SERATUS lima puluh dua tahun sebelum Operation Raleigh yang kini di puncak kegiatannya di Pulau Seram, Maluku, ilmu pengetahuan menimba sumber di Galapagos. Gugusan 14 buah pulau itu masuk wilayah Republik Ekuador, terhampar di Samudra Pasifik -- 800 kilometer di lepas pantai barat Amerika Selatan. Nama "Galapagos" -- kura-kura, dalam bahasa Spanyol, diberikan oleh Tomas de Berlanga -- uskup Panama, yang menemukan kepulauan itu pada tahun 1535. Yang istimewa di sini memang bukan hanya si galapago, tapi juga sejumlah jirannya alias satwa langka lain. Ada iguana, kadal raksasa yang hidup di dua alam: darat dan air. Yang di darat berwarna hitam legam, hidup di pedalaman pulau dan pemakan kaktus serta pandai memanjat pohon. Sedangkan yang di laut, makanannya adalah gulma laut. Panjangnya hampir 2 meter, kedua macam iguana ini dapat mendesiskan uap dari lubang hidungnya -- seperti naga dalam cerita dongeng. Buas? Ternyata, tidak. Malah cepat akrab dengan manusia. Jinak dan mudah dipelihara. Akan halnya galapagos sendiri merupakan jenis satwa purba yang terbilang ngepop di sana. Dengan bobot 250 kg dan tinggi hampir 1,5 meter, kura yang satu ini sulit dicari padanannya di bagian benua lain. Mirip kuali raksasa, si kura dapat hidup berdampingan secara damai dengan singa laut, pinguin, dan frigata flamboyan -- sejenis burung, si jantan berkantung leher warna merah pemikat berahi si betina. Ada burung emprit yang senang berlagu, yang terdiri dari 2 suku besar atau 13 puak. Pemakan serangga dan pemakan tumbuhan. Perbedaan bisa ditandai dari bentuk paruh dan warna bulunya, yang tercipta karena tempaan alam lingkungannya yang berbeda. Kaum emprit ini, antara lain, yang mengilhami seorang Darwin. Di Galapagos inilah Charles Darwin -- dalam usia 26 tahun -- melahirkan Teori Evolusi Manusia yang tersohor dan kontroversial itu. Lima tahun ilmuwan Inggris itu ikut dalam ekspedisi kapal Beagle melakukan penelitian di sana sejak 1835. Maka, nama Galapagos pun hadir di altar ilmu pengetahuan. Sosok Galapagos tampak angker, karena buminya berasal dari batuan lava hitam. Di celah geronjolan batu karang tumbuh kaktus, pakis, dan lumut. Terpaan angin dingin dari Peru dan arus Humbold membadai di kepulauan sepanjang 130 kilometer itu (luasnya 7.800 km2). Dan di antara tebaran kawah vulkanik itulah hidup ribuan jenis reptil dan satwa langka tadi -- yang jauh berbeda dengan sanak familinya di bagian lain bumi ini. Karena letaknya yang terpencil, Galapagos sempat menjadi sarang persembunyian para lanun. Itu cerita sekitar abad ke-17. Tapi wajah Galapagos tentu tak dibiarkan cemong semua. Berkat satwa langka pusaka alam ini, pemerintah Ekuador sejak 1959 menetapkannya menjadi Taman Nasional. Sejaktahun 1800 penguasa Ekuador menjadikan pulau-pulau di Galapagos sebagai penjara kaum pembangkang, sampai sekarang. Di luar penghuni yang berstatus "orang buian", dewasa ini ada 3.000 penduduk bermukim di situ. Mereka terdiri dari berbagai bangsa, yang sehari-hari bekerja di kebun kopi dan ladang tebu. Sebagian lainnya jadi nelayan. Sejauh ini baik satwa maupun penduduknya -- kecuali para terhukum aman-aman saja. Di Galapagos, yang langka pun bahagia, meski ada juga bahagia langka di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini