Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YANG satu ingin membebaskan diri dari tradisi dengan cara meretrospeksi gerak-gerak klasik yang mendarah daging di tubuhnya. Yang lain menyajikan gerakan bebas sangat lambat yang bertolak belakang dengan gerakan baku cepat dan energetik dalam tradisi yang dipelajarinya kala muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan Pichet Klunchun dari Thailand dan Padmini Chettur dari India di Yogyakarta ini adalah contoh bagaimana pergulatan seniman tari kontemporer Asia dalam mempertimbangkan tradisi. Bagaimana negosiasi serta pergolakan antara intelektualitas mereka dan arsip khazanah tari klasik yang ada dalam tubuh mereka sejak muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pichet adalah sosok fenomenal. Ia dikenal sebagai master khon, tari klasik yang berkembang di istana Thailand. Sosoknya menjadi topik wacana tari kontemporer setelah ia, bersama Jerome Bell, menampilkan karya berjudul Pichet Klunchun and Myself. Karya yang pernah dipentaskan dalam Indonesia Dance Festival 2008 ini unik dan berani. Sepanjang pertunjukan, tidak ada tari dalam arti sesungguhnya. Hanya ada percakapan Bell dengan Pichet, yang membandingkan filsafat dan prinsip antara balet dan tari klasik Thailand.
Sesekali Pichet memperagakan gerak-gerak klasik sebagai ilustrasi. Kaitan tak terduga antara dialog dan peragaan tiba-tiba itu terasa menyegarkan sekaligus cerdas. Pichet banyak menciptakan karya kontemporer. Salah satunya, yang konseptual, adalah Nijinsky Siam, yang pernah dipentaskan dalam Singapore Art Festival 2010. Pada Februari 1910, penari balet legendaris Rusia, Vaslav Nijinsky, pernah memainkan nomor solo berjudul Danse Siamoise di Mariinsky Theater, St. Petersburg. Nomor itu hasil kunjungannya ke Thailand. Pichet tidak menemukan dokumen yang memadai ketika melakukan riset tentang pertunjukan itu. Hanya ada sejumlah foto kabur yang memperlihatkan Nijinsky berkostum penari Thailand. Dalam pertunjukan Pichet, foto-foto itu disemprotkan ke layar dan diperbesar, dari posisi kaki, pundak, hingga tangan. Di panggung, Pichet merekonstruksi posisi itu untuk mencari tahu tari Thailand apa yang dipelajari Nijinsky.
I am A Demon yang dipentaskan di Kedai Kebun, Yogyakarta, 14 Juli lalu, adalah nomor lama yang menandai awal kariernya. Karya ini dibuat pada 2006. Demon merujuk pada peran Rahwana atau raksasa yang sering dimainkan Pichet. Dengan bertelanjang dada dan hanya berkancut tari, Pichet memperagakan gerak-gerak dasar raksasa. Dari posisi wajah menghadap muka, mata terpejam dengan kaki terlipat seperti meditasi, sampai berjalan, posisi kuda-kuda, dan menoleh samping. Pichet berdiri tegak menghadap dinding dan memukul-mukulkan telapak kakinya berulang kali.
Ia tampak mengkritik tubuhnya seraya mengundang penonton mengamatinya. Peran Rahwana dalam tari klasik khon mengharuskan ia mengenakan kostum berat berlapis-lapis dan memakai topeng sepanjang pertunjukan. Penonton dapat mengetahui gerak dasar Rahwana dalam membentuk otot-otot muka dan tubuhnya lantaran Pichet bertelanjang dada. Inilah yang menjadi kontroversi di Thailand. Menurut Pichet, tari klasik khon dianggap sakral di negerinya. Orang-orang tak boleh mengubah atau mendekonstruksi gerakan tari itu. Sebagian orang Siam percaya bahwa bila seseorang mengotak-atik tari itu, hal buruk akan menimpa orang tersebut. Raja Thailand, kata Pichet, mengontrol segalanya, termasuk tari. "Waktu pertama kali saya pentaskan di Bangkok, hanya tiga orang yang menonton I am A Demon," kata Pichet.
Sebagai latar, di layar ditayangkan petilan dokumentasi master Chaiyot Khummanee, yang melatih Pichet saat ia berumur 16 tahun. Pertunjukan ini awalnya memang dirancang untuk mengenang tiga tahun wafatnya Chaiyot Khummanee. Terlihat Chaiyot menginstruksikan beberapa gerakan tubuh. Untungnya panitia menerjemahkan omongan sang guru dan membagikan terjemahannya, sehingga penonton memahami konteks fragmen tersebut. Sang guru, misalnya, menekankan kepada Pichet agar selalu mengangkat dagu saat dalam posisi duduk serta harus peka terhadap irama. Pichet mengaku selalu terharu setiap kali melihat potongan dokumentasi ini. Arwah sang guru seolah-olah ada dalam ruangan.
Pichet, selain menciptakan karya kontemporer, terlibat dalam garapan kolosal khon. Sebab, bagaimanapun, dia adalah master khon. Bisa dikatakan ia seorang cultural commuter, bolak-balik antara tradisi klasik dan kontemporer. "Betapapun demikian, sampai sekarang kalangan tradisional tetap menolak eksperimen-eksperimen saya," ujarnya.
Adapun Padmini Cettur menyajikan gerakan yang sangat lambat di lantai bawah Langgeng Art Foundation yang sempit, 15 Juli lalu. Sekitar 70 penonton tampak duduk lesehan. Dari awal sampai akhir, Padmini seolah-olah merasakan, menghayati waktu yang mengalir tenang dalam tubuhnya. Gerakannya tidak rumit. Di belakangnya, belasan lampu tampak berada di lantai. Sekali waktu ia mengusapkan tangan ke lantai. Lalu, dalam posisi menungging dan berjinjit, ia merangkak di lantai, mengesankan gerak seekor serangga.
Sementara dasar Pichet adalah tari klasik khon, pendidikan klasik Padmini adalah tari bharatanatyam. Pada 1977, saat berumur tujuh tahun, ia mulai mempelajari bharatanatyam dengan guru seorang laki-laki bernama Pandannalur Subbarraiyya Pillai. Dia dilatih agar bisa menguasai gerakan dasar bharatanatyam, yang mengharuskan tubuh dalam posisi geometris tertentu secara estetis. Dalam tari bharatanatyam, energi berasal dari kaki yang lalu menjalar vertikal ke tulang punggung. Dari latihan itu, Padmini mulai memahami ruang, waktu, dan garis dalam tubuh.
Dalam perkembangannya, Padmini berusaha mendekonstruksi "grammar tubuh" bharatanatyam. Lebih-lebih kala ia belajar kepada penari legendaris Chandralekha. Bagi Chandralekha, teknik bharatanatyam tidak cukup untuk tujuan tertentu. Chandralekha juga membebaskan metodenya dari standardisasi. "Estetika tari klasik di India sering dipaksakan melalui kacamata orientalis menjadi identitas baku India," ucap Padmini. Padmini tertarik pada bahasa gerak yang minimalis.
Malam itu, di Yogyakarta, pertanyaan dasar dalam karya Padmini berjudul Beautiful Thing 2 adalah bagaimana gerak yang ada dalam dirinya tidak mengganggu ruang kecil atau mempersempit ruang itu. Bagaimana ruang tersebut terbawa dalam tubuh. Padmini percaya ada semacam inner diagonal dan inner spiral dalam tubuhnya. Penonton melihat Padmini tidak mengekspresikan gerakan emosional yang diobral. Sebaliknya, ia tampak mengamati aliran energi yang lambat. Dari posisi berdiri, menungging, sampai tertelungkup, setiap gerakannya membentuk sudut geometris.
Semua gerakannya bebas, sama sekali tak tampak vokabuler gerak tradisi. Memori-memori fisik tari klasik pun tak muncul spontan. Penonton melihat gerakan mengalir meski tidak menciptakan koreografi yang mengejutkan secara estetis. Soundscape berupa suara serupa gesekan, air mendidih, dan dengung membantu Padmini menjelajahi ruang.
Saat Padmini berganti posisi, setiap lampu yang score-nya diatur Jan Maertens bersama-sama menyala. Dalam ruang yang sempit, perpindahan posisi Padmini tidak memperlihatkan suasana klaustrofobik, ketakutan atau ketidaknyamanan ketika berada di ruang yang sempit. Festival yang memiliki tag Wandering Asian Contemporary Performances ini dijaga kurator tari lintas Asia yang memiliki perhatian terhadap isu pertunjukan kontemporer. Setiap tahun, festival ini direncanakan diselenggarakan di kota di dua negara Asia. Tahun ini, Yogyakarta menjadi persinggahan pertama, Kuala Lumpur selanjutnya.
Seno Joko Suyono, Shinta Maharani
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo