OUT OF AFRICA, film terbaik 1986 Pemain: Meryl Streep, Robert Redford, Klaus Maria Brandauer Skenario: Kurt Luedtke Sutradara: Sidney Pollack "SAYA harus pergi," cetus Karen di antara pohon-pohon tinggi, di tepi hutan, di tengah keasyikan berburu. "Ke mana saja, Amerika... Sri Lanka... Afrika." Suara Karen adalah letupan hati yang terluka. Untuk kesekian kali ia dikhianati pacarnya, Hans von Blixen, saudara Bror von Blixen, pria yang saat itu berusaha menyabarkannya. Lari adalah bagian dari pedih peri, dan Karen tergolong sedikit wanita yang sungguh-sungguh melakukannya. Ia memilih lari ke Afrika -- tepatnya ke Kenya, tapi sebelum itu ia memilih Bror sebagai suaminya. Malang bagi Karen, Bror ternyata tidak lebih baik dari Hans, hal yang baru terungkap sesudah wanita ini telanjur menanamkan uangnya di bukit Ngong, pada perkebunan kopi yang cukup luas tapi tidak cukup menguntungkan. Tidak banyak beda dari bangsawan Eropa pada pergantian abad ini, Bror yang bergelar baron itu senang bertualang dan senang main perempuan. Kepada Karen ia cuma sanggup memberikan gelar bangsawan dan sifilis. Pada masa itu sekitar Perang Dunia I --kendati ada kereta api di Kenya, dan pesawat terbang sudah ditemukan, belum ada obat manjur untuk sifilis. Masih dalam usia sangat muda Karen yang penuh vitalitas itu harus menyadari bahwa hidupnya sudah separuh hancur. Ia pulang ke Denmark untuk berobat. "Arsenik adalah sekutu saya melawan musuh yang tidak pernah saya lihat," begitu tulis Karen tentang obat sifilis paling ampuh di amannya. Ia sembuh, tapi kehilangan peluang untuk punya anak. Toh Karen kembali ke Afrika, menemui Bror yang merasa berdosa, dan yang minta maaf, dan yang tetap main perempuan. Ketika akhirnya Karen mengharuskan Bror angkat kaki dari rumah, Bror menerima vonis itu dengan patuh. Bahkan ketika sekali waktu ia menemukan Karen berdua-dua saja dengan Denys Finch Hatton di rumah itu, Bror tetap tenang. "Semestinya Anda sudah melamar dia," hanya itu ucapnya. "Memang," kata Denys, tak acuh. Kenyataannya, Denys tidak pernah melamar Karen. Dia bukan petualang tipe Bror yang sekadar mengembara di dunia wanita dan sekitarnya. Berasal dari keluarga bangsawan Inggris, pernah mengecap pendidikan di Eton dan Oxford, Denys identik dengan semangat petualangan itu sendiri, sesuatu yang mengingatkan kita pada Hemingway. Dia hanya mengenal kebebasan, kesendirian, kegelisahan, pencarian diri, dan pencarian hakikat yang tidak putus-putusnya. Adalah Afrika, sastra dan singa-singa yang mempersilangkan jalan nasib Karen dan Denys. Kesemua itu punya daya tarik yang sama kuatnya terutama karena Denys, di samping biasa menjual gading dan menembak singa, senang pula pada sastra seperti Karen juga. Wajar jika kehadiran Denys yang tampan menguntumkan harapan di hati Karen. Sikap pria itu yang tidak terikat pada nilai-nilai lama -- kecuali nilai-nilai yang dibuatnya sendiri -- telah memudahkan segalanya. "Saya kebal terhadap segala penyakit," kata Denys ketika mendengar pengakuan Karen bahwa ia pernah mengidap sifilis. Hubungan mereka pun terbina, hubungan antara dua kekasih yang tidak pernah sekali pun mengucapkan cinta. Harus diakui kemahiran Sutradara Sidney Pollack mengolah tema cinta jenis ini: sangat bergairah tapi juga sangat berpotensi untuk pecah (ingat The Way We Were). Dan penyebabnya jelas: Denys tidak sedia membagi hidupnya dengan siapa pun, sementara Karen secara sangat tidak bijak menuntut sebuah perkawinan. Sebenarnya tidak sukar bagi Karen untuk memahami gaya hidup Denys -- tapi dalam perkara cinta, seorang wanita adalah seorang wanita. Ini terungkap jelas dalam kata-kata Karen, "Dengan perkawinan setidaknya ada seorang pria yang bisa saya miliki untuk saya sendiri." Gagasan ini terdengar asing di telinga Denys. Percintaan modern memang kaya dan menjadi lebih menarik untuk difilmkan karena hal-hal seperti pandangan hidup, sikap hidup, cita-cita. Pada mulanya semua itu dirasa mutlak, begitu besar dan tidak bisa ditawar-tawar, tapi kemudian terbukti bukan apa-apa. Ketika Denys akhirnya menyadari bahwa konsep hidup bersendiri yang dipertahankannya mati-matian mulai lumer perlahan-lahan --karena tuntutan cinta -- maka segalanya sudah terlambat. Dan takdir seakan ikut menunjang: pesawatnya terbakar di Tsavo, Denys tewas, padahal dia sudah berjanji akan mengantar Karen ke Nairobi. Penonton yang pernah membaca buku Out of Africa, karya Isak Dinesen (nama samaran Karen Blixen), akan beroleh kesan bahwa kisahnya agak lain. Memang dalam buku itu, kehidupan pribumi Afrika mendapat porsi terbesar, sementara yang terangkat dalam film adalah kehidupan pribadi pengarangnya. Toh bukan berarti Afrika cuma sekadar bingkai. Kamera telah sangat peka menangkap nuansa-nuansa yang khas: terik matahari di atas padang, awan yang keperakan, masyarakat kolonial. Dan Meryl Streep, sebagai Karen, bermain bagus hingga Robert Redford, yang memerankan Denys, terbawa olehnya. Beberapa adegan (dan dialog) sangat mengesankan: pertarungan lawan singa, percintaan menggebu Karen-Denys -- yang hanya Pollack sendiri mampu mengungkapkannya -- dan juga dansa mereka yang penghabisan. Ketika film berakhir pada semak dan padang, ketika udara hening dan kaki langit terbentang di belakangnya, penonton hanya dapat merasa bahwa tujuh Oscar itu memang layak untuk Out of Africa. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini