Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berita Tempo Plus

Puisi Mardi Luhung

Mardi Luhung, lahir di Gresik, 5 Maret 1965, adalah peraih anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010.  

12 September 2020 | 00.00 WIB

Puisi Mardi Luhung
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tugu Jangkung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kau mendatangi alun-alun. Alun-alun tempat kau dirikan tugu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

jangkung. Di bawah tugu, kau kumpulkan sekian pasang insan.

Kau pun berkata: “Kita telah berada di ambang pengakhiran.

Karenanya, perbaiki hidup ini.” Tapi, adakah yang mempercayai.

Sekian pasang insan tertawa. Dan kau dianggap badut yang tak

mendapat panggung. Panggung yang ingin melawan traktor atau

 

roda kincir. Panggung tempat para pengkhayal mengkhayalkan

hidup yang memang hidup. Saling salam. Dan setia pada garis.

Lalu, (sebab banyak yang tak mempercayai), kau membuka buku

 

kecil yang selalu kau simpan di kantong. Buku kecil lusuh. Buku

kecil yang penuh coretan. “Dengar,” tambahmu, “bila zaman akhir

telah datang, akan banyak yang tertawa daripada menangis pilu.”

 

Dan bla-bla-bla. Dan perkataanmu bertebaran. Dan sekian pasang

insan pun makin tak percaya. Rasanya, kau benar-benar menjelma

jadi badut. Apalagi ketika berkata: “Segila-gilanya zaman goyang,

 

maka hanya yang berbaik-baik pada dirilah yang selamat.” Sayang,

sebelum apa yang terjadi makin panjang, mobil petugas datang. Kau

diangkut. Kata salah seorang petugas: “Tenang, kami diutus untuk

 

mengantarmu ke tempat yang selalu kau impikan itu.” Alun-alun

pun riuh dengan sorak. Tapi tugu jangkung yang kau dirikan itu,

merundukkan dirinya hampir rata dengan tanah. Dengan tanah…

 

(Gresik, 2020)

 


Musim yang Berat

 

Makan apa hari ini. Apa kembali perut kita mesti lapar.

Sebab pintu restoran telah lama ditutup. Tak ada pengunjung.

Tak ada koki. Juga bumbu, ikan, daging, bayam, dan minyak.

Meski bayangan para pelayan. Bayangan yang gelisah itu masih

menunggu. Menunggu dengan nota pesanan yang kosong.

Lalu di sudut gelap, sepasang kunang-kunang terbang.

Kerlap-kerlip biru yang memancar dari punggungnya

bersilangan. Seperti silangan seutas benang tipis. Yang tak

tertebak ujung dan pangkalnya. Sekali lagi, makan apa

hari ini. Perutmu yang lapar. Perutku yang lapar. Adalah

perut kita yang mengembara. Mengembara ke harapan yang

jauh. Yang naik. Yang turun. Dan yang semburat ketika

sekian serdadu menghalau. Menghalau atas nama ini. Atas

nama itu. Dan atas nama kecemasan yang entah datangnya

dari mana. Kecemasan yang membuat kita mesti jaga jarak.

Jaga tubuh. Dan juga jaga cinta. Cinta yang pelan-pelan telah

mengubah wujudnya. Yang semula lentur dalam sekepal jantung,

kini kaku dalam seperangkat kotak yang memerangkap. Ya,

perut kita telah memasuki musim yang berat. Musim dalam

rasa lapar tanpa pintu restoran yang terbuka lebar-lebar.

 

(Gresik, 2020)

 


Sumber

belajar dari idries shah

 

Ini cerita kecil yang agak menyimpang. Cerita yang berasal

dari sumber asing. Tentang seseorang yang bertemu wabah.

Oleh wabah dikatakan: “Aku akan mengubah air yang ada

di kampung menjadi zat yang bisa menjadikan peminumnya

lupa. Lupa nama, rumah, dan juga keluarga.” Mendengar ini,

seseorang itu terdiam sejenak. Lalu tanpa pikir panjang, terus

membawa persediaan airnya keluar kampung. Setiap pagi

dan sore, seseorang itu bolak-balik antara kampungnya dan

tempat persediaan air hanya untuk meminum. Jadinya, ketika

orang-orang kampung mengalami kelupaan (sebab telah

meminum air yang telah diubah oleh wabah), seseorang itu

tetap ingat pada nama-nama dan apa-apa yang ada di kampung.

Oleh orang-orang kampung, ingatan semacam ini dianggap

tak lazim dan kurang waras. Tapi seseorang itu tak menggubris.

Terus saja menjaga ingatannya. Nah, kini soalnya, berapa

banyakkah air yang disediakan oleh seseorang itu? Cukupkah

untuk sebulan? Setahun? Atau sepuluh tahun? Sayang, ini tak

terjawab. Cuma lewat sebuah kabar di kampung, ada seseorang

yang selama ini dianggap tak lazim dan kurang waras, telah

mengubah dirinya menjadi sebatang pohon jagung remaja.

 

(Gresik, 2020)

 


Bunga Anggrek Kriting

 

Bunga anggrek kriting coklat campur kuning adalah bunga anggrek

yang berasal dari negeri sebelah. Dan di negeri itu, setiap orang

menyebut sosok gajah adalah gunung yang bergerak. Dan di negeri

itu juga, para kekasih terindu berumah di mega-mega. Mereka

berkuluk cemerlang sambil membawa kitab pencatat. Dan mereka

(pada malam-malam tertentu), turun ke bawah dan memilih satu dari

sekian yang ada. Pada yang terpilih diajarilah cara menghitung

dan meluruskan nama-nama ombak. Agar, kelak jika saatnya tiba,

 

selalu teringat pada asal dan tempat di mana dimulainya pelayaran.

Pelayaran yang panjang. Dan pelayaran yang akan menjadikan

setiap pantai akan bergairah. Terus memasang sorot lelampunya

di karang-karang tinggi. Sorot bagi para nakhoda agar gampang

mengatur jarak. Tapi bunga anggrek kriting coklat campur kuning

itu kini ada di meja bambuku. Meja bambu yang miring. Meja

bambu yang dulu pernah aku gunakan menjamumu. Sambil

bercerita, tentang seorang pangeran yang disergap dalam sebuah

 

perjanjian. Seorang pangeran yang ketika dibuang masih lantang

menukas: “Mengapa gunungan, rel, sepur, dan tetanda siasat tak

lelah-lelah mengepung?” Dan udara menekan. Dan langit senyap.

Setelah itu, murid-murid pun menghafal pada apa yang layak untuk

dihafal. Dan pada apa yang kelak menjadikan diri mereka sebagai

penempa. Sebagai yang akan dikenal dalam kisah 200 tahun yang

menegangkan. Kisah tentang sepasang utusan yang saling tikam

hanya karena secarik segel. Atau yang paling sederhana, tentang

 

rasa aman ketika sudah memakai tudung mulut, seragam lengan

panjang, dan waktu yang ingin dientengkan seperti dalam cerpen.

 

(Gresik, 2020)


Mardi Luhung lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah buku puisi terbarunya. Buku puisinya yang berjudul Buwun (2010) mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus