Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANGAT menyedihkan bila polisi justru memberi contoh buruk dalam proses penegakan hukum. Seorang ajudan dan tiga pengawal Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman yang sudah dua kali menolak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi itu memperburuk citra Korps Bhayangkara: menambah panjang barisan penegak hukum yang justru tidak taat hukum.
KPK akan memeriksa keempat polisi sebagai saksi kasus Doddy Aryanto Supeno, Direktur PT Dunia Kreasi Keluarga, yang disangka menyuap Sekretaris dan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution. Dari penangkapan Doddy dan Edy pada 20 April lalu, KPK menduga kasus ini ada kaitannya dengan Nurhadi. Dugaan ini semakin kuat setelah dalam penggeledahan kantor dan rumah Nurhadi ditemukan tiga koper berisi uang Rp 1,7 miliar dan dokumen daftar perkara.
Kesaksian empat polisi itu sangat penting. Merekalah kunci untuk membuka dugaan keterlibatan Nurhadi. Empat polisi itu bertugas menjaga rumah Nurhadi. Kalau benar dugaan bahwa Doddy Aryanto berkunjung ke rumah Nurhadi, tentu ajudan dan pengawal Nurhadi itu mengetahui kejadian tersebut. Sampai akhir pekan lalu, Nurhadi mengaku tak mengenal Doddy dan tak terlibat rasuah. KPK jelas memerlukan keterangan empat polisi itu untuk menguji kebenaran kesaksian Nurhadi.
Seandainya Nurhadi kelak terbukti pernah menerima seorang tersangka seperti Doddy di rumahnya, itu jelas masalah yang lebih serius dari sekadar pelanggaran etika. Soalnya, Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2010 tentang aturan penerimaan tamu jelas melarang aparat pengadilan menerima tamu dari pihak atau yang berkepentingan dengan suatu perkara yang belum, sedang, atau sudah diperiksa dan diputus. Aturan yang ditujukan kepada aparat pengadilan itu seharusnya tidak mengecualikan semua pejabat Mahkamah Agung-lembaga yang mengeluarkan surat larangan itu.
Semua dugaan pelanggaran ini memang perlu pembuktian. KPK mesti lebih gigih mencari bukti dan kesaksian, apalagi terlihat jelas usaha untuk mempersulit pengusutan kasus ini. Royani, anggota staf Panitera Mahkamah Agung yang selama ini menjadi sopir Nurhadi, tiba-tiba seperti lenyap ditelan bumi ketika KPK memanggilnya sebagai saksi. Empat polisi yang bertugas mengawal Nurhadi juga tak lagi berada di Jakarta dan rupanya dipindahtugaskan ke Poso, Sulawesi Tengah, pada akhir Mei lalu. Padahal surat panggilan untuk mereka sudah diserahkan penyidik KPK kepada Kepala Kepolisian RI, Kepala Brimob, dan dititipkan kepada Nurhadi, pada pertengahan Mei.
Pemindahan empat polisi itu jelas bukan kebetulan semata. Tak mungkin juga para pejabat tinggi kepolisian tidak mengetahui bahwa KPK sedang meminta empat polisi itu bersaksi. Kepolisian perlu secepatnya menghadirkan keempat polisi agar tidak terkesan merintangi jalannya pemeriksaan kasus ini. Jangan sampai KPK harus "menjemput paksa". Mereka bisa kena pasal tindak pidana bila kelak juga menolak bersaksi di pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur, orang yang menolak panggilan sebagai saksi perkara pidana di pengadilan bisa dikenai hukuman penjara paling lama sembilan bulan.
Dengan memerintahkan empat polisi itu bersaksi, kepolisian sesungguhnya berkesempatan membantu KPK memberantas dugaan adanya "mafia" di Mahkamah Agung. Tapi, bila terbukti kepolisian sengaja meminta keempatnya menghindar dari pemeriksaan hukum, itu saja sudah merupakan pelanggaran hukum yang serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo