Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Petualangan Bersama Janus

Inilah film semi-animasi Indonesia yang pertama. Tak sempurna tapi menjanjikan.

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Janus, Prajurit Terakhir
Pemain :Derby Romero, Alyssa Soebandono, Reggy Lawalata
Sutradara/Skenario :Chandra Endroputro
Produksi :Spektra Film

Maka terlemparlah nun ke abad ke-31. Janus—yang diambil dari mitologi Romawi—seorang prajurit yang hidup di abad itu, tengah bertempur melawan Midas, makhluk jahat yang mengancam hidup bangsa Genox. Bangsa Genox adalah sosok manusia pada masa datang yang menjelma menjadi manusia mekanik. Menurut Janus, bila menang, mereka bisa kembali menjadi manusia seperti sekarang. Tapi sayang, dalam sebuah peperangan, semua prajurit Genox tewas, kecuali Janus. Dengan menggunakan mesin waktu, Midas pun melenggang pulang kembali ke masanya.

Maka penonton pun dilempar ke masa kini. Tersebutlah dua orang sahabat, Mayo (Derbi Romero) dan Indri (Alyssa Soebandono), yang hidupnya merana karena ditindas dua tetangganya, Rian (Fath Budiman) dan Bawor (Ray Burhanuddin). Akibatnya, mereka memilih bermain ke hutan. Suatu ketika Mayo, yang doyan main mobil radio control, bertemu dengan Janus.

Sejak itu Janus, yang hanya berupa patung mainan, dibawa ke rumah Mayo. Eh, di sana dia hidup. Mereka pun bersahabat dan saling berkisah tentang latar belakang masing-masing. Akhirnya, Mayo, yang tinggal bersama ibunya, berusaha membantu Janus. Tapi itu tak mudah, karena Mayo dan Indri masih bermusuhan dengan Bawor dan Rian. Namun pada akhirnya mereka pun akur dan mau membantu Janus kembali ke masanya, yang ingin membebaskan bangsa Genox kembali menjadi manusia.

Salah satu karakter film animasi adalah kemungkinannya menjelajah tanpa batas. Beribu contoh bisa digelontorkan. Lihatlah, Finding Nemo—animasi bikinan Pixar dan Walt Disney yang tengah beredar di bioskop-bioskop negeri ini. Di tengah gempuran film animasi Hollywood dan Jepang yang luar biasa, bagaimana animator lokal dan sineasnya menyiasati keterbatasan teknologi? Dari segi ide, pastinya tak kalah hebat. Lihatlah berbagai iklan di televisi yang diproduksi artis animasi lokal, yang juga bisa tampil jelita.

Harapan dan keyakinan seperti itulah yang kemudian menclok ketika film semi-animasi Janus: Prajurit Terakhir nampang di berbagai baliho bioskop di kota-kota besar, persis pada saat liburan anak sekolah tiba. Dia bersaing dengan film sejenis seperti Doraemon atau pun Finding Nemo. Adakah semua keinginan itu terpenuhi?

Melihat tongkrongan Janus, si pemeran utama yang tak lain merupakan karakter yang dibuat animator lokal, syarat itu bisa terpenuhi. Sosok Janus—yang sepintas mirip karakter dalam Toy Story, dengan mudah bisa mengantar anak-anak, yang jadi targetnya, pada sebuah ketakjuban. Satu lagi kelebihan, jagoan ini hidup dalam alam yang tak jauh dari keseharian mereka.

Resep bercerita yang umum terbukti berkhasiat. Pola cerita seperti ini pula yang muncul dalam Petualangan Sherina yang laku keras itu. Hanya, jahitan cerita film masih meninggalkan banyak bolong. Misalnya, soal latar belakang keluarga Mayo yang kurang terpapar jelas. Ayahnya yang telah wafat cuma ditampilkan dalam tulisan kecil "in memoriam" di foto yang muncul sekelebatan.

Namun, di lain pihak, penggarapan animasinya tidaklah buruk, kecuali adegan peperangan Janus dan prajurit lainnya di bagian awal, yang terasa dingin. Sosok Janus, yang suaranya diisi Jamie Aditya, bekas VJ MTV yang ngocol itu, terasa hidup. Bahkan sering kali sosoknya yang easy going dan ceria itu muncul. Janus juga bisa tampil "manusiawi", karena meski bertubuh mekanik, Janus tetap menangis saat kehilangan salah satu anggota keluarganya.

Menggarap film semi-animasi memang menekankan kemampuan teknis. Bukan saja karena proses pengambilan gambarnya harus mengandalkan ketelitian dan kemampuan seni rupa yang tinggi, tetapi juga menampilkan cerita yang layak visual bukanlah perkara mudah. Juga persoalan penting lainnya adalah soal duit. Dengan total biaya yang hampir mencapai Rp 2 miliar itu, tetap saja terasa kurang. Apalagi untuk menampilkan sebuah film animasi yang dahsyat seperti halnya produksi Pixar yang dahsyat itu.

Bagaimanapun, film animasi ini merupakan sebuah usaha keras dalam keterbatasan, yang semestinya memacu animator lokal lainnya membuat hal serupa.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus