Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STEVE Morse mengaum. Sejarah musik rock seperti mengalir dari gitarnya. Mula-mula cuplikan Led Zeppelin, susul-menyusul petilan The Beatles, Jimi Hendrix, dan The Who. Semua dimainkan dengan kecepatan tinggi. Keterampilan teknis yang luar biasa. Gerak jari-jemarinya seperti cara memetik pemain gitar klasik. Lelaki berambut pirang sepanjang pinggang itu seperti mendemonstrasikan keterampilannya memperkaya unsur rock modern.
Dengan gitaris barunya ini, malam itu Deep Purple menggebrak Jakarta dengan lagu Woman from Tokyo. Suasana sontak panas. "You're fantastic," demikian pujian Ian Gillan, yang pada tiga lagu pertamanya mengenakan batik biru lengan panjang, melihat sambutan histeris penonton. Umurnya 57 tahun. Sudah tergolong uzur untuk penyanyi rock. Pemeran Kristus dalam opera Jesus Christ Superstar ini bertekad sampai titik darah penghabisan mempertahankan Deep Purple. Mungkin ini sekadar nostalgia para veteran rock.
Tapi Steve Morse dipandang mampu memperpanjang usia para gayek itu. Istilah Gillan, ia meremajakan Purple kembali. Wawasan musikal Morse sangat kaya. Pencinta musik rock mengenal lulusan Jurusan Musik Universitas Miami ini sebagai seorang pendiri Dixie Dregs, sebuah band Amerika progresif yang menggabungkan elemen musik country, klasik, jazz dan rock. Tahun 1983, ia membikin Steve Morse Band.
Bergabung sebentar dengan Kansas di tahun 1985, Morse keluar dan empat tahun kemudian ia menelurkan album solo. Pada tahun 1995, Roger Glover menarik Morse menggantikan Ritchie Blackmore untuk kemudian menghasilkan album Perpendicular (1996).
Hasilnya mengejutkan karena terasa embusan yang begitu segar. Maklum, dua album Deep Purple—Slaves Master (1990) dan The Battle Rages on (1993)—dianggap loyo, kurang gereget, dan dimakan usia. Morse memberikan suntikan energi yang baru karena ia mengembangkan warna suara yang tak pernah dicoba pada era Deep Purple sebelumnya. "Ada nuansa progressive fusion, juga unsur elemen Celtic, secara kompositoris lagu-lagu Deep Purple jauh lebih lebar," komentar gitaris Iwan Hasan. Morse dianggap juga mampu mempertahankan corak Deep Purple yang lama. Agaknya gitaris terbaik pilihan polling majalah Guitar Player selama lima kali berturut-turut ini membuat strategi jalan tengah. Ia ingin penggemar lama Deep Purple tidak lari. Tapi ia juga ingin bisa meraup penggemar baru.
Simaklah malam itu, bagaimana ia mendemonstrasikan permainan solo menawan yang selintas di dalamnya ada nada country. Yeah, lihatlah tatkala ia memainkan Sometimes Feel Like Screaming—sebuah lagu yang suaranya menyajikan irama hard rock yang kental sehingga melemparkan penonton pada masa lalu. Bagi fans Deep Purple lama, mungkin Blackmore lebih karismatik. "Blackmore pemain alam. Dia lebih ganas, lebih liar, lebih garang, sementara Morse anak sekolahan, gitarnya bersih," kata musisi Arthur Kaunang. Tapi, ia mengakui, kocokan gitar Morse bisa membawa Deep Purple ke penjelajahan lain. Dibanding Blackmore, menurut Iwan Hasan, petikan gitar Morse jauh lebih cepat. "Juga jauh lebih variatif. Tangannya berpindah dengan pola-pola yang rumit. Warna suara berubah-ubah." Menurut Iwan, penyajian Morse pun masih di atas gitaris-gitaris rock masa kini seperti Joe Satriani, Yngwee Malmsteen, ataupun Steve Vai.
Bagi para pencinta John Lord, yang pensiun menjelang Deep Purple World Tour ini, Don Airey yang menggantikannya dianggap menangkap "roh" Lord. Lord sering dijuluki pers sebagai "The Lord of Hammond" karena kepiawaiannya mengolah warna suara khas dari organ Hammond. Sementara itu, Airey dikenal menggilai Hammond. Simak betapa pencetannya menghasilkan efek gema dan getar suara yang dramatik, termasuk ketika memainkan Lazy, sebuah nomor yang dianggap "antik". Tahun 1975, ketika Purple manggung di Gelora Senayan, John Lord menyisipkan lagu Burung Kakatua dan Padamu Negeri untuk lagu ini. Sebelumnya, ia diajari Reynold Panggabean di balik panggung. Sedangkan dalam solo keyboard-nya malam itu, Don Airey menyelipkan lagu klasik Turkish March dan cuplikan Indonesia Raya. Mengejutkan.
Bagi mereka yang mengharapkan Airey bisa seperti Morse yang menyumbang warna pribadi, lupakanlah Airey. Airey lebih berbau permainan John Lord. Padahal dalam sejarah ia pernah bersama gitaris Garry Morre mendirikan Colloseum II, sebuah kelompok yang sedikit-banyak memasukkan unsur jazz. Sebelum pamit dari Deep Purple, John Lord masih mewariskan beberapa lagu.
Duet Airey dan Morse yang asyik malam itu bisa membuat orang membayangkan sebuah revitalisasi Deep Purple yang rancak. Dan Gillan agaknya bukan seorang yang terlalu kolot. "Kepala Morse dan Airey penuh dengan ide-ide segar. Keluarga baru kami sangatlah dinamis," ungkap Ian Gillan kepada TEMPO dalam sebuah diskusi on-air di Radio M97 FM, beberapa hari menjelang kedatangan Deep Purple. "Sebagai musisi, kami semua telah mengalami evolusi. Kita juga tidak ingin mati bosan karena membawakan lagu yang itu-itu juga tiap malam dengan gaya yang itu-itu saja. Improvisasi adalah kuncinya," tuturnya.
Agaknya faktor Morse-lah yang menyebabkan penonton kemarin berduyun-duyun datang, dan mereka tak hanya dari generasi tahun 1970-an. Boleh dibilang penonton terdiri dari dua generasi. Sayap kiri dan kanan Balai Sidang penuh sesak, padahal harga tiket men-capai Rp 750 ribu. Bandingkan dengan pertunjukan mereka di tahun 1975, yang harga tiketnya hanya Rp 7.500!
Mereka yang dulu nonton kelompok ini di tahun 1975—dengan harga karcis berbeda jumlah nolnya—masih ingat bagaimana sambutan untuk Deep Purple, yang seperti tamu agung. Begitu turun dari bandara, mereka—dengan vokalis David Coverdale—disambut oleh ratu-ratu kecantikan Indonesia.
Banyak pernik-pernik cerita. Salah satunya kisah Tommy Bolin, gitaris utama saat itu. Sebagai pemakai narkotik, sebelum pentas ia bingung mencari morfin. Akhirnya ia diantar ke Kali Pasir, daerah Cikini. Di situ ia membeli morfin dan ia menyuntikkan morfin ke tangannya. Tapi kemudian tangannya seperti terkena infeksi, lalu bengkak. Anak-anak Kali Pasir—seperti orang menjual bensin campur—ternyata mencampur morfin dengan gula. "Orang bilang Bolin diguna-guna, padahal ya dia bengkak karena gula itu," kata pengamat musik Denny Sakrie.
"Child in time!" Begitu tenggorokan Gillan meluncurkan lagu meditatif ini. Dan begitu lagu meluncur ke udara, ribuan korek api membentuk lautan lilin kecil. Suasana "sakral". Ketika penonton bersama-sama menyenandungkan lagu ini, atmosfer mirip sebuah "ibadah" umat menyanyikan "lagu kudus"-nya. Tak bisa dimungkiri, memang saat melantunkan nada tinggi Child in Time, suara Gillan yang kini rambutnya pendek itu sudah kedodoran. "Saya duduk dekat mixer. Lengkingan manipulasi gitar Steve Morse mengantikan suara Gillan," kata Deny Sakrie.
Selanjutnya lagu Fool dari album Fire Ball, No One Came, Smoke in the Water, dan When The Blind Man Cries, yang menjadi ciri khas Deep Purple. "Saya biasa minum secangkir teh di kafe bersama istri saya," kata Gillan, mengomentari lagu yang begitu perlahan. Yang patut dipuji adalah ketukan Ian Paice dan betotan bas Roger Glover. Staminanya konstan. Temponya tak kendur dan tak membiarkan tensi melorot.
"Rasanya saya ingin gondrong lagi," ujar seorang penonton berusia 45 tahun. Bersama rombongannya dari Bandung, ia berteriak, mengepal, menyanyi, berkeringat. Saat Purple memenuhi permintaan "encore" membawakan Hush, Black Night, dan lagu keramat Highway Star, penonton kena setrum. Serombongan anak muda dari Magelang, membawa spanduk, melonjak-lonjak seperti kalap. Maklum, lagu ini sudah dinyanyikan oleh, barangkali, ratusan kelompok rock Malang, Surabaya, Bandung, Medan, dan Jakarta. Jadi, wajar jika lagu ini membuat penonton belingsatan. Dan wajar pula bila fans fanatik dari Pasuruan nekat nyelonong ke konferensi pers dan, dengan bahasa Inggris yang medok, menyampaikan "sumpah setia" kepada Ian Gillan: "I am from Pasuruan, Jawa Timur (Apa Ian Gillan tahu letak Pasuruan?) I can't live without Deep Purple. You are here. So the dream comes true. Yeah…."
Sampai kapan para jagoan tua ini bertahan? Tak terpikirkah suatu kali bisa saja Paice, 54 tahun, dan Roger Glover, 57 tahun, merasa capek dan ikut keluar menyusul Lord?
"Ha-ha-ha…, mereka harus menembak mati dan menyeret bangkai saya keluar panggung kalau mereka melakukan itu," kata Gillan kepada TEMPO. Malam itu kita menyaksikan sebuah semangat, ikhtiar untuk menjadi kekal seperti pepatah "Ars longa, vita brevis". Hidup itu pendek, tapi seni itu abadi. Usia boleh tua, tapi Highway Star tak lapuk oleh zaman.
Seno Joko Suyono dan Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo