Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Produksi Kekerasan di Poso

Mengapa konflik yang diawali cekcok antara warga muslim dan Kristen di Poso bisa menjadi konflik besar? McRae menuliskan temuannya dengan detail yang mengagumkan.

30 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masih ingat Basri alias "Bagong", salah satu pemimpin teroris Poso yang pernah dipenjara, melarikan diri, dan beberapa bulan lalu kembali ditangkap dan dipenjara (lagi)? Ya, lelaki kekar itu oleh Kepolisian RI disebut "tangan kanan Santoso di Poso".

Lebih jauh kita mengenalnya, lebih banyak kontradiksi kita temukan dalam dirinya. Saya sempat mewawancarainya pada 2011: mantan pemain band lokal yang sejak muda dikenal sebagai preman Poso itu, dengan tato memenuhi sekujur lengan dan kaki, menyebut diri "jihadis". Karena dendam kesumatnya kepada Polri, antara lain karena siksaan yang dialaminya, saya tak kaget jika dia akan terus melawan.

Agar dapat memahami kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam diri orang seperti Basri, juga banyak yang lainnya, buku Dave McRae ini akan sangat membantu. Selain disertasi Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, Explaining Islamist Insurgencies (2014), yang khusus menyoroti Jamaah Islamiyah (JI) di Poso, inilah karya terlengkap dan terdalam mengenai konflik komunal di satu titik yang sebenarnya kecil saja di satu kabupaten di Sulawesi Tengah itu.

Penulisnya, kini peneliti senior Asia Institute, University of Melbourne, Australia, menghabiskan sepuluh tahun usianya untuk menulis buku ini—yang semula merupakan disertasi di Australian National University, Canberra. Dia bolak-balik ke Poso, bicara dan menulis fasih dalam bahasa Indonesia, serta mengenal baik para narasumber, yang berasal dari beragam lapisan. Beberapa tulisannya tentang Poso pernah terbit di jurnal dan penerbitan populer.

McRae benar ketika mengklaim beberapa hal pokok yang menjadikan Poso ladang subur untuk mempelajari konflik kekerasan komunal pasca-Reformasi. Dibanding konflik sejenis di Ambon, Maluku Utara, dan Kalimantan, konflik Poso adalah yang terpanjang. Yang menarik, meski berlangsung sembilan tahun dan makan korban 600-1.000 jiwa (plus pengungsi), konflik itu tak menyebar bahkan ke Ibu Kota Palu, kontras misalnya dengan konflik Ambon.

Karena itu, teka-teki yang menantang McRae berlapis: mengapa pertama-tama hubungan muslim dan Kristen berubah, dari harmonis menjadi konflik disertai kekerasan? Mengapa konflik yang diawali cekcok antara seorang muslim dan Kristen itu bisa bereskalasi menjadi konflik komunal besar, terdiri atas beberapa fase? Mengapa konflik itu bisa bertahan lama, padahal Indonesia secara keseluruhan semakin stabil dan demokrasinya semakin terkonsolidasi? Dan, akhirnya, mengapa konflik komunal besar itu tetap terlokalisasi di Poso dan akhirnya berhenti?

Untuk menjawab teka-teki itu, McRae memeriksa politik nasional dan lokal serta sejarah, ekonomi, dan demografi lokal. Dia beruntung karena beberapa sarjana (khususnya Jacques Bertrand, Gerry van Klinken, dan John Sidel), dalam studi-studi sebelumnya, sudah menunjukkan pentingnya faktor-faktor struktural terjadinya ketidakpastian politik akibat transisi demokrasi (reformasi, desentralisasi, pemilihan umum langsung). Inilah yang mendorong para elite melakukan langkah-langkah mobilisasi massa dalam rangka mengamankan kepentingan.

Dari studi-studi kasus sebelumnya, juga tampak jelas bahwa massa seperti sudah mendidih untuk dimobilisasi karena dua faktor utama. Pertama, komposisi penduduk muslim dan Kristen yang relatif seimbang (ditambah unsur transmigrasi). Ini diperuncing oleh fakta bahwa di sana ada sejarah ketegangan dan konflik di antara kedua komunitas. Kedua, kebijakan Orde Baru, yang berlangsung lama, mengakibatkan de-agrarianisasi. Ini membuat orang lari dari pertanian dan menjadikan mereka sangat bergantung pada sumber daya negara, yang harus diperjuangkan lewat mendudukkan patron sebagai pejabat negara.

Tapi penjelasan-penjelasan itu tak selamanya memuaskan untuk memahami Poso, yang konfliknya terus berkelanjutan. Sumbangan khusus McRae terletak pada kejeliannya memisahkan antara awal mula konflik dan dinamikanya. Di sini dia berutang pada Stathis Kalyvas dan Jeremy Weinstein, dua ahli perang saudara yang menyatakan bahwa perang, ketika sudah berlangsung, memiliki logika dan dinamika sendiri, yang bisa sepenuhnya berbeda dengan mengapa ia pertama kali terjadi.

Dalam tujuh bab yang padat, dilengkapi peta tempat perang-perang berlangsung, McRae menuliskan temuan-temuannya dengan lancar, berlapis dari luar ke dalam, dengan detail-detail yang mengagumkan. Baginya, konflik Poso berkembang dari kerusuhan kota, pembunuhan yang menyebar luas, konflik berlarut-larut di antara kedua komunitas, dan kekerasan sporadis terutama oleh kombatan muslim.

Basri, yang saya sebut di atas, muncul pada fase kedua konflik Poso, ketika dia menemukan bahwa 26 saudaranya menjadi korban yang harus ikut dia angkat dan kumpulkan antara lain dari Sungai Poso. Pada titik itulah dia memutuskan terlibat dalam konflik, sebagai bagian dari komunitas muslim. Inilah proses yang hendak saya sebut "the making of Basri": bukan Basri dan ideologi "jihad"-nya yang menyebabkan konflik Poso, tapi konflik Poso-lah yang melahirkan "jihadis" seperti Basri.

Tesis pokok McRae lainnya adalah bahwa semua fase konflik di atas digerakkan oleh hanya segelintir laki-laki yang terorganisasi dengan baik. Meski aktor-aktornya bisa beda di fase yang berbeda, merekalah yang memproduksi kekerasan di Poso. Judul Inggris buku ini, A Few Poorly Organized Men, mencerminkan tesis ini, yang tak tertampung dalam judul Indonesianya.

Inilah yang menyebabkan mengapa konflik Poso tak menyebar ke luar Poso dan mengapa ia berhenti ketika Polri mengambil langkah penegakan hukum atas aktor-aktor utamanya pada Januari 2007, dengan menyerang markas mereka di Tanah Runtuh. Langkah ini diambil sesudah Polri mengetahui bahwa mereka dipengaruhi, bahkan dididik, oleh para aktivis JI, yang semula hanya mereka kenal sebagai "guru-guru dari Jawa".

Cukup mengherankan bahwa McRae tidak menyebut fase terakhir konflik di atas sebagai bagian dari terorisme, seperti yang dimaksudkan jaringan JI sendiri. Kita tahu, dari konflik Poso, lahir teroris (atau "jihadis", tergantung di mana Anda berdiri) seperti Basri dan Santoso. Mereka dikenal tak hanya di Poso atau Indonesia, tapi juga dunia.

Tapi McRae betul ketika mengklaim bahwa fase konflik terakhir di atas, ketika para "jihadis" muslim melakukan aksi-aksi sepihak terhadap warga sipil Kristen (seperti mutilasi tiga siswi sekolah menengah atas), sudah tidak memperoleh dukungan kaum muslim Poso pada umumnya. Ini sudah di luar ciri konflik komunal muslim-Kristen. Lagi pula, jika alternatif tafsir di atas diterima McRae, paparan dan analisisnya harus semakin panjang.

Buku ini wajib dibaca semua peneliti sosial. Ia menunjukkan berakhirnya "orang luar" dan "orang dalam", yang sempat ramai dibicarakan dulu. Saya, orang Indonesia kelahiran Betawi, tak memiliki akses lebih baik dibanding McRae ketika meneliti Poso.

Kita juga perlu belajar dari keberanian McRae yang membawa masuk teori-teori yang dikembangkan di luar (seperti tentang kekerasan oleh Kalyvas) untuk didialogkan dengan data Indonesia. Kita terlalu sering merasa bahwa Indonesia itu khas, hingga kita menjadi "katak dalam tempurung". Dalam buku ini, McRae menunjukkan betapa dialog itu sangat bermanfaat.

Buku ini juga mengandung implikasi yang berguna bagi para pengambil kebijakan, jika mereka mau peduli pada fakta berbasis riset. McRae, misalnya, menunjukkan, jika negara mau, punya komitmen, mereka sebenarnya punya kemampuan menghentikan konflik itu jauh sebelum Januari 2007.

Ketika diluncurkan di Palu bulan lalu, buku ini dikritik karena kurang memberi perhatian pada kaum perempuan. Saya tak sependapat karena bukan itu tema penelitian McRae. Agar adil pada kaum perempuan, mungkin diperlukan buku khusus tentang itu, bukan menempatkannya sebagai catatan kaki.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad), Yayasan Paramadina, Jakarta


Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar Agama Terpanjang di Indonesia Pasca Reformasi
Penulis: Dave McRae
Penerjemah: Muhamad Haripin
Penerbit: Jakarta: Marjin Kiri
Terbit: Desember 2016
Tebal: vii + 309 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus