Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah masa, di sebuah tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tak hanya masuk ke sebuah gerbong kereta api yang kira-kira mengambil model abad ke-19, tapi juga masuk ke dunia rekaan Mike Wiluan yang asing dan ganjil. Di dalam gerbong itu terjadi adu tinju sebagai taruhan antara seorang lelaki raksasa dan lelaki Melayu (belakangan kita tahu bernama Jamar, yang diperankan Ario Bayu). Si Raksasa tampak akan mengalahkannya. Tapi sejak awal kita tahu yang namanya film fantasi akan membela si underdog Jamar, yang tidak hanya tampan, tapi juga cerdas bersiasat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan premis itu, dan petuah sang paman, Arana (Tio Pakusadewo), kepada dua keponakannya, Jamar dan Suwo (Yoshi Sudarso), kita mengikuti mereka bertiga memasuki sebuah kampung di Jawa (atau semacam itulah) dengan satu tujuan: membalas dendam. Tentara Belanda, Van Trach (Reinout Bussemaker), yang dulu membunuh bapak Jamar dan Suwo itu kini menguasai seluruh desa; memerkosa para perempuan dan memerintah sewenang-wenang.
Yang pertama-tama harus kita lakukan saat menyaksikan film ini adalah membuang tuntutan akurasi sejarah dan segala pengetahuan kebudayaan tentang penjajahan Belanda dan raja-raja Jawa (di dalam film ini, kedua putra yang akan membalas dendam adalah putra Sultan Hamzah, entah raja dari kerajaan mana di Jawa bisa bernama Sumatera. Sekali lagi, buanglah semua struktur pengetahuan dunia nyata. Ini bukan sekadar cerita fiktif dengan latar belakang Jawa abad ke-19. Ini sebuah imajinasi yang melambung dengan memasukkan elemen "Wild West" (musik, kostum, hingga pertarungan laga dan tempat pelacuran) yang dikawinkan dengan martial art. Jadi kita dilarang menuduh betapa banyak anakronisme dalam film ini, karena sutradara menjungkirbalikkan waktu dan ruang. Cerita pun jelas ada pengaruh dari gaya film-film Quentin Tarantino (dari Inglourious Basterds hingga Django Unchained) yang mengisahkan balas dendam yang berakhir dengan kemenangan para underdog.
Dengan premis dan setting seperti ini, maka tugas sutradara cukup besar dan berat karena dia mengajak penonton untuk memasuki sebuah jagat yang asing, unik, dan ganjil. Bagaimana caranya agar penonton meruntuhkan paradigma yang puluhan tahun berakar di kepala tentang bentuk atau gambaran Belanda dan rakyat Hindia Belanda yang dicampur baur dengan kultur Wild West?
Saya mencoba memasuki jagat buatan Mike Wiluan itu. Memang tokoh-tokoh Mike hitam-putih. Belanda dan para hamba dan penjilatnya adalah si keji, rakyat adalah yang baik dan tertindas, sementara Paman Arana dan kedua keponakannya adalah "legenda" yang akan dikenang sebagai superhero yang datang tepat waktu. Sesekali adegan laga ditampilkan cukup seru.
Ada satu tugas sutradara film fantasi yang mesti diingat: dia harus meyakinkan penonton bahwa cerita yang dia susun itu adalah kisah nyata dalam jagat yang diciptakannya. Problemnya, Mike tidak konsisten. Sulit untuk meyakinkan kita tentang sosok Van Trach sebagai perwakilan Belanda yang ternyata berbahasa Inggris kepada semua orang dan dibalas dengan bahasa Indonesia oleh para penduduk, termasuk oleh Jamar dan Suwo, yang belasan tahun eksil ke negara lain. Komunikasi yang agak aneh dan kaku.
Lantas, ada beberapa isi dialog yang terasa sedikit janggal karena terdengar seperti terjemahan harfiah dari bahasa Inggris. Hal lain yang agak mengganggu adalah persoalan Buffalo Boys, para pemuda yang menunggang kerbau itu, tak tampak betul-betul menunggang kerbau. Adegan mereka menunggang kerbau tak pernah direkam seutuhnya. Mungkin ada kendala teknis, tapi karena judul dan trailer film itu membangun harapan, adegan kerbau dan para pahlawan menjadi adegan harapan penonton.
Catatan lain: tokoh Kiona (Pevita Pearce) yang semula tampak bakal jadi Katniss Everdeen van Java, ternyata dia cuma jagoan pada masa latihan. Pada saat showdown melawan begundal-begundal itu, dia hanya diberi kesempatan sesekali menghajar. Tapi selebihnya adalah panggung dua jagoan kakak-adik itu: Jamar dan Suwo. Padahal, mumpung Mike membuat jagat fantasi, dia tak harus mengikuti stereotipe sosok perempuan di abad tersebut, kan?
Terakhir: para pemain seperti Ario Bayu, Tio Pakusadewo, dan Happy Salma adalah penyelamat segala situasi. Jagat yang dibangun oleh Mike Wiluan mungkin saja menarik dan menjanjikan di atas kertas, tapi tersendat ketika di atas layar lebar. Apalagi ditambah penampilan pemeran Suwo yang sulit mengimbangi seni peran rekan-rekannya.
Ah ya, musik Zeke Khaseli yang biasanya asyik dan unik dalam beberapa karya lain, dalam film ini agak kedodoran. Sementara dalam Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak dia tahu kapan harus berhenti dan membiarkan kesunyian bernyanyi, di film ini scoring terus-menerus bergaung.
Setelah Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (Mouly Surya, 2017) yang juga memasukkan unsur Western ke dalam ceritanya, tampaknya Mike Wiluan ingin menawarkan kembali resep perkawinan ini dalam bentuk film laga. Kita masih belum tahu apakah kedua film ini akan menjadi sebuah pintu bagi sebuah subgenre baru.
Untuk saya, meski dengan catatan saya tentang film ini, Buffalo Boys ikut memperkaya jenis film Indonesia.
Leila S. Chudori
BUFFALO BOYS
Sutradara: Mike Wiluan
Skenario: Raymond Lee, Mike Wiluan, Rayya Makarim
Pemain:
Ario Bayu, Yoshi Sudarso, Pevita Pearce, Tio Pakusadewo, Mikha Tambayong, Happy Salma, Reinout Bussemaker, Alex Abbad, Conan Stevens, Zack Lee
Produksi:
Infinite Studios, Zhao Weil Films, dan Screenplay Infinite Films
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo