Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Seorang Empu Karawitan

Inilah cerita tentang gending Jawa, cerita tentang Ki Tjokrowasito. Sosok sepuh yang pekan lalu genap berusia 100 tahun. Ki Tjokro tak begitu terkenal. Tapi jejaknya tersebar di antara lagu-lagu jelata, organ tunggal campur sari yang populer, tembang-tembang kocak saat adegan goro-goro wayang yang kerap disangka anonim, karawitan berisi pesan-pesan pembangunan di radio, dan komposer elite dunia musik kontemporer. Ki Tjokro bersahabat dengan John Cage, Steve Reich, Morton Feldman, Yoko Matsuda, dan Lou Harrison. Dialah yang menyebarkan gending-gending itu di padesan dan mancanegara. Siapa Ki Tjokro? Apa saja yang dilakukan? Apa arti bermacam peristiwa musikal itu buat dirinya kini? Majalah ini mencoba menyibak dan membahas Ki Tjokro untuk Anda.

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba tubuh yang keriput itu seolah dianugerahi nyawa rangkap. Hingga pukul 2 siang, ia masih tergolek. Tempat tidurnya di tebari perlak, dengan pispot kosong yang menantinya. Untuk keluar dari kamar, ia tak berdaya. Tulang belulangnya sudah digerogoti usia. Dibantu pembantunya, ia duduk dengan susah payah. Sorot matanya redup.

Namun sebuah keajaiban terjadi. Begitu ia menyaksikan para pemain gamelan, tubuh yang ringkih itu tiba-tiba seperti disuntik energi. Tangannya bergerak-gerak mengikuti ritme. Saat gamelan jatuh pada gong, jemarinya langsung mengepal seperti memukul. Memorinya langsung berbinar, bisa ingat hal kecil-kecil berpuluh tahun lampau: "Gending ini saya buat untuk menggambarkan suasana pengabenan Kertanegara," katanya kepada TEMPO. Lirih.

Ki Tjokrowasito adalah legenda hidup. Pekan lalu, ia genap berusia 100 tahun. Ada yang menyebut tahun kelahirannya adalah 1909, sementara dia sendiri menyatakan lahir pada 13 Juli 1904. Pada hari istimewa itu, Masyarakat Karawitan Jawa (Maskarja) memberikan sebuah perayaan penghormatan berupa pergelaran khusus karya-karya Ki Tjokro. Beberapa muridnya, asal Amerika Serikat, tak hentinya mengunjungi rumah Ki Tjokro di Kampung Tempel, Wirogunan, Yogya, yang berada tepat di belakang Taman Siswa.

Pekan silam, sembari duduk di teras depan pendapa rumahnya, Pak Kanjeng—demikian sebutan masyarakat musik Yogya untuk Ki Tjokro—menikmati medley karya-karyanya yang dimainkan mantan murid-muridnya. Sejarah musik Indonesia seolah melupakan kebesaran Tjokrowasito. Padahal dialah yang mengembangkan gamelan ke dua arah: meresap sampai ke dusun-dusun, melewati batas-batas benua. Seperti kata St. Sunardi, pengurus Masyarakat Karawitan Jawa, sosok ini ibarat sosok negeri dongeng. Tiba-tiba saja mata rantai perkembangan gamelan masa kini yang multidimensi, dari campur sari, propaganda politik, sampai yang kontemporer, dapat dilacak darinya.

Lagu-lagu jelata model organ tunggal campur sari yang kini beken, tembang-tembang kocak saat adegan goro-goro wayang yang kerap disangka anonim, atau karawitan berisi pesan-pesan pembangunan di radio, semuanya memiliki jejak Ki Tjokro. Sementara kini komponis seperti I Wayan Sadra dan Al. Suwardi berusaha masuk ke pergaulan kontemporer komponis dunia, Ki Tjokro dikenal bersahabat dengan John Cage, Steve Reich, Morton Feldman, Yoko Matsuda, dan Lou Harrison secara pribadi. Inilah nama-nama yang menjadi "Who's Who" dalam dunia musik garda depan AS.

"Tjokrowasito, Ki Nartosabdo, dan Martopangrawit adalah tiga besar Mpu Pangrawit yang kita miliki," tutur komponis Rahayu Supanggah. Dua nama yang terakhir dari Semarang dan Solo yang disebut Rahayu itu kini sudah almarhum. Ki Tjokro sejatinya adalah abdi dalem lingkungan Pakualaman Yogya. Lahir dengan nama Wasi Jolodoro, pada 1951 ia dianugerahi nama Raden Ngabehi Tjokrowasito oleh Paku Alam VII. Gelarnya semakin bertambah menjadi Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Wasitodiningrat, kemudian Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.) Notoprojo.

Karena kedekatan Pakualaman dengan Keraton Solo, sejak remaja Ki Tjokro justru belajar dari master karawitan Keraton Solo, bukan Yogyakarta. "Pak Tjokro pernah dengan bangga bercerita kepada saya bahwa ia murid 12 Saka Guru Mpu Pangrawit Keraton Solo," kata Rahayu Supanggah. Itu membuat pengaruh gaya Solo terlihat dalam pola tabuhan gending-gending karya Ki Tjokro. Menurut Supanggah, gaya Solo lebih halus karena tekanannya ada pada instrumen garap seperti gender, rebab, dan siter, sementara gaya Yogya lebih gagah dengan penekanan pada instrumen saron dan bonang.

Tapi nama Ki Tjokro dianggap raksasa lebih karena kepeloporannya membuat gamelan menjadi ansambel yang bersifat "multikultural". Di tangannya, karawitan menjadi tradisi yang menghindari konservatisme dan terbuka terhadap gagasan luar. Ki Tjokro adalah figur yang berani memasukkan unsur-unsur budaya di luar Jawa dalam karawitannya. Ini adalah tindakan yang dianggap radikal mengingat pada masa itu fanatisme terhadap keraton masih kental.

Adalah Ki Tjokro yang memulai karawitan menjadi sesuatu yang kontekstual. Ia menjungkirbalikkan penggunaan bahasa Jawa kromo atau Kawi dalam gending menjadi bahasa sehari-hari, yakni Jawa ngoko, bahkan bercampur dengan bahasa Indonesia. Dialah pelopor penciptaan gending-gending dengan syair yang bercerita tentang kehidupan masyarakat sehari-hari dan tidak lagi diambil dari serat-serat keraton yang lazimnya membicarakan keagungan moralitas di awang-awang.

Syahdan pada 1952, misalnya, ia menciptakan Jaya Manggala Gita. Ini sebuah gending patriotis yang dipersembahkan untuk negara yang memberikan imaji kejayaan zaman Kertanegara sampai Proklamasi 1945. Dari sisi pertunjukan, karya ini sudah membuat dobrakan yang melibatkan 75 orang pesinden. Pada 1958, mereka mengikuti misi kebudayaan mengelilingi Rusia dan Eropa Timur. Di Cekoslovakia, Indonesia disuguhi paduan suara dengan tiga suara. Tjokro terperangah.

Setiba di Indonesia, ia membuat Ketawang Basanta dengan kor tiga suara. "Pada waktu itu, gending dengan vokal tiga suara belum lazim," kata Profesor Doktor Timbul Haryono, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Kepada TEMPO, Ki Tjokro mengisahkan saat gending Ketawang Basanta pertama kali dimainkan di Ndalem Mangkubumen, Yogyakarta, pada 1958. "Yang hadir sempat bertanya-tanya karena aneh terdengar di telinga," katanya. Karya-karyanya seterusnya selalu menghadirkan hal yang baru pada zamannya. Selama ini, lagu Jawa hanya mengenal empat ketukan dalam satu birama. Tapi Ki Tjokro menciptakan lagu dengan birama ganjil 3, 5, 7, 9 ketukan. "Misalnya Jaya Manggala Gita itu diciptakan dengan sisipan birama ganjil di tengahnya " kata Timbul Haryono.

Pada 1958, ketika Ki Tjokro baru pulang dari Eropa Timur, penari Yogyakarta Wisnuwardhana dan Bagong Kussudiardjo baru pulang dari AS setelah berguru pada Martha Graham. Bagong lalu mendirikan Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardjo, sebuah padepokan dengan semangat pembaruan yang meluap. Ki Tjokrowasito turut bergabung. Di padepokan ini, Ki Tjokro menciptakan gending ilustrasi tari yang memasukkan unsur Banyuwangi, Banyumasan, dan Sunda.

Para pengamat menganggap pemahaman Bagong terhadap irama menjadi intens setelah pergaulannya dengan Ki Tjokro. Bersama-sama mereka menggarap karya tari Sendratari Sumpah Palapa (1964), Sendratari Yogya Kembali (1968), dan Sendratari Diponegoro (1969). Meski Ki Tjokro seorang muslim, ia menyusun ilustrasi gending untuk sendratari karya Bagong yang bertema Katolik seperti Aleluyah dan Kelahiran dan Kebangkitan Kristus (1968).

Gending-gending Tjokro yang menyerap irama "daerah pinggiran" itu membuat "belingsatan" tokoh-tokoh musik Keraton Yogya karena dianggap mengancam ide keaslian seni Jawa di Keraton Yogya. R. Djoko Walujo Wimboprasetyo—teman Ki Tjokro semasa tergabung sebagai guru dalam Perkumpulan Karawitan Puteri Yogya—ingat bahwa salah satu pelatihnya adalah Kanjeng Madu Kusumo dari Keraton Yogya. Kanjeng Madu tidak sepaham dengan Ki Tjokro, yang banyak mengadopsi gaya Surakarta. Sistem belajar yang disampaikan Ki Tjokro selalu ditentangnya. Djoko ingat, pada 1970-an, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta bahkan melakukan gerakan agar pengaruh Surakarta tidak menguat. Peristiwa ini pun melahirkan ketentuan bahwa sendratari antarkabupaten harus tari bergaya Yogyakarta. Pemerintah juga mengirim guru ke desa-desa untuk menggalakkan kesenian gaya Yogya.

Toh, Ki Tjokro tak menggubris. Sudah sejak 1936 pun ia menganggap tokoh musik Keraton Yogyakarta tak terlalu "canggih". Pada tahun itu, ia pernah secara khusus menonton piawainya para pemain rebab terkemuka dalam gaya Yogya, antara lain Raden Lurah Condrosari, Mas Lurah Manggengsari, Raden Bekel Pamularsih, serta ahli gender Puspokatong dan Raden Bekel Puspramandowo. Setelah menyaksikan permainan mereka, seperti dikutip dalam disertasi I Nyoman Wenten, The Creative World of Ki Wasitodipura (Universitas California, Los Angeles, 1996), ia mengatakan, "…ketiga pemain rebab itu ternyata tidak memiliki metode-metode tertentu, posisi jari dan teknik menggesek hanya semaunya. Demikian juga dengan tokoh pemain gender kenamaan, mereka mengandalkan soal keterampilan saja dalam permainannya."

Pada 1961, keempuan Ki Tjokro makin melambung saat ia bersama Martopangrawit dari Solo ditugasi menata gending untuk Sendratari Ramayana Prambanan. Kita masih dapat melihat hasil garapan keduanya kini di panggung terbuka Prambanan. Gending yang mereka garap bukan hanya sebuah ilustrasi, melainkan energi yang menuntun penari.

Dari 24 gending, Tjokro menggubah 11 gending—di antaranya adegan Kijang Kencana. Pada 1961, Charlie Chaplin, yang datang ke Yogyakarta, sempat menonton di Prambanan. Ia begitu terkesima. Perasaannya tersentuh oleh bunyi gending dan ekspresi tariannya. Seperti dikutip harian Indonesian Observer, 31 Juli 1961, ia mengatakan, "…. Tarian Kijang Kencana misalnya tak ada bandingannya. Saya tak butuh penjelasan tentang tari itu. Saya benci penjelasan, saya bisa menangkap segalanya.… Saya benar-benar tergerak oleh keindahan…. Mati pada saat itu tak berarti apa-apa bagi saya… kecuali kebahagiaan."

Pilihan Tjokrowasito menjadi Kepala Unit Kesenian RRI Nusantara II Yogya sejak 1951 memungkinkan inovasi dalam gamelan dapat disosialisasi ke masyarakat luas. "Saya sering bereksperimen menggunakan enam rebab dan lima gender," katanya. Pengalamannya mendengar banyak jenis musik di berbagai negara memperkaya karya ciptaannya. Misalnya, sepulang dari Amerika Latin, Tjokrowasito menciptakan gending berjudul Sopir Becak (1954).

Yang banyak dilupakan orang, Ki Tjokro juga adalah pencipta gending-gending politik. Gending politik dapat menjadi kajian tersendiri. Etnomusikolog Judith Becker telah menghasilkan disertasi doktoral, Traditional Music in Modern Java (Universitas Hawai, 1980), yang fokusnya gending-gending politik ciptaan Ki Tjokro untuk Sukarno. Ciptaan Ki Tjokro seperti Nekolim, Ganefo, dan Usdek, Usdek mengajak rakyat percaya kepada program Sukarno. Lirik lagu Usdek, Usdek, misalnya, "Usdek... usdek/Kita kabeh kudu gelem anglakoni/skabehing tindak kang wus kapacak negari/Yu Mbakyu. `U' apa tegese Mbakyu?" ("Usdek, usdek, kita semua harus menjalani, itu yang diwajibkan negara, `U' apa artinya, Mbakyu?")

"Saya juga pernah diperintah oleh Mohamad Yamin untuk membuat gending tentang Yos Sudarso. Setelah selesai, saya ke Jakarta, tapi esoknya Mohamad Yamin meninggal," demikian kenang Ki Tjokro. Pada awal Orde Baru, ia menciptakan karya-karya jargon pembangunan, seperti Modernisasi Desa (1970), yang sampai kini pun masih menjadi trademark RRI. Yang sangat merakyat adalah tembang-tembang dolanannya yang berisi sukaria dan kritik sosial rakyat cilik seperti Ronda Malam, Tape Ketan, yang sering dinyanyikan Semar, Petruk, dan Gareng dalam pertunjukan wayang. Kuwi Apa Kuwi (1958), lagunya yang populer, yang diaransemen lagi oleh kelompok Acapella Mataraman pimpinan Pardiman pada saat pentas pekan lalu, berkisah tentang korupsi. Lalu ada lagu Jaran Teji (1968), yang "saya buat karena pemerintah lebih pilih kasih kepada tentara daripada kepada petani," kata Ki Tjokro kepada TEMPO.

Pada saat gonjang-ganjing PKI, anggota kesenian RRI terbelah dua: separuh ikut Ki Tjokro, yang dianggap condong kepada PNI, separuh ikut Djadi, seorang tokoh ketoprak anggota Lekra. "Tjokrojiyo, kakak Djadi, ikut saya. Djadi sendiri tertembak mati," kata Ki Tjokro. Tapi, akibat banyak membuat lagu propaganda Sukarno dan kesukaannya pada musik Banyuwangi, Ki Tjokro dituduh membuat aransemen Genjer-genjer. Ia ditangkap pada 1968 dan mendekam selama delapan hari di markas CPM. "Adik ipar saya yang PKI, saya tidak," katanya. Meski bebas, tak urung itu membuatnya gelisah. "Saya sempat lapor Jenderal Surono di Semarang, saat diundang ke pesta perkawinan anaknya," ujarnya.

Pada 1970-an, Profesor Robert E. Brown dari Universitas San Diego memintanya datang ke AS. Ia menerima tawaran itu. "Ada kemungkinan penangkapan itu membuatnya jadi waswas," kata St. Sunardi. "Ketika Tjokrowasito pergi ke Amerika, saya sempat terkejut," kata Y. Sumantyo Hadi, guru besar Institut Seni Indonesia, penari di padepokan Bagong Kussudiardjo. "Komposisi Pak Tjokro sesungguhnya adalah roh tarian Bagong," katanya. Di Jawa, terjadi perubahan peta gamelan. Nama Ki Tjokro lambat-laun tak dikenal masyarakat. Nama Nartosabdo berhasil muncul. Tapi kedatangannya adalah berkah bagi musisi Amerika. Program pendidikan gamelan di Amerika saat itu belum begitu berkembang. Menurut Rahayu Supanggah, kedatangan Ki Tjokro seperti "babat alas" untuk perkembangan gamelan di Amerika. Selain di California, ia mengajar di Berkeley dan San Diego. "Saya mengajar 12 jam sehari. Setiap jam ganti alat," tuturnya.

Alex Dea, etnomusikolog asal Amerika yang kini tinggal di Malaysia, adalah salah satu murid pertama Ki Tjokro. "Pak Tjokro mula-mula mengajarkan gending sederhana seperti Puspawarna, baru kalau sudah mahir gending yang variasi beat-nya banyak seperti Gambir Sawit," kata Alex. Mahasiswa AS, yang terbiasa dengan analisis, selalu membawa alat rekam saat latihan. Mereka lalu mempelajarinya lagi di rumah serta membikin notasi not balok, sementara Ki Tjokro selalu menekankan agar mahasiswa memakai kekuatan ingatan. Menurut Alex, Ki Tjokro tidak pernah membikin notasi angka untuk instrumen, kecuali untuk bagian kor vokal. "Saya ingat tulisan tangan Pak Tjokro sangat rapi, indah sekali," ujar Alex.

Dalam mendidik, Ki Tjokro senang berkisah tentang guru-gurunya: Saka Guru Kalih Welas atau pesinden-pesinden zaman dulu. Itu memancing para muridnya agar datang ke Indonesia. Hidup di AS tak membuat Tjokrowasito meninggalkan olah batin. Ia jarang sakit. Kalaupun sakit, paling masuk angin. "Dikeroki saja sembuh," tutur Nanik, putrinya. Tiap hari ia bangun pagi pukul 4, langsung yoga. "Saya terkejut, pagi-pagi Pak Tjokro berdiri terbalik dengan kaki di atas…," kata Robert Brown, yang pernah menginap di rumahnya. Setelah yoga, Ki Tjokro akan berjalan-jalan. "Sambil jalan-jalan, Papi selalu menembang," kata Doktor Nyoman Wenten, yang tak lain dari menantu Ki Tjokro.

Selama di AS, Tjokro juga bergaul dengan tokoh-tokoh spiritual. Kepada TEMPO, ia bercerita, suatu kali ia berdiskusi mengenai kasunyatan sampai larut malam dengan Khrisna Murti, tokoh teosofi dari India. "Menjelang pagi, Khrisna Murti masuk kamar, tapi kemudian saya cari tak ada. Ternyata ia sudah berada di London," kata Ki Tjokro. Orang tahu Ki Tjokro memang suka hal-hal spiritual—pada 1936 ia misalnya membuat lagu Gending Windu Kencana dan Gending Lokananta untuk kongres besar kelompok kebatinan Kawruh Bejo pimpinan Ki Ageng Suryomentaram.

Ia sudah mencapai usia 100 tahun yang agung. Bagaimana bisa? "Rahasia…. Nanti saja, kalau kamu sudah tua, saya beri tahu…," katanya sembari tertawa ketika TEMPO menanyakan apa resepnya panjang umur dengan pendengaran yang masih tajam dan daya humor yang masih tinggi.

Setiap hari Selasa, di pendapa rumahnya, alumni RRI yang sepuh-sepuh main gamelan. Para penggemar karawitan untuk waktu tertentu juga datang untuk latihan. "Dia akan membunyikan bel klinthing dari kamar memanggil saya bila mendengar ada tabuhan yang salah," kata Sidarjo, 64 tahun, keponakannya, yang sehari-hari mengurus Ki Tjokro.

Menjelang ulang tahunnya yang ke-100, Ki Tjokro mengenang murid-muridnya. Pada 1961, misalnya, ia pernah mendirikan sekolah khusus sinden yang cabangnya ada di semua kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia ingat pernah punya murid bernama Yuriah yang sering diboncengkan sepeda sepulang latihan vokal di Bantul. Pada ulang tahunnya yang ke-100 ini, ia ingin Yuriah menari gambyong untuknya. Yuriah sendiri, yang belum pernah bertemu dengan gurunya sejak Ki Tjokro kembali ke Yogya pada 1998, ketika dihubungi sanak Ki Tjokro, kaget dan terharu. "Saya kaget, beliau kok ya masih ingat saya," kata Yuriah, 53 tahun.

Karena Yuriah, inilah hadiah terbesar di pucuk usia yang agung.

Seno Joko Suyono, L.N. Idayanie, Imron Rosyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus