Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Puspawarna di Kehampaan Kosmis

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gending Ketawang Puspawarna aransemen Ki Tjokrowasito memang istimewa. Dulu gending ini di Pura Pakualam Yogya dipakai untuk mengiringi Sri Pakualam keluar-masuk bangsal Sewatama, sedangkan kini dipakai untuk mencari kehidupan lain di luar tata surya kita.

NASA memiliki proyek sangat prestisius. Pada 1977, Badan Ruang Angkasa Amerika itu meluncurkan Voyager I, dan dua tahun kemudian Voyager II. Kendaraan ruang angkasa itu akan mengitari tata surya kita, lalu keluar dari sana. Voyager dilengkapi rekaman pesan suara dan citra-citra keanekaragaman dari kehidupan di bumi.

Bila di sebuah planet ada peradaban, Voyager akan memantulkan sinyal berupa citra-citra dan bebunyian bumi itu. Diharapkan, alien, makhluk di luar planet bumi, akan dapat membayangkan seperti apa kiranya kehidupan di bumi. Sinyal ini juga sebuah ajakan untuk berdialog dengan alien itu. Sekarang Voyager mengapung sendiri di kehampaan kosmis. Pada 1990, Voyager telah melewati orbit Pluto, planet terjauh dalam tata surya kita, dan November 2003 telah keluar dari tata surya kita. Diperkirakan, setelah keluar dari tata surya kita, Voyager perlu waktu 40 ribu tahun untuk mendekati tata surya lain.

NASA menunjuk sebuah komite yang dipimpin oleh astronom Dr. Carl Sagan dari Universitas Cornell. Nama Carl Sagan kita kenal sebagai penulis novel Contact, yang kemudian dilayarlebarkan dengan bintang film Jodie Foster. Sagan menyeleksi 115 suara alami yang dianggap mewakili suasana bumi: angin, ombak, kilat, burung, ikan paus, dan suara binatang lainnya. Ia juga menghimpun ucapan salam dari 55 bahasa yang dipergunakan makhluk bumi. Himpunan itu diawali bahasa Akkadian, yang digunakan bangsa Sumeria 6.000 tahun lalu, dan diakhiri dengan Wu, dialek modern Cina kini.

Sagan juga menyeleksi bunyi-bunyian musik yang ada di bumi, musik berdurasi 90 menit yang meliputi klasik, etnis, dan modern. Dan salah satu yang dipilih Carl Sagan itu adalah Ketawang Puspawarna ciptaan Mangkunegoro IV yang digubah kembali oleh Tjokrowasito. Ketawang Puspawarna mengarungi angkasa Voyager membawa salam perkenalan hangat dari manusia bumi bersama lagu-lagu top: Johnny B. Goode dari Chuck Berry, Dark was the Night, Cold was the Ground karya Blind Willie Johnson, petilan Magic Flute karya Mozart, lagu inisiasi perempuan suku Pigmi, petilan tiupan suling Jepang shakuhachi, The Well-Tempered Clavier karya Bach, dan sebagainya.

Adalah Profesor Robert E. Brown, etnomusikolog dari Universitas San Diego, yang mengusulkannya. Menurut Brown, gending Puspawarna yang disimpan di Voyager II adalah hasil rekamannya di Pakualaman pada 1971. "Saya mengusulkan musik dari banyak negara seperti India dan Bulgaria, tapi mendapatkan rekaman gending Puspawarna sangat sulit. Saya datang ke Jawa, merekam sendiri di Pakualaman," ujar Brown.

Menurut Saidi, 74 tahun, saat Tjokrowasito masih di Pakualaman, gending itu sering dimainkan. Saidi adalah teman Tjokrowasito waktu itu. Puspawarna gending lama yang lantas diberi aransemen baru oleh Tjokrowasito. "Agak beda dengan aslinya, tapi tidak terlalu kentara. Cengkok, sinden, dan gerongannya sedikit berbeda," kata Doktor Nyoman Wenten. Tjokrowasito sendiri ingat suatu hari…, "Pernah Pak Brown datang ke apartemen saya, mengajak saya ke Newhall, California, pusat pemantauan Voyager. Saat itu Voyager mendekat ke Neptunus," katanya kepada TEMPO.

Ternyata bukan kali itu saja nama Tjokrowasito berhubungan dengan jagat kosmologi. Lou Harrison, komponis terkemuka Amerika, juga pernah mengusulkan agar nama Ki Tjokrowasito menjadi nama salah satu bintang di angkasa. Harrison, yang meninggal pada Februari 2003, dikenal dekat dengan Tjokrowasito. Perkenalan pertama mereka terjadi pada 1975 di Center of World Music di Berkeley. Harrison belajar pada Tjokrowasito dan menghasilkan beberapa karya yang bereksperimen dengan konsep, sistem gamelan, atau struktur tembang-tembang Jawa seperti Concerto in Slendro (1961), La Karo Sutro (1972), dan Main Bersama-sama (1978).

Sesungguhnya Lou Harrison adalah ahli instrumen kuno Cina. Ia terampil memainkan erhu, rebab Cina, tapi mendapat kesulitan ketika belajar rebab Jawa. "Rebab lebih sukar dari erhu," kata Tjokrowasito. Atas permintaan khusus Lou Harrison, Tjokrowasito pernah membuat karya berjudul Gending Purnama Sidi. "Karena begitu hormatnya kepada Pak Tjokro, Lou lalu membuat proposal agar nama Pak Tjokro diabadikan sebagai nama bintang," kata Wenten.

Dan ternyata diterima. Pada 12 April 1983, sertifikat internasional Star Registry diberikan kepada Tjokrowasito. Letak persisnya di Andromeda Ra 23 h 35 mm 54 sd 43× 48×. Bintang itu dinamai Wasitodiningrat—ini nama saat Tjokrowasito dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Pakualaman. Nama bintang baru itu kini tercatat di Library of Congress, Amerika Serikat.

Seno Joko Suyono, Lucia Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus