LOMBA pembuatan poster itu -- dengan hadiah terbesar di dalam sejarah desain grafis Indonesia -- mula-mula lancar. Desainer Tri Harto Priyoprasetyo menang. Perancang dari biro iklan Citra Lintas, Jakarta, ini bakal memperoleh Rp 2,5 juta, dari kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Kantor itu, bekerja sama dengan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, memang membuka sayembara poster yang menganjurkan penggunaan produk bikinan Indonesia. Tapi mendadak heboh. Pertengahan bulanlalu, selembar surat pembaca yang disiarkan harian Kompas menuduh: Tri menjiplak poster yang dimuat dalam America's Graphic Design Magazine "Print". Surat senada, dari Adji Damais, anggota dewan pendiri Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), juga dikirimkan kepada para angota dewan juri. Mereka kaget, sebab umumnya belum pernah melihat poster daam majalah Amerika itu. "Dewan juri kecolongan," kata Iwan Ramelan, salah seorang anggota juri. Menurut perancang di biro iklan Fortune ini poster Tri berjudul Bisa karena Biasa itu bukan sekadar dipengaruhi poster AS itu, melainkan peniruan total. "Bentuknya sama, hanya warnanya berbeda. Dan ada tambahan kata-kata dalam bahasa Indonesia," tambahnya. "Padahal, para peserta sudah menulis pernyataan bahwa karyanya orisinil," ujar Iwan, dengan nada tinggi. Poster itu menampilkan selembar kemeja dari bahan bergaris-garis merah, tergantung pada sebuah hanger yang dicantelkan pada seutas tali jemuran. Pada pundak kanan kemeja, tersampir sehelai dasi. Merah putih ukuran kecil menempel pada krah leher, yang biasanya ditempeli merk pakaian. Merah putih itu, sebagai ciri "dalam negeri", uga menempel pada tas belanJaan di bawah kemeja. Memang sama persis dengan poster yang dimuat dalam majalah Print nomor tahunan 1985 itu. Bahkan sampai ke jumlah garis-garisnya. Bahwa kesamaan itu luput dari tilikan juri, karena semua anggota dewan juri menyatakan belum pernah melihat poster Amerika itu. Meskipun, majalah tersebut dikenal baik para grafikus, juga oleh kalangan biro iklan, di sini. Juri lain, Agus Dermawan T., juga berang. "Sudah sekitar 70 kali saya jadi juri, tapi musibah penyontekan kali ini benar-benar memalukan," kata kritikus seni rupa yang juga anggota redaksi majalah Gadis itu. Ia menilai, penjiplakan 100% itu merupakan "kriminalitas dalam seni rupa". Alias skandal. Untung, hadiah Rp 2,5 juta belum keburu diserahkan. Sikap A.D. Pirous, 54 tahun, rada hati-hati. Ketua dewan juri yang juga Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu menyatakan, "peniruan" seperti itu mudah terjadi. Sebab, para juri tak mungkin memantau seluruh karya grafis. Sebagai poster, katanya, karya Tri sangat menarik, karena pesannya kuat. "Sangat pas dengan temanya. Gambarnya memang tidak orisinil, tapi ide atau konsepnya orisinil," kata Pirous. Lain bagi Iwan Ramelan. Yang jadi soal baginya bukanlah konsep, melainkan hasil akhir sebagai karya grafis. Katanya, konsep komunikasi pada tahap awal boleh sama dengan grafis lain. Begitu pula konsep visual pada tahap kedua. Tapi pada tahap ketiga, pelaksanaan visual terwujudnya karya grafis harus orisinil. Dari pihaknya, Tri Harto, sang pemenang, mencoba menjelaskan. "Saya cuma punya ide sederhana: konsumen bisa menggunakan produksi dalam negeri karena terbiasa membeli. Dan bagaimana rancangan grafisnya, saya serahkan kepada sebuah tim kecil," kata Tri, 32 tahun, pencipta logo TVRI, yang menyatakan sudah 12 tahun berkecimpung dalam desain grafis. Tak berarti ia kukuh. Tri Harto, yang masuk ASRI, Yogya, pada 1973 dan belum meraih gelar formal dalam bidangnya, menyerahkan soalnya ke dewan juri. "Terpulang kepada dewan juri saja, deh. Mereka berwenang utuk menentukan," katanya. Bila demikian, maka Iwan Ramelan sependapat dengan Agus Dermawan. Menurut mereka, kalau sudah jelas Tri menjiplak, gelar sebagai pemenang I harus dicabut. Konsekuensinya bisa saja pemenang kedua naik jadi pemenang pertama. Atau, bisa juga dilakukan penilaian kembali atas karya yang masuk semlfinal, dari 400 orang peserta. Setelah itu, terpulang pada panitia, apa maunya. Untuk memutuskan, rupanya tak gampang. Dewan juri merasa perlu bersidang pada minggu pertama Oktober ini. Mereka yang sudah disebut-sebut sebagai "pemenang" diundang ke pertemuan itu. Di sana, diharap Tri Harto akan hadir dan didengar pengakuannya, bila ia memang benar menjiplak. Bila tidak, pembelaannya juga ditunggu. "Sebaiknya ia sendiri menjawab secara sportif,"kata Pirous. Sanksi apa yang bisa dikenakan pada Tri bila dewan juri bisa membuktikan ia menjiplak? Ternyata, IPGI angkat tangan. "Kami memang belum punya gigi seperti halnya PWI, IDI, Ikadin, atau organisasi profesi lainnya yang punya kode etik," ujar penjabat Ketua IPGI, Wagiono. Satu-satunya yang bisa dikejar, kata Wagiono, ya surat pernyataan bersegel yang menjamin karya yang diperlombakan itu memang benar orisinil. Itu mungkin perlu. Setiap kali ada lomba poster atau logo, pemenang pertama hampir selalu dituduh menjiplak. Dewan juri mana pun memang terbatas kemampuannya mengingat jutaan poster yang pernah diciptakan manusia di dunia ini. Akhirnya memang terpulang kepada para pendesain akan kejujuran masing-masing -- juga rasa malu mereka. Happy Sulistyadi, Bunga Surawijaya, A. Ulfi (Jakarta), Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini