatkan bahwa bapaknya adalah orang yang begitu bertanggung jawab, hingga tak bisa meninggalkan pasien-pasiennya, dua neneknya yang sudah uzur, rumah mereka dengan semua isinya. Ia tak bisa lari dengan membawa istri dan empat anaknya dengan hanya pakaian yang melekat di badan, menuju ke suatu yang belum jelas diketahui, yang kondisinya belum tentu secerah yang dijanjikan. Sebagai anak sulung, Barbel mesti memahami dan merasakan ini semua. Barbel mengerti, tapi tak sependapat. "Kini, kita tak akan pernah keluar dari sini!" ia berteriak. Sesungguhnya, bagi Barbel, kemungkinan masih terbuka. Dibutuhkan 12 tahun sebelum ia lari ke Timur, dengan menanggung akibat yang dideritanya sepanjang hidup. Merasa terjebak, Barbel ikut dalam arus besar yang mengalir di antara rakyat Jerman Timur. perburuan lubang pelarian di perbatasan. Secara bertahap, tembok setinggi hampir tiga setengah meter berdiri sepanjang 41,5 km, membentuk garis zig-zag melewati Berlin. Tapi itu hanyalah mengundang keingintahuan, halangan yang sifatnya sementara -- tembok yang buruk, ganjil, yang melahirkan lebih banyak penyeberang yang cerdik daripada yang bisa dibayangkan oleh orang luar. Penguasa Jerman, yang kekurangan segalanya kecuali rasa sakit dan kelicikan, memanfaatkan bangunan-bangunan yang sudah ada dan batas alam. Di wilayah tempat tinggal Barbel batas alam pertama itu adalah Sungai Spree, yang lebarnya sekitar 120 meter. Sejumlah pagar berlistrik muncul kemudian. Lalu tembok merah gelap dari kompleks RS Charite seluas 0,11 hektare. Seluruh wilayah ini diawasi oleh Vopo selama 24 jam sehari-semalam, biasanya terdiri dari dua orang, yang satu mengawasi yang lain, sementara mereka memantau keadaan sekitar dari menara pengawas yang baru didirikan. Barbel tak cuma menghadapi satu rintangan, melainkan satu jaringan berbelit-belit yang ruwet. Tembok rumah sakit yang tebal dan kuno itu memanjang dalam jarak yang mudah dicapai dari sungai. Maka, hampir tiap malam, selama berbulan-bulan, Barbel merangkak di sisi tembok, mencari pasangan batu bata yang tak begitu kukuh dipasang oleh tukang batunya. Tapi ia tak menemukan satu bata pun yang rapuh. Sementara itu, perbatasan di sekitar dia makin hari makin rapat. Penutupan perbatasan itu tampaknya tak akan pernah berhenti. Jembatan di atas Sungai Spree diledakkan. Halte kereta bawah tanah Jalan Reinhardstrasse dibarikade. Sempurnalah keretakan dunia Timur-Barat Barbel. Lampu-lampu tinggi dan lampu sorot mengubah malam jadi siang. Bangunan-bangunan lama di dekat sungai secara bertahap diratakan. Lalu pasir diurukkan, maka terciptalah daerah kosong tak bertuan yang lebarnya lebih dari 30 meter. Wilayah mati ini secara teratur pasirnya selalu diratakan untuk memudahkan melihat jejak kaki. Merasa putus asa, Barbel melupakan keinginannya untuk lari dan memusatkan perhatian mengorganisasikan perlawanan dari dalam. Ini tak dirasakannya sebagai lamunan bahwa seorang anak perempuan berusia 12 tahun mencoba melawan sebuah negara polisi. Ia mencontoh tokoh-tokoh dalam buku yang ia baca. Bertahun-tahun kemudian, di belakang terali besi penjara Jerman Timur, ia merasa hidupnya bagaikan sebuah karya sastra. Ia sebut masa itu sebagai "hidup penggantin." Menengok kembali tahun 1961, Barbel biasanya membaca buku-buku yang membuatnya seolah-olah ia mengalami sendiri peristiwanya. Yang paling menggerakkan emosinya adalah Tiap Orang Mati dengan Caranya Sendiri, sebuah novel karya Hans Fallada. Diterbitkan dekat setelah Perang Dunia II, novel itu menceritakan perjuangan seorang tukang kayu bernama Otto Quangel dan istrinya Anna. Mereka mengakui, setelah disiksa oleh Gestapo, bahwa mereka telah menulis 259 kartu dan 8 surat subversif yang mereka selipkan di bawah pintu rumah-rumah di Berlin antara tahun 1940 dan 1942, sebagai protes atas kematian anak mereka di front. "Fuhrer membunuh anak kami," bunyi kartu itu. "Fuhrer juga akan membunuh anak kalian." Otto Quangel dieksekusi dengan guilotin. Istrinya meninggal di penjara ketika daerah itu dibom. Barbel ingin mencoba cara tukang kayu dan istrinya itu dan berharap gagasannya terwujud dalam hidup sebenarna, melawan Nazi kontemporer bernama Republik Demokrasi Jerman yang komunis. Di sebuah toko alat tulis ia membeli seperangkat alat cetak dan pemasang huruf sederhana. Ia juga membeli setumpuk kertas murah dan sepasang sarung tangan tipis. Ketika keluarganya tidur, ia lalu memgenakan sarung tangannya agar tak meninggalkan sidik jari di mana pun, dan menuangkan gagasannya huruf demi huruf. Lalu, di malam itu pula ia mencetak sekitar 300 selebaran. Dalam kalimat seorang anak, ia menuntut kematian Walter Ulbricht, diktator penguasa Jerman Timur, orang yang bertanggung jawab adanya Tembok yang dibenci dan penembakan di Jalan Reinhardstrasse. Barbel menyebut Ulbricht sebagai "anjing polisi". Baginya, ia mirip Hitlernya Fallada. Di waktu fajar ia bawa selebaran itu dalam tas sekolahnya dan memasukannya ke dalam kotak surat orang-orang di wilayah itu, termasuk kotak surat di rumahnya sendiri. Novel Fallada mengajarkannya, bila ia lupa memasukkannya ke kotak suratnya sendiri, akan dengan mudah orang menuduh barang haram itu berasal dari rumahnya. Ketika ia keluar dari sebuah apartemen, ia bertemu dengan dua Vopo, yang menanyakan surat keterangan. Ia memalang pintu dan lari. Kedua polisi mengejarnya. Barbel berlari kencang. Ia tahu jalan-jalan di bangunan apartemen tetangganya itu, termasuk pintu-pintu belakangnya. Di suatu halaman belakang ia lemparkan sisa selebaran ke dalam tempat sampah, lalu ia menyuruk ke halaman RS Charite. Meski lolos dari kejaran kedua polisi yang lamban itu, Barbel tak pernah lagi berani membagi-bagikan selebaran. Bila saja ia tak bisa mendorong tetangganya untuk berbuat sesuatu, ia seorang diri akan mencoba menyingkirkan Ulbricht. Ia tahu tempat penyimpanan nitroglycerin di laboratorium sekolahnya. Ia bisa menggunakan bahan peledak itu untuk menghancurkan Volkskammer, parlemen yang cuma berfungsi sebagai stempel karet, yang dipimpin sendiri oleh Ulbricht. Dengan begitu Ulbricht dan orang-orang partainya bisa ditangkap. Tapi laboratorium sekolah digembok. Kemudian ia mencoba menggerakkan pembangkangan masyarakat. Ia merasa, taktiknya akan berjalan bila ia punya komplotan. Maka, sekali lagi ia membuat daftar nama para tetangga. Waktu dan tempat yang tepat untuk merekrut pengikut adalah di toko, ketika banyak orang antre dengan sabar, untuk memperoleh kebutuhan pokok sehari-hari. Sayuran dan buah-buahan bermutu rendah dan hanya bisa diperoleh kadang-kadang saja. Kopi murni termasuk barang mewah yang sungguh mahal, tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Para pembeli menggerutu dan mencaci. Barbel, dari tempatnya antre, mencoba menyulut kemarahan massa, melemparkan gagasan sabotase ekonomi, misalnya pemogokan untuk menentang harga kopi. Tak seorang pun mengkhianati Barbel, karena gagasan itu datang dari seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Gerutuan makin menjadi sebagai pertanda kemarahan para pembeli itu. Barbel terus menganjurkan upaya perlawanan, dan sementara itu tak seorang pun mencoba melaporkannya pada penguasa. Tapi kepengecutan para tetangga itu, dengan tetap tinggal pasif tak melakukan sesuatu apa pun, akhirnya membuat ia kecewa. Ini mengingatkannya dua tahun lalu, ketika polisi menggeledah rumahnya. Di suatu Senin siang Barbel pulang sekolah dan mendapatkan seluruh isi rumah duduk mematung di sekeliling meja makan. Tak seorang pun membuka mulut. Beberapa Vopo baru saja mendatangi rumahnya, dan pemimpinnya mengatakan mereka akan menggeledah apartemen itu. Orangtua Barbel memang gampang ditakut-takuti. Mereka tak suka menanggapi pertanyaan-p~ertanyaan Barbel ~~yang kontroversial tentang politik. Mereka ingin tinggal netral, tak ingin terlibat. Barbel membenci mereka karena orangtuanya itu begitu berbeda dengan sejumlah tokoh pemberontak yang melawan Nazi, pahlawan-pahlawan dalam buku-bukunya. Meski sebenarnya ayah ibunya pun melakukan perlawanan kecil dengan melawan undang-undang Republik Demokrasi Jerman. Mereka tak puas dengan media cetak partai, lebih suka membaca Westliteratu~r yang diselundupk~an oleh Barbel lewat perbatasan. Senin siang itu kedatangan Barbel tak menarik perhatian para polisi yang sedang melakukan penggeledahan. Maka Barbel menyusup dari kamar ke kamar, menyembunyikan buku dan majalah-majalah terlarang (bahkan majalah mode dari Jerman Barat pun dilarang), dan ia mengatur kamar-kamar itu sedemikian cerdik agar para polisi hanya melakukan pemeriksaan sambil lalu. Tiap rumah se~lalu dikirimi propaganda komunis. Maka, ia ambil bahan-bahan propaganda yang tersimpan di laci-laci, lalu menyebarkannya ke seantero kamar. Ia buka beberapa buletin itu, untuk mengesankan bahwa kiriman gratis itu dipelajari dengan seksama. Ketika para polisi meninggalkan rumahnya, Barbel merasa menang. Ia telah membuat orang-orang Ulbricht yang menjijikkan itu mengendus perangkap yang sudah dipasangnya. Dan itu semua, lagi-lagi, ia lakukan sendirian. Barbel terus berusaha mendapatkan teman seperjuangan. Ia kemudian membujuk teman-teman sekolahnya untuk membentuk komplotan bawah tanah. Tak seorang pun cukup punya saraf kuat untuk bergabung. Sejumlah teman-temannya yang lebih muda malah menyingsingkan lengan baju menggambar janggut pada poster pahlawan-pahlawan komunis. Kekurangberuntungan mereka yang punya semangat tak mati-mati untuk mencoba keluar dari Jerman Timur jadi propaganda yang menguntungkan pihak Republik Demokrasi Jerman. Sementara itu, TV Jerman Barat tak henti-hentinya menyiarkan mereka yang berhasil melarikan diri. Barbel tahu yang terjadi sebenarnya tanpa harus melihat TV atau mendengarkan cerita-cerita yang mendirikan bulu kuduk yang beredar dari mulut ke mulut. Ia hanya perlu berjalan-jalan di sekeliling wilayah tempat tinggalnya, dan mengamati dari jendela apartemen Petra, salah seorang teman sekolahnya. Barbel jadi saksi, sejumlah penerobos perbatasan akhirnya menemukan akhir yang membahagiakan. Mengintip lewat dapur Petra di suatu siang, Barbel melihat seorang lelaki berdiri di bukit kecil dekat RS Charite. Ia melepaskan baju dan celananya. Betapa kaget Barbel, di saat itu pula ia melihat seorang Vo~po di menara pengawas terdekat, siap menembakkan senapan Kalanishkovnya. Polisi itu tampak tenang, biasa-biasa saja, tak tergesa-gesa. Lalu terjadilah itu. Lelaki itu terjun ke Sungai Spree. Barbel berteriak. Tembakan pun terdengar, tak cuma dari satu senapan tapi tiga. Lelaki itu menggelepar-geleparkan tangannya. Lalu ia tenggelam. Beberapa kendaraan pengintai segera muncul. Vopo mencoba mencari tubuh yang tenggelam tadi. Beberapa saat kemudian Barbel melihat tubuh lelaki itu diseret ke Reinhardstrasse, berlumuran darah sekujur tubuhnya, tapi bisa bergerak-gerak. Esoknya Barbel mendengar bahwa seorang "kriminal" yan~g mencoba lari ke Barat dan tewas. Kekejaman sejak itu tak pernah meninggalkan Barbel. Bahkan mereka yang mencoba berpikiran bebas tak luput dari pengawasan Vopo. Barbel dan ibunya menyaksikan dua sejoli ditembak polisi. Mereka berduaan di dekat RS Charite. Kesalahan mereka, di saat Vopo melihat, mereka berpelukan. Malam adalah yang terburuk. Sedikit yang bisa dilihat, terlalu banyak yang masuk telinga dan terbayanglah yang bukan-bukan. Kadang-kadang tembakan datang dari pistol sinyal, yang hanya pelurunya menerangi kawasan perbatasan. Tapi yang biasa adalah suara tembakan-tembakan yang jadi musik pengganggu tidur Barbel. Sebuah warung di lantai bawah ditutup diubah menjadi pos penjagaan. Barbel hampir tak percaya pada Tuhan. Ia berdoa tiap malam agar teror di Reinhardstrasse berakhir. Doanya tak pernah terkabul. Setelah ia menikah dan pindah ke sebelah rumah orangtuanya, suara-suara tembakan, yang ketika itu sudah agak jarang, membuat anak-anaknya terjaga. Generasi ketiga pun dipaksa hidup dengan tembok jahanam itu. Berlin Timur, 1971 ~Ketika Barbel Grubel tumbuh menjadi remaja, konfrontasi dengan guru-guru di sekolahnya makin menjadi. Khususnya pada pelajaran sejarah. Kebesaran Marx dan Lenin begitu dipuja, seakan tak ada pemikir lain hadir sebelum mereka. Jauh sebelum tembok menutup Reinhardstrasse, para guru berupaya setengah mati mencekoki muridnya, yang sejauh pengetahuan Barbel merupakan kebohongan besar. Mereka bersikeras bahwa Republik Demokrasi Jerman merupakan masyarakat ideal. Hal yang tak sinkron dengan kenyataan betapa lusuhnya pakaian tiap orang, toko-toko dengan rak melompong, antrean panjang tiap hari, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Para guru yang tinggal, membutuhkan bantuan para ahli untuk meyakinkan versi resmi kehidupan di Timur. Karena itu, di tahun-tahun setelah tembok berdiri, pelajaran politik kerap diberikan oleh para petugas dari Komite Sentral Partai (Komunis). Barbel berharap membuat malu para pejabat tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan beraninya. Ia sudah mendengar bahwa pemberontakan para buruh telah melumpuhkan Berlin Timur pada 17 Juni 1953. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa para buruh berontak melawan sebuah negara buruh? Dan mengapa benteng di perbatasan dibutuhkan untuk mencegah orang pergi? Untuk mem~udahkan penerimaan indoktrinasi atau setidaknya untuk menghambat gelombang pertanyaan-pertanyaan tak mengenakkan, penguasa sekolah memerintahkan para murid membubuhkan tanda tangan pada sejumlah dokumen, berisi pernyataan dukungan pada partai dan janji untuk mengabaikan pemikiran versi kapitalis. Barbel dan rekan-rekan sekelas harus beberapa kali membubuhkan tanda tangan. Mereka memaraf pernyataan tidak menonton siaran TV Barat atau mendengarkan siaran radio musuh (pelarangan ini tiap malam dilanggar di hampir semua rumah). Para murid juga diwajibkan menandatangani protes atas invasi CIA ke Teluk Babi, di Kuba. Barbel berusaha menghindar dari pembubuhan tanda tangan sejauh ia bisa. Khususnya menolak ketika diminta menandatangani pernyataan mengecam John F. Kennedy dan kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Ia mengagumi presiden AS itu, lebih dari siapa pun di dunia ini. Ketika mendekati usia 15 tahun, Barbel Grubel diminta bergabung dalam perayaan ~fuge~nd~weihe (pentasbihan pemuda), yang disponsori pemerintah. Ini semacam perayaan pembabtisan untuk menunjukkan kedewasaan seseorang dalam gereja. Barbel menolak. Ia tak mau ikut perayaan seperti itu, tempat orang harus bersumpah seperti dalam upacara Nazi, untuk "hidup, bekerja dan berjuang dalam semangat proletariat internasional." Sementara negara menjamin para pemuda cerdas duduk di perguruan tinggi, rapor Barbel yang penuh catatan -- walau nilai pelajarannya tinggi -- otomatis menjadi faktor penghambat bagi gadis berani ini. Saat berlangsung konsultasi pendidikan lanjutan yang dilangsungkan pihak sekolah, sang pembimbing langsung "menembak": "Mau pilih apa kamu, pramuniaga atau sekretaris?" "Sekretaris," ujar Barbel dengan menahan napas. Beberapa tahun kemudian, ia menulis, "Pemikiran anarkhi saya dimulai pada saat itu." Barbel kaget ditugaskan sebagai sekretaris sebuah kementerian di dekat Checkpoint Charlie. Apakah ini kekeliruan, semacam kelalaian birokratis? Atau manuver sengaja untuk menempatkan sosok "tak bisa dipercaya" dalam pengawasan? Para bos memerintahkan agar Barbel tidak membawa tas belanja Baratnya ke kantor. Karena ada tulisan iklan toko serba ada kapitalis di tas itu. Dalam briefing ia diberi tahu bahwa dua remaja seperti dirinya telah divonis penjara seumur hidup karena menyelundupkan sejumlah kertas kementerian ke tangan Amerika. Dari file di lemari kantornya, Barbel juga mengetahui warga yang tertangkap basah melakukan kejahatan serupa dihukum mati -- dipenggal kepalanya. Barbel justru merasa tertantang melawan tekanan-tekanan diktatorial tersebut. Sekali-sekali, saat sedang tidak diawasi, ia menduplikat sejumlah kertas penting. Satu dokumen merinci soal dampak sabotase pipa minyak Uni Soviet-Jerman Timur. Ia menyembunyikan koleksinya itu di bawah kasur di rumah. Di musim panas, ia sembunykan itu di bawah tumpukan kayu bakar di tungku pemanas -- ia bisa langsung membakarnya, dalam keadaan darurat. Ia berharap dapat bertemu dengan orang Amerika yang bisa dipercaya. Itu tak pernah kesampaian dan akhirnya Barbel membakar habis dokumen-dokumen itu. "Sang tembok, sang tembok, sang tembok," tulis Barbel setelah lari ke Barat. "Di mana-mana tentara dan tembok. Saya selalu berada, bekerja dan tinggal di dekat itu. Saya tercekik dan terobsesi oleh tembok itu." Kecuali teman dan tetangganya, Petra, Barbel tak menemukan seorang pun bisa diajak berbincang dengan bebas. Orangtuanya makin lama terasa kian asing. Seorang adik lelaki dan dua adik perempuannya lebih suka bermain-main, sikap yang membuat iri Barbel, dan dalam waktu yang sama membuatnya tertekan. Ia menjadi figur yang aneh, padahal ia termasuk gadis ayu, melankolis, dengan matanya yang besar dan gelap itu. Kian hari ia menganggap dirinya seorang kutu buku dan terasing. Sesuatu harus terjadi untuk memecah kebekuan kehidupan. Bagi Barbel, hal itu tiba saat ia berusia 19 tahun. Di sebuah kedai kopi, di hari Minggu, ia bertemu Ota Grubel, 13 tahun lebih tua, jauh lebih jangkung daripada dirinya. Ota begitu ramah, berpakaian mahal, tampak sangat berpengalaman berhadapan dengan cewek. Ia pintar bicara, kata-kata begitu saja bergulir dari mulutnya. Akhirnya, setelah tahun-tahun kesepian, ia bertemu dengan jiwa yang bebas, seorang yang membenci rezim Ulbricht dan Komunis dengan menggebu seperti dirinya. Dan Ota berani mengekspresikan kebencian itu di muka teman-temannya. Ota seorang pramuniaga. Sangat ekstrovet. Ia menjual karpet, bahan-bahan mebel dan gorden, di "Haus der Stoffe" milik pemerintah, di Karl Marx-Alle. Dan dalam hierarki ekonomi Republik Demokrasi Jerman, posisi Ota menjamin status dan kemakmuran. Ota menjual yang disebut mangelware, barang-barang yang sulit didapat. Dan cuma lapisan yang disebut "masyarakat tanpa kelas" -- dokter, insinyur, pejabat partai, dan aktor -- yang mampu meminta pertolongan Ota untuk mendapatkan barang-barang langka itu. Ota sering mendapat tip besar, bahkan dalam bentuk mata uang asing. Mata uang asing dapat membeli apa pun di Jerman Timur, kecuali kebebasan. Barbel terpesona oleh kisah-kisah pemberontakan kecil Ota, begitu mirip kisah dirinya. Mereka pun hidup bersama, setelah menyerahkan setumpuk uang untuk mendapatkan tempat yang tepat, sebuah apartemen dengan ruang tamu luas di Jalan Hermann-Matern, di ujung Jalan Reinhardt, tempat tinggal orangtua Barbel. Barbel tetap merasa tak nyaman, masih menjadi tawanan sang tembok. Tapi kehidupannya mulai menyenangkan. "Dalam hal-hal tertentu Anda bisa membeli kebebasan," Ota mengenang. Pada saat mereka resmi kawin dan anak-anak lahir, Ota kecil dan Jeannette, mereka mampu membeli apa pun, karena punya banyak uang. Dengan ambisi, perasaan artistik, dan enerji menggebu, Ota menjadi interior dekorator freelance untuk sejumlah pelanggan tokonya. Ia sering pergi kerja pukul 6 pagi, untuk lebih dulu datang ke pelanggan, sebelum masuk kerja. Karena toko cuma punya sedikit barang untuk dijual, ia terkadang bisa pulang ke rumah pukul 3 sore, bahkan pukul 2 siang. Akhirnya, ia bisa memperoleh 9.000 sampai 10.000 mark per bulan, hampir sebesar gaji para menteri Ulbricht. Pernah seorang langganan memberi lembaran duit 5~0-an dolar. Kerluarga Grubel mampu makan malam di restoran mahal. Mereka kerap nonton film, konser dan teater. Mereka membeli mobil Opel, bekas tentu saja, seharga 20.000 mark. Dan Barbel memperoleh SIM cum~a dalam beberapa hari normal, seorang warga biasa Jerman Timur baru bisa mendapatkannya setelah beberapa tahun. Tentu. Ota menyogok sekitar 1.000 mark. Kehidupan~ lebih baik apa lagi yang diinginkan pasangan muda seperti itu? Bagi Barbel dan Ota ada kehidupan yang lebih baik lagi. Mereka merasa seperti dipenjara. Di muka umum, mereka harus berbisik, saat bahan omongan peka tampil ke permukaaan. Di pusat kota, para V~opo menapaki hampir sepanjang jalan. Mereka merasa diawasi. Angin kebebasan yang bertiup di luar tembok ternyata bukan dari Barat. Pada musim gugur 1968, mereka mengunjungi teman di Cekoslovakia. Peristiwa aneh terjadi pada komunisme di sana, selama masa emas yang pendek, yang kemudian dikenal dengan "Musim Semi Praha". Perdana menteri komunis baru, Alexander Dubcek, mengizinkan kebebasan pribadi sampai tingkat mengejutkan, pada 21 Agustus. Sampai tentara Soviet masuk merangsak dengan tank-tank, untuk memastikan agar pemberontakan Berlin Timur 1953 dan Revolusi Hungaria 1956 tak terulang. Dubcek masih memerintah saat pasangan Grubel datang berlibur ke Praha (ia tak dicopot, sampai tahun berikutnya). Dan bagi turis dari Berlin Timur, suasana begitu menggairahkan. "Para buruh dapat berbicara dan memaki," kata Barbel mengenang "Karena itu, kami memimpikannya selama bertahun-tahun. Anda dapat mencaci Ulbrict, dan kami melakukannya. Di jalanan ...." Mereka juga berkeliaran di perbatasan Ceko. Apakah mereka dapat mencapai Barat dengan rute itu? "Seandainya Anda datang kemari tiga bulan lebih awal," ujar teman mereka. "Waktu itu bakal gampang menyeberang. Sekarang tidak bisa." Merasa seperti burung liar dimasukkan kembali ke dalam kandang, setelah terbang di alam terbuka sekejap, Barbel dan Ota kembali ke apartemen bagus mereka. Di "Teaterkeller", restoran bawah tanah "Teater Deutsche", di ujung apartemen mereka, Barbel dan Ota menemukan rekan-rekan sealiran: orang-orang panggung, mahasiswa, intelektual. Kontak-kontak ini penting bagi hidup mereka. Mereka membutuhkan teman berbicara, mengemukakan pendapat, dan menguji gagasan dengan dialog. Di Teaterkeller, Barbel dan Ota juga menjalin persahabatan dengan sejumlah orang muda yang sama-sama beroposisi pada rezim penguasa. Di antara mereka terdapat para mahasiswa dari Universitas Hubbold, Erich dan Hannelore Schnidt. Setelah Eric ditendang dari Universitas, karena mengeluarkan pernyataan kritis tentang pemerintah, keluarga Schmidt bekerja sebagai tenaga panggung. Mereka memiliki seorang anak seusia Ota kecil. Kedua anak ini masuk taman kanak-kanak dan bermain bersama. Tidak seperti pasangan Grubel, keluarga Schmidt punya hubungan dengan pihak Barat dan bisa mengatur penyelundupan buku-buku dan majalah terlarang. Kedua keluarga ini saling bantu menitipkan anak, jika mereka hendak ke luar rumah. Di Barat, kemudian, Barbel dan Ota sering mengingat persahabatan mendalam ini. Perasaan emosional yang tumbuh di Timur dan menghilang setelah mereka berhasil lolos. Apakah ini semacam kebutuhan hadirnya teman yang amat sangat, sehingga menghilangkan sikap egois seseorang? Apakah kemiskinan mendorong kebenaran? Ataukah ini pembenaran slogan doktrin kesetiakawanan satu untuk semua dan semua untuk satu dari tanah air? Barbel dan Ota ragu: apakah seharusnya mereka tinggal di rumah lebih lama, setidaknya sampai anak-anak cukup umur untuk dipindahkan dengan aman? Di seantero Jerman Timur, keputusan untuk keluar sudah meruyak. (Upaya pelarian mereka gagal, September 1973. Ota, Barbel, Ota Kecil, dan adiknya, tertangkap penjaga perbatasan Ceko. Mereka dikembalikan ke Jerman Timur. Di sebuah penjara Jerman Timur, kedua anak Barbel diambil oleh petugas. Suatu perpisahan yang sudah dibayangkan Barbel. Satu hal yang ia takutkan, bila si Ota Kecil menangis. Ternyata tidak. Sementara itu, Jeannette, yang baru tiga tahun, rupanya tak menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Sejak itulah mereka tak melihat Ota Kecil danJ eannette. Bahkan orangtua Ota dan Barbel pun tak bisa menemukan cucu-cucunya. Malah mereka dicap sebagai orangtua yang tak becus mengasuh anak, maka mereka pun tak berhak memelihara kedua cucu mereka. Meta, ibu Ota, mencoba mencari cucunya di pusat pengasuhan anak. Gagal. Bahkan ia mencoba masuk markas Stasi, mencari tahu di mana kedua cucunya berada. Tapi diusir. Pada 1975 Ota dan Barbel dibebaskan, berkat pengacara Jerman Barat. Bahkan keduanya diizinkan meninggalkan Jerman Timur, untuk tinggal di Barat. Upaya mereka mencari kedua anaknya tetap sia-sia, hingga keduanya punya anak ketiga, Sulamith. Tak jelas, setelah Tembok runtuh, setelah Jerman bersatu, adakah mereka -- satu di antara banyak keluarga Jerman Timur yang terpisah dengan anak-anaknya -- bisa bertemu dengan kedua anaknya yang kini tentunya sudah remaja.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini