Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rabu, 17 Oktober, pukul 17.45 WIB, kabar itu pecah. Prof Dr Teuku Jacob telah pergi bersama penyakit hati cirrhosis hepatis untuk selamanya. Dalam hati saya berdoa, semoga dosanya diampuni dan amal baiknya mengantarnya ke surga. Saya mengenal dekat 19 tahun terakhir senja hidupnya, sejak 1988, ketika mulai bekerja seatap dengannya. Meskipun saya tidak pernah menjadi murid Pak Jacob baik di S1, S2, maupun S3, ia adalah ”guru” yang memberi inspirasi untuk produktif menulis.
Pak Jacob memang kaya inspirasi dan telah menunjukkan kecintaannya pada ilmu pengetahuan melalui tulisan-tulisannya yang beragam: dari polemologi atau ilmu perdamaian, ilmu dan teknologi, paleoantropologi, panetika atau ilmu derita, ketahanan nasional, kloning, sampai tulisan tentang manusia sebagai makhluk yang gelisah. Ia berpikir cepat dan sendirian. Dan sikap solitaire inilah yang menjadikannya sering mengambil keputusan sendiri, mengabaikan eksistensi, rasa dan akibatnya bagi banyak orang.
Ketika Pak Jacob membawa rangka manusia Flores ke Yogyakarta dari Jakarta pada akhir 2004, banyak media masa asing mencitrakan pak Jacob sangat negatif. Saya ingat kata-kata Pak Jacob sewaktu menelepon: ”Etty, saya sendirian diserang sana-sini, tolong saya dibantu.” Ia berpendapat manusia Flores bukan spesies baru. Mereka, menurut keyakinannya, adalah manusia dengan kelainan genetis pada otak kecil atau mikrosefalia.
Ini menjadi kontroversi luar biasa. Tuduhan Pak Jacob mencuri fosil, menculik fosil, menyakitkan hatinya. Menurut Pak Jacob, Arkeologi Nasional (Arkenas) sudah puluhan tahun bekerja sama dengannya. Kalau ada temuan artefak, ia cepat kirimkan ke Arkenas di Jakarta, dan kalau ada temuan rangka, Arkenas akan mengirimnya ke Lab. Bio & Paleoantropologi di Yogyakarta. Pak Jacob merasa Arkenas sudah memberi akses penelitian rangka Flores kepada orang Australia yang kemudian mempublikasikannya di majalah Nature. Karena itu, tidak ada salahnya kalau kemudian ia juga menelitinya. Pak Jacob sangat prihatin karena, menurut dia, banyak ilmuwan Indonesia membuka akses situs-situs manusia purba ke peneliti luar negeri, tapi belum atau tidak punya pengetahuan cukup dan hanya mengekor pendapat peneliti luar.
Ia sendiri sudah menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya lahan penelitian para peneliti asing legendaris seperti Eugene Dubois dan Von Koeningswald. Ia menemukan fragmen tulang Homo Erectus dari dua daerah di Jawa Tengah: Sangiran dan Sambungmacan, serta Ngandong di Jawa Timur.
Profesor kelahiran Aceh itu meninggal pada usia 78 tahun. Dalam sosok ini ada nasionalisme, warisan dari zaman perjuangan dulu, juga gairah untuk mengurai dan memahami apa yang berlangsung di dunia sekelilingnya. Saya ingat komentar-komentarnya ketika Indonesia sekonyong-konyong berubah pada 1998. Pemerintahan Soeharto ambruk, disusul dengan pemerintahan-pemerintahan yang tidak begitu efektif. Dan Pak Jacob cepat menganalisis: sama seperti dulu, semua ini akibat lemahnya kepemimpinan. Ia menyebut aneka contoh, Ken Arok, pemberontakan DI TII, Kahar Muzakar; bom-bom itu kan mengulang sejarah lama Indonesia—hanya senjatanya yang beda, katanya.
Pak Jacob sosok yang kompleks. Sering kali ia cepat marah melihat sesuatu yang tak berkenan dengan standar dan harapannya, tapi ia juga bisa tampak begitu menyentuh. Dalam sebuah gala dinner seminar di Tokyo, ia bisa tampak sibuk berjalan kian kemari mencicipi dessert satu per satu tanpa mempedulikan pidato. Ia memang pencinta dessert. Kalau naik pesawat, ia suka minta bertukar penganan. Es krim atau cake saya dimintanya.
Pak Jacob adalah generasi pertama antropolog ragawi di Indonesia, yang merintis Laboratorium Bio & Paleoantropologi Fakultas Kedokteran UGM pada 1986. Cita-citanya yang belum tercapai adalah laboratorium rintisannya dapat berkembang menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, menjadi pusat studi berbagai cabang antropologi.
Pak Jacob, angin telah membawamu pergi. Selamat jalan.
Prof drg Etty Indriati, PhD *) *) Kepala Laboratorium Bio & Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran UGM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo