Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tugu Jangkung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kau mendatangi alun-alun. Alun-alun tempat kau dirikan tugu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
jangkung. Di bawah tugu, kau kumpulkan sekian pasang insan.
Kau pun berkata: “Kita telah berada di ambang pengakhiran.
Karenanya, perbaiki hidup ini.” Tapi, adakah yang mempercayai.
Sekian pasang insan tertawa. Dan kau dianggap badut yang tak
mendapat panggung. Panggung yang ingin melawan traktor atau
roda kincir. Panggung tempat para pengkhayal mengkhayalkan
hidup yang memang hidup. Saling salam. Dan setia pada garis.
Lalu, (sebab banyak yang tak mempercayai), kau membuka buku
kecil yang selalu kau simpan di kantong. Buku kecil lusuh. Buku
kecil yang penuh coretan. “Dengar,” tambahmu, “bila zaman akhir
telah datang, akan banyak yang tertawa daripada menangis pilu.”
Dan bla-bla-bla. Dan perkataanmu bertebaran. Dan sekian pasang
insan pun makin tak percaya. Rasanya, kau benar-benar menjelma
jadi badut. Apalagi ketika berkata: “Segila-gilanya zaman goyang,
maka hanya yang berbaik-baik pada dirilah yang selamat.” Sayang,
sebelum apa yang terjadi makin panjang, mobil petugas datang. Kau
diangkut. Kata salah seorang petugas: “Tenang, kami diutus untuk
mengantarmu ke tempat yang selalu kau impikan itu.” Alun-alun
pun riuh dengan sorak. Tapi tugu jangkung yang kau dirikan itu,
merundukkan dirinya hampir rata dengan tanah. Dengan tanah…
(Gresik, 2020)
Musim yang Berat
Makan apa hari ini. Apa kembali perut kita mesti lapar.
Sebab pintu restoran telah lama ditutup. Tak ada pengunjung.
Tak ada koki. Juga bumbu, ikan, daging, bayam, dan minyak.
Meski bayangan para pelayan. Bayangan yang gelisah itu masih
menunggu. Menunggu dengan nota pesanan yang kosong.
Lalu di sudut gelap, sepasang kunang-kunang terbang.
Kerlap-kerlip biru yang memancar dari punggungnya
bersilangan. Seperti silangan seutas benang tipis. Yang tak
tertebak ujung dan pangkalnya. Sekali lagi, makan apa
hari ini. Perutmu yang lapar. Perutku yang lapar. Adalah
perut kita yang mengembara. Mengembara ke harapan yang
jauh. Yang naik. Yang turun. Dan yang semburat ketika
sekian serdadu menghalau. Menghalau atas nama ini. Atas
nama itu. Dan atas nama kecemasan yang entah datangnya
dari mana. Kecemasan yang membuat kita mesti jaga jarak.
Jaga tubuh. Dan juga jaga cinta. Cinta yang pelan-pelan telah
mengubah wujudnya. Yang semula lentur dalam sekepal jantung,
kini kaku dalam seperangkat kotak yang memerangkap. Ya,
perut kita telah memasuki musim yang berat. Musim dalam
rasa lapar tanpa pintu restoran yang terbuka lebar-lebar.
(Gresik, 2020)
Sumber
belajar dari idries shah
Ini cerita kecil yang agak menyimpang. Cerita yang berasal
dari sumber asing. Tentang seseorang yang bertemu wabah.
Oleh wabah dikatakan: “Aku akan mengubah air yang ada
di kampung menjadi zat yang bisa menjadikan peminumnya
lupa. Lupa nama, rumah, dan juga keluarga.” Mendengar ini,
seseorang itu terdiam sejenak. Lalu tanpa pikir panjang, terus
membawa persediaan airnya keluar kampung. Setiap pagi
dan sore, seseorang itu bolak-balik antara kampungnya dan
tempat persediaan air hanya untuk meminum. Jadinya, ketika
orang-orang kampung mengalami kelupaan (sebab telah
meminum air yang telah diubah oleh wabah), seseorang itu
tetap ingat pada nama-nama dan apa-apa yang ada di kampung.
Oleh orang-orang kampung, ingatan semacam ini dianggap
tak lazim dan kurang waras. Tapi seseorang itu tak menggubris.
Terus saja menjaga ingatannya. Nah, kini soalnya, berapa
banyakkah air yang disediakan oleh seseorang itu? Cukupkah
untuk sebulan? Setahun? Atau sepuluh tahun? Sayang, ini tak
terjawab. Cuma lewat sebuah kabar di kampung, ada seseorang
yang selama ini dianggap tak lazim dan kurang waras, telah
mengubah dirinya menjadi sebatang pohon jagung remaja.
(Gresik, 2020)
Bunga Anggrek Kriting
Bunga anggrek kriting coklat campur kuning adalah bunga anggrek
yang berasal dari negeri sebelah. Dan di negeri itu, setiap orang
menyebut sosok gajah adalah gunung yang bergerak. Dan di negeri
itu juga, para kekasih terindu berumah di mega-mega. Mereka
berkuluk cemerlang sambil membawa kitab pencatat. Dan mereka
(pada malam-malam tertentu), turun ke bawah dan memilih satu dari
sekian yang ada. Pada yang terpilih diajarilah cara menghitung
dan meluruskan nama-nama ombak. Agar, kelak jika saatnya tiba,
selalu teringat pada asal dan tempat di mana dimulainya pelayaran.
Pelayaran yang panjang. Dan pelayaran yang akan menjadikan
setiap pantai akan bergairah. Terus memasang sorot lelampunya
di karang-karang tinggi. Sorot bagi para nakhoda agar gampang
mengatur jarak. Tapi bunga anggrek kriting coklat campur kuning
itu kini ada di meja bambuku. Meja bambu yang miring. Meja
bambu yang dulu pernah aku gunakan menjamumu. Sambil
bercerita, tentang seorang pangeran yang disergap dalam sebuah
perjanjian. Seorang pangeran yang ketika dibuang masih lantang
menukas: “Mengapa gunungan, rel, sepur, dan tetanda siasat tak
lelah-lelah mengepung?” Dan udara menekan. Dan langit senyap.
Setelah itu, murid-murid pun menghafal pada apa yang layak untuk
dihafal. Dan pada apa yang kelak menjadikan diri mereka sebagai
penempa. Sebagai yang akan dikenal dalam kisah 200 tahun yang
menegangkan. Kisah tentang sepasang utusan yang saling tikam
hanya karena secarik segel. Atau yang paling sederhana, tentang
rasa aman ketika sudah memakai tudung mulut, seragam lengan
panjang, dan waktu yang ingin dientengkan seperti dalam cerpen.
(Gresik, 2020)
Mardi Luhung lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Cumcum Pergi ke Akhirat (2017) adalah buku puisi terbarunya. Buku puisinya yang berjudul Buwun (2010) mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo