Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Permainan Kian Berdarah di Ambon

Ambon kembali bergolak dengan pembantaian berdarah. Mengapa akhirnya Ja’far Umar Thalib ditangkap?

6 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LISTRIK tiba-tiba padam pada pukul 04.00 waktu setempat. Hanya berbilangan detik, tiba-tiba terdengar sejumlah ledakan dan api berkobar di mana-mana. Rentetan tembakan juga terdengar bersahutan bercampur jerit tangis anak-anak dan perempuan. Soya, desa lima kilometer ke arah tenggara dari Ambon itu, yang biasanya tenang dan damai, pada hari Minggu dua pekan lalu berubah menjadi ingar-bingar. Apinya bisa dilihat dari mana-mana karena Soya terletak di tebing Gunung Sirimau, Ambon. Dua belas orang tewas, dua di antaranya anak-anak, 12 orang terluka, dan lebih dari 30 bangunan terbakar—salah satunya Gereja Tau Soya, yang dibangun pada 1896. ”Penyerbunya memakai pakaian loreng dan tutup muka,” kata sejumlah saksi mata.

Lebih dari itu, Soya, yang terletak di perbukitan, hanya bisa ditempuh me-lalui jalan setapak. Soya juga dikelilingi permukiman Kristen, sehingga sulit bagi orang tak dikenal untuk bisa dengan leluasa menembus desa berpenduduk 4.000 jiwa itu. Gerakan penyerbu teratur dan terlatih. Tak aneh jika banyak kalangan yang menuduh TNI berada di balik penyerangan itu. ”Soldadulah (tentara—Red.) yang memperkeruh Maluku, tapi kami yang selalu dijadikan kambing hitam,” kata Mosses Tuanakotta, Sekretaris Jenderal Front Kedaulatan Maluku (FKM), yang diyakini menjadi jelmaan Republik Maluku Selatan (RMS).

Panglima Kodam Pattimura, Brigjen TNI Mustopo, membantah. ”Itu bohong. Baju loreng kan dijual bebas di mana-mana,” katanya.

Serangan subuh ke Soya adalah puncak dari keributan yang terjadi sebelum dan sesudah peringatan ulang tahun RMS, 25 April lalu. Bendera RMS, yang terdiri atas warna merah, putih, biru, dan hijau, dikibarkan dengan cara mengikatnya di balon-balon udara. Inilah yang kemudian memicu amarah kelompok lawannya, Laskar Jihad. Komandan Laskar Jihad, Ustad Ja’far Umar Thalib, kemudian melakukan tablig akbar pada 26 April. Ja’far mengecam FKM, yang dikatakan hendak memisahkan diri dari Indonesia. Kini giliran FKM yang marah. Dan tiba-tiba Minggu dini hari Soya diserbu. Sejauh ini, pihak keamanan belum mengetahui siapa yang berada di balik serangan tersebut.

Belum tuntas pembantaian Soya terkuak, tiba-tiba pada Sabtu sore pekan lalu, Ja’far yang terbang dari Ambon ditangkap oleh tim Mabes Polri di Bandara Juanda, Surabaya.

Menurut Direktur Pidana Umum Mabes Polri, Brigjen Pol. Aryanto Sutadi, dalam tablig akbar itu Ja’far telah menghujat pemerintah, menghina presiden, dan menghasut rakyat untuk menentang Malino II. ”Dia juga mengajak rakyat melakukan kekerasan,” katanya.

Ditangkapnya Ja’far bisa membuka dua kemungkinan. Konflik di Ambon akan segera mereda. Tapi, bisa juga sebaliknya, kalangan Laskar Jihad malah marah dan membuat situasi kian panas. ”Kalau mau arif, sebetulnya bukan penangkapan solusinya, tapi membangun zona-zona damai,” ujar Imam Prasodjo, sosiolog dari UI.

Sebetulnya pemerintah telah berupaya menuntaskan konflik di sana lewat kesepakatan Malino II. Konsensus yang dilakukan pada Februari lalu ini dipelopori oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla. Kedua belah pihak yang bertikai berembuk di Malino, Sulawesi Selatan. Dan sebagian besar pihak yang bersengketa menekennya. Hasilnya kemudian dikenal sebagai Perjanjian Malino II. Hanya dua kelompok besar yang menolaknya, yakni FKM dan Laskar Jihad. Sayangnya, Penguasa Darurat Sipil tak bisa segera merealisasinya. Pelucutan senjata belum bisa tuntas dilakukan.

Menurut sosiolog FISIP Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, persoalan Ambon pasca-Perjanjian Malino II tak gampang diselesaikan karena yang bertikai bukan lagi massa di tingkat akar rumput—di lapisan bawah.

Tamrin menceritakan bahwa kehidupan masyarakat di Ambon sebenarnya sudah normal sejak Perjanjian Malino II diteken pada 12 Februari lalu. Zona damai makin luas. Salah satunya adalah Pasar Baku Bae di Ambon. Di pasar itu, pedagang Islam dan Kristen bercampur-baur. Begitu pula pembelinya. ”Anak-anak muda bernostalgia dengan pergi ke tempat-tempat yang dulu biasa mereka kunjungi,” kata Tamrin.

Hal yang sama dikemukakan Des Alwi, salah satu pemuka masyarakat Maluku. Katanya, masyarakat bawah sebenarnya sudah bosan bertikai, dan tak mudah terpancing lagi.

Menurut Tamrin, memanasnya Ambon justru karena adanya pertikaian di level elite yang makin menjadi-jadi. Salah satu pemicunya adalah Perjanjian Malino II yang digagas dan dilaksanakan oleh Jusuf Kalla, yang notabene orang sipil. Buntutnya, TNI merasa tidak nyaman dan pada akhirnya tak mau dikendalikan oleh penguasa sipil. Dan ini jelas terlihat di lapangan. Ketika Gubernur Saleh Latuconsina memerintahkan agar Ke-polisian Maluku menangkap Ustad Ja’far Umar Thalib dengan tuduhan mem-provokasi massa, polisi dan TNI sempat menolaknya.

Hal itu diakui oleh Saleh dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Endriartono Sutarto. Tapi Endriartono membantah bila dikatakan bahwa anak buahnya menolak perintah. Saat itu, ”Mereka tidak melaksanakannya karena waktunya dianggap belum tepat,” kata KSAD.

Selain itu, penanganan berbagai kasus juga lamban. Tamrin memberikan contoh penanganan terhadap gerakan RMS. Soal pengibaran bendera RMS pada 25 Februari, misalnya. Menurut dia, jauh-jauh hari Penguasa Darurat Sipil Maluku, Saleh Latuconsina, sudah memberitahukan di titik mana bendera akan dikibarkan. Tapi pada hari H-nya malah kecolongan. ”Menangani RMS ini kan tidak sulit. Mereka tak punya satgas seperti di Papua atau Angkatan GAM di Aceh. Jumlahnya pun paling cuma 200-an,” kata Tamrin.

Lebih rumit lagi, kata Tamrin, ada beberapa kejadian di lapangan yang menunjukkan adanya keterlibatan TNI di luar garis komando Penguasa Darurat Sipil di Maluku. Belum lama ini, katanya, ditemukan sekitar 60 tentara yang di-duga menjadi anggota pasukan siluman di Hotel Wijaya, Ambon. Ketika pen-dukung FKM mendemo polisi yang menangkap pentolan FKM, Alex Manuputty, polisi mencokok dua orang yang membawa granat di tengah-tengah demonstran. ”Ketika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka intel. Polisi kemudian menyerahkan mereka ke Pomdam Pattimura,” kata Tamrin.

Dengan pemerintahan yang compang-camping dan tak berdaya seperti itu, jelas sulit bagi Saleh untuk melaksanakan Perjanjian Malino II. Melihat semua kekisruhan di lapangan, Tamrin menduga ada upaya tertentu dari TNI untuk mengubah keadaan darurat sipil menjadi darurat militer. Jika ini terjadi, kendali di provinsi seribu pulau ini bakal beralih ke tangan militer.

Memang ada momentum yang makin membuat TNI bernafsu mengubah kondisi tersebut. Masa jabatan Gubernur Maluku yang juga menjadi Penguasa Darurat Sipil akan habis pada 10 Mei mendatang. Kemungkinan besar, Saleh bakal digantikan penjabat sementara karena dianggap tidak mampu. Runyamnya, banyak pihak yang berambisi menduduki jabatan sementara ini. Paling tidak, posisi tersebut bisa menentukan siapa pejabat kelak. Kabarnya, ada dua jenderal yang mengincar posisi Saleh.

Pernyataan Tamrin senada dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo B. Yudhoyono. Menurut Susilo, dia akan sangat kecewa jika kerusuhan pasca-Malino II ini dipicu oleh pemilihan Gubernur Maluku, meskipun semua itu masih sebatas rumor. Menurut Tamrin, pemilihan gubernur ini menjadi titik gawat karena ada faktor ketiga yang memperuncing suasana. Tamrin menceritakan bahwa di Pulau Seram belum lama ini ditemukan cadangan minyak yang lebih besar dari yang ada di Sorong, Papua. ”Sudah ada Kuwait Petroleum yang siap mengucurkan investasi awal US$ 500 juta,” katanya. Jadi, siapa pun yang menjadi penguasa Maluku kelak akan bisa mewarisi daerah yang sangat kaya.

Untuk itu, kata Tamrin, pemerintah pusat mestinya terus mendorong pelaksanaan poin-poin Perjanjian Malino II, termasuk pelucutan senjata. Dan syukurlah, mulai pekan lalu sudah dilaksanakan, yang dimulai dari kediaman para pejabat Provinsi Maluku sendiri. ”Yang penting, pemerintah konsisten dengan Malino II dan aktif mendorong agar butir-butirnya segera dilaksanakan,” kata Tamrin.

Sementara itu, Penguasa Darurat Sipil harus mengantisipasi dua peristiwa yang diperkirakan bakal mengguncang Ambon. Tanggal 10 Mei jelas akan menjadi masalah krusial karena pada saat itulah harus ada pengganti sementara Gubernur Maluku. Kejadian kedua yang mesti ditanggapi adalah ulang tahun Kodam Pattimura pada 15 Mei mendatang. ”Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, biasanya akan terjadi yang aneh-aneh,” katanya.

Nah, jika pemerintah pusat dan Pemda Maluku sama-sama bisa menyelesaikan pekerjaan rumahnya, pertikaian di Ambon bisa diselesaikan dengan lebih mudah. Penangkapan Ja’far Thalib bisa jadi langkah awal untuk meredakan konflik. Tapi sekali lagi semuanya bergantung pada aparat militer, apakah masalah Ambon selesai atau malah kian menjadi-jadi.

M. Taufiqurohman, Levi Silalahi, Fritz Kerlely (Ambon), Yusnita Tiakoly (Ambon)


Setelah Malino II, lalu Apa?

Februari 12 Februari 2002 Perjanjian Malino II ditandatangani. Dua kelompok bersenjata, Laskar Jihad dan Front Kedaulatan Maluku, tidak ikut meneken.

13 Februari 2002 Peledakan bom di perbatasan Mardika-Batu Merah. Tidak ada korban.

17 Februari 2002 Bus milik pemda ditembaki. Lima orang luka-luka.

Maret 23 Maret 2002 Pawai sosialisasi Malino II diwarnai kerusuhan: dua orang tewas, delapan sepeda motor terbakar, dan empat mobil dibakar massa di depan Masjid Al-Fatah, Ambon.

April 3 April 2002 Bom meledak di Jalan Yan Pays. Enam orang tewas dan 58 orang luka-luka. Kantor Gubernur Maluku dibakar habis.

24-27 April 2002 Pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS).

25 April 2002 Mortir meledak di Karang Panjang. Dua orang luka serius. Gereja Silo yang sedang direnovasi dibakar.

26 April 2002 Laskar Jihad melaksanakan tablig akbar. Mobil angkutan kota dibakar massa di Kapaha. Dua orang tewas.

28 April 2002 Desa Soya, Sirimau, Ambon, diserbu: 12 orang tewas, 12 luka serius, dan 30 bangunan dibakar, termasuk satu gereja tua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus