Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Puisi Novan Leany

Novan Leany bekerja sebagai dosen filsafat dan hermeunetika di salah satu kampus negeri di Samarinda, Kalimantan Timur.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novan Leany

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA SUKU BALIK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

       bersama Kai Medan

 

Maka, jangan panggil aku Balik 

jikalau semua tak kembali padamu,

 

Suara Tuhankah itu? 

yang kau tetak-tetak di batu Bedak 

sebab, ada air mata tumpah

ke bunga kecemasan

dalam kepala kami

yang satu-persatu menetas

persis Kencana Ungu

 

Apalah lagi yang hendak

kau rampas, tuan? 

 

Entah, itu suara siapa

bahkan langit dengan tujuh bintang

tak juga memberi jawaban 

atas semua 

 

Konon, ini sungai Sepaku masih melingkari

pinggang kampung persis akar Bahar

di lingkar lengan pendatang

dari tanah Jawa, dan tidak 

dapat ia mengerti sebuah batas;

antara kepala naga dan ekornya 

atau kampung dan silsilah

 

“Kami tak pernah dikutuk jadi rantau, 

namun kehidupan tidak berubah

 - melulu mengungsi,” seorang melantang 

dari pusar tambang dan sawit 

yang merentang ke punuk-punuk 

Jayakarsa dan Mulung

(o, inikah jerit kuasa dalam tanah, 

bukan musim kawin para Payau)

 

Cuma jalur panjang, 

dengan ingatan yang lindap

dan seorang Kai berjalan 

memikul Nipah, tertatih

seperti burung ingin menitipkan 

letihnya pada rumah

yang sesungguhnya tiada lagi

 

Pernah, sesekali ia berhenti 

menyeru nama seorang bocah

yang tak aku kenali 

dan ia perlihatkan sebuah luka

bekas gigitan Buaya di antara dua paha

lalu berkata, ”Nak, moyang kita muak

tunggul-tunggul ladang telah tumbang 

makam ibu kita ditambang, 

lantas jangan panggil ia Balik

jika semua tak kembali,”

 

2023

 

SANGGAR TIWADAK

 

Vanili yang kerap tumpah ke selendang tenunmu

ialah janji kemenangan atas sumpah moyangku 

membekas seperti darah beku di lipatan-lipatan lehermu 

ibarat jembatan Lambung Mangkurat memenggal silsilah

kampung halaman kita, tapi wangimu, kerap mengekalkan

manisnya rindu para perantau yang menyembunyikan

perih lambungnya

 

Acil itu tahu, aku tak hendak jadi nyiur lagi

yang tumbuh sebagai pohon tua di halaman belakang rumah

bukan kepunyaan kita, sebab di atas segala 

punggung tanah yang retak kita dikutuk

jadi Cempedak, rasa getah dan manis 

buah matang yang kerap gugur, 

sebagai kecemasan

 

              Tapi acil, 

              kami bukan pohon Nangka

              yang kerap ditebang dan tumbang 

                               padahal, ini Gambus mulai sumbang 

                               dan ringkik Payau hilang maknanya

 

Warta tentang kematian

masih berserakan

dan belum sehalus tepung terigu

yang mengadon sanggar 

Tiwadak, dan Molen 

di Gang Masjid

 

Hingga kelak, biji-biji yang dikau pisahkan diam-diam

sebelum merendam Mandai adalah butiran rasa malu

kita pada Tuhan, Tuhan yang kita pisahkan 

dari rinjing, piring kayu, dan nampan,

“Nah, jangan ikam buang bijinya ngul,

itu kawa dimakan,” ujar seorang dalam Banjar, 

ia harap dapat tinggal sejajar

 

Seperti menuai gara  ke ujung lidahmu

yang telah lama lahir dari rasa hambar

kau tercekat, bahwa garis-garis kening 

yang menyempit dari renyitmu 

akan lebih terkenang sebagai

manis masa lalu yang hanya singgah 

dari masam yang bertelagah 

bagai Mempelam,

yang kita iris tipis-tipis 

di cobek batu untuk 

makan siang para Datuk

 

Maka, tengoklah bahwa aku dan kau 

cuma orang-orang kota yang tersenyum perih

dalam parit-parit ingatan yang selalu kita keruk

setiap minggu pagi; bangkai kucing,

setangkup dialog asing, dan lumut-lumut

kerap menumpangkan hijaunya 

bagi tembok-tembok di ruas jari Masjid 

dengan pamflet Pemilu tahun lalu

 

Duhai sebuah kota yang setia 

menyediakan tempat tinggal 

bagi orang-orang yang 

sekedar mengadu lapar

              dan kita hanyalah Pingai, 

              tersentak dan berlepasan 

              tak kembali lagi

              pada kusutnya kabel listrik 

              dan layang-layang 

 

Nah, janganlah engkau buang, sebab,aku mau jadi biji tiwadak 

yang kau pisahkan diam-diam menunggu seorang perantau 

menawak ke punggung tanah, agar tumbuh ia jadi cabang-cabang muara, 

meliang ia ke kutai,  ke sepaku, ke makassar ke banjar 

dan jika sampai pada simpang dari situ semua bermula tubuhku 

akan kembali ke hambar lidah, meski harapan telah mati rasa

persis keram yang kebas tak berasa di lutut kita

karena lelah mengejar malam-malam sunyi serupa hitam matamu, 

selubung masa silam yang paling pangkal sebagai silsilah

kampung halaman janji atas sumpah kemenangan 

moyangmu, 

         atau moyang kepunyaanku?

 

2023

 

Novan Leany, kelahiran Samarinda, 28 November 1997, sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya. Dosen filsafat dan hermeunetika di salah satu kampus negeri di Samarinda ini bergiat di komunitas TerAksara dan Naladwipa for Social and Cultural Studies.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus