Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pesta Bunyi Acak Music Box dan Lain-lain

Lewat karya-karyanya, Bagus Pandega menunjukkan bahwa karya seni tidak harus diam atau dinikmati secara visual semata. Tapi juga menggugah indra pendengaran dan melibatkan pengunjung.

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Galeri ROH Projects bising. Petikan gitar elektrik, bunyi ritmis simbal, dan dentingan kotak musik terdengar bersahut-sahutan dari pintu masuk galeri yang berlokasi di lantai 40 Menara Equity, Jakarta Selatan, itu. Kecuali saat pesta pembukaan pameran, keriuhan ini jarang terjadi dalam sebuah galeri seni. Tetapi, dalam pameran tunggal Bagus Pandega, keriuhan ini akan terus berlangsung hingga pameran usai pada 20 Juni mendatang.

Bagus Pandega, sejak tujuh tahun yang lalu, mengembangkan karya dari medium suara dan gerak. Dimulai dari Singer, karya trimatra yang dibuat dengan menggabungkan mesin jahit, gramofon, dan pemutar piringan hitam, Bagus menciptakan mesin jahit yang bisa "bernyanyi" tiap kali digerakkan. Dari sana, ketertarikannya memadukan gerak dan suara dalam karya seni terus berkembang.

Dalam pameran berjudul "Random Black" ini, kreativitas Bagus naik satu tingkat dengan menciptakan karya-karya seni yang memadukan unsur cahaya, suara, dan gerak dalam waktu yang sama. Riuh bebunyian, kerlap-kerlip lampu LED, dan gerakan kinetik dari obyek-obyek yang tidak disekat dalam ruang pameran itu menyambut para pengunjung pameran, Selasa pekan lalu.

Dalam karya Delay Relay, misalnya, Bagus menyusun simbal dan pemukulnya bertingkat-tingkat menyerupai pohon yang berkembang. Disangga dengan stainless steel, pemukul itu secara otomatis memukul simbal-simbal dengan tempo acak. Pemukul dan simbal ini digerakkan dengan sistem elektronik analog dan kabel-kabel yang terhubung ke stop kontak terdekat.

Kadang simbal-simbal yang dipoles hitam hingga menyerupai piringan hitam itu berbunyi bergantian. Di lain waktu, beberapa simbal berbunyi pada saat yang sama. Sesekali mereka diam, dan pengunjung yang menyaksikan akan bertanya-tanya simbal mana yang akan berbunyi.

"Konsep pameran ini adalah uncertainty, ketidakpastian kehidupan. Apa pun yang terjadi di depan kita, kita tidak pernah tahu pasti," kata Bagus, Selasa pekan lalu. Dalam membuat karya ini, dia mengingat kembali pengalaman kehilangan orang-orang yang dekat dengannya: rekan kerja dan kenalan yang lebih dulu berpulang. Seperti karya berjudul Bygone, yang menampilkan drum berisi lampu neon bertulisan judul karya ini. Bygone merupakan tafsir literal dan kontemplasi personal sang seniman melihat kehidupan yang sudah berlalu.

Beberapa karya dalam pameran ini memiliki sistematika yang sama dengan durasi berbeda. "Kadang nyala sendiri, kadang nyala bareng. Seperti itulah kehidupan," kata Bagus mencontohkan tiga seri karya A Tea Poi On Moo.

Pada seri karya itu, Bagus merancang instalasi turntable, vinyl, yang berputar otomatis dengan sistem relay elektronik dan disorot lampu meja. Tiga karya ini berputar secara acak. Ketika berputar, tiga vinyl yang diberi stiker bibir di sekelilingnya itu menampilkan animasi bibir bergerak yang mengucapkan saya tidak tahu, saya tidak yakin, dan lihat saja nanti. Tiga kalimat yang merujuk pada ketidakpastian itu sendiri.

Telah lama Bagus menjadi kolektor vinyl. Sesekali, dalam beberapa bulan, alumnus magister seni murni dari Institut Teknologi Bandung ini memborong ratusan vinyl tanpa melihat judulnya. "Banyak musik yang belum pernah saya dengar. Tapi pernah saya mendapat edisi emasnya Michael Jackson," katanya.

Vinyl juga jadi medium yang dipilih Bagus dalam membuat Polka, karya yang menampilkan putaran acak dari 16 piringan hitam yang disusun dalam rak kaca. Di ruang hening, sistem elektronik yang memutar vinyl secara acak ini akan terdengar seperti bunyi halus orang bernyanyi seriosa. Namun suara itu tenggelam dalam kegaduhan bunyi bermacam karya Bagus dalam ruangan ini.

* * * *

Dinding putih sepanjang galeri tak luput jadi "kanvas" sang seniman. Bagus memasang di dinding itu rangka besi dan lampu sirene kuning sepanjang enam meter yang terhubung dengan sistem elektronik. Deretan lampu itu berpendar dan berputar tanpa pola. Tapi, sesekali, kata "Peak" terbaca di antara pendaran lampu itu. Tak ada suara yang keluar dari karya ini, tapi, "Karya ini membutuhkan usaha lebih lama," kata Bagus. Dalam karya itu, Bagus juga tidak menyembunyikan lilitan berbagai macam kabel listrik. Semuanya terekspos.

Di ruangan lain, Childhood Mixed Fantasy dipresentasikan dalam gelap. Dalam karya ini, Bagus merancang pelat berbentuk bundar dipasangi baut-baut dan berotasi layaknya piringan hitam raksasa. Tiap kali baut-baut itu menyentuh delapan switch yang menggantung di atasnya, sentuhan tersebut memicu keluarnya bunyi dari delapan motor music box yang terhubung. Lampu-lampu LED yang tersusun dari kabel akan merespons bunyi-bunyian dari kotak musik dengan menyala bergiliran.

Uniknya, nada-nada yang keluar dari kotak musik itu acak. Tidak membentuk satu irama lagu. Padahal tiap motor penggerak itu diatur untuk "menyanyikan" lagu seperti Over the Rainbow, Somewhere Out There, hingga Yesterday. Sebab, Bagus telah merancang putaran pelat dan baut secara acak. "Sekali tersentuh biasanya music box akan memutar lagu utuh. Tapi dalam karya ini sentuhan itu hanya menjadi satu nada. Jadi bunyi yang terdengar akan acak, tergantung baut mana yang menyentuh saklar music box yang mana," katanya.

Bagi Bagus, karya seni tidak hanya bisa diamati dan dinikmati secara visual oleh para pengunjung. Tapi juga sedapat mungkin berinteraksi dengan pengunjung. Interaksi manusia dengan obyek seni itu dirancangnya dalam Xylodisco, karya menyerupai bola lampu disko yang disusun dari potongan xylophone. Pemukul xylophone disediakan di salah satu dinding agar pengunjung bisa membunyikan karya aneka nada itu.

Ada pula karya yang terinspirasi dari barang keseharian. Pada My Daily Synth, Bagus merancang panci yang terhubung dengan synthesizer dan lampu meja. Tiap kali pengunjung memainkan tombol untuk menghidup-matikan lampu, suara akan terdengar dari panci. Karya ini juga menggunakan sensor cahaya. Maka, ketika pengunjung mengintervensi cahaya, suara yang dihasilkan juga akan berubah.

Pada Breadman's Automation, gitar, simbal, dan lampu LED akan berbunyi dan menyala secara otomatis. Pengunjung hanya perlu menyalakan tombol merah untuk merekam kalimat selama 20 detik yang nantinya akan diterjemahkan dengan bunyi alat musik yang terhubung dengan amplifier dan hidup-mati lampu LED. "Setiap rekaman akan diterjemahkan dengan nada dan nyala lampu yang berbeda," kata Bagus.

Lewat pameran ini, Bagus menunjukkan bahwa karya seni tak hanya bisa dinikmati secara visual, tapi juga menggugah indra pendengaran. Konsep ini tentu terkait dengan minatnya yang besar terhadap musik. Bagus pernah tergabung dalam kelompok musik dan sesekali menjadi disc jockey di acara-acara terbatas. Seniman 30 tahun ini suka mempreteli barang elektronik. Semuanya dipelajari secara otodidaktik. Maka tidak mengherankan bila 90 persen karya dalam pameran ini dikerjakan sendiri selama dua bulan terakhir.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus