Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang magrib, Kamis pekan lalu. Satu-dua orang berdatangan di Pura Pakualaman. Rata-rata mereka mengendarai sepeda tua, setua usia mereka sendiri. Setelah menyandarkan sepedanya di sisi barat halaman Pura, mereka berjalan menuju rerumputan di bawah pohon yang daunnya meranggas dimakan kemarau. Mereka duduk santai. "Menunggu teman-teman mau latihan," ujar Saidi, satu di antara mereka.
Setiap Senin dan Kamis menjelang magrib, serta malam Sabtu Pahing, para wiyaga Pakualaman rutin berlatih karawitan. Hari-hari lain, Pendapa Pura Pakualaman akan sepi. Saidi adalah pengrawit tertua di Pura Pakualaman. Ia mengalami masa-masa tatkala Rama Tjokrowasito masih giat memimpin kelompok karawitan Pakualaman. Kini berusia 74 tahun, Saidi masih tampak segar. Semasa masih bersama Tjokrowasito di Pura Pakualaman, Saidi sering mendapat wejangan dari Tjokrowasito. "Le, ben sehat, kowe kudu sregep olahraga. Nek esuk ojo lali mlaku-mlaku (Nak, supaya sehat, kamu harus rajin olahraga. Jangan lupa jalan-jalan kalau pagi)," kata Saidi menirukan ucapan Pak Tjokro.
Sore itu Saidi dan teman-temannya menabuh dua lagu. Masing-masing berdurasi sekitar 30 menit. Gending Bondan Kinanthi, Ladrang Sekar Pepe Pelog Patet Nem, dan Gending Majemuk Slendro Manyuro. Gending-gending seperti ini biasanya dimainkan bila bakal ada wilujengan atau upacara. Bila tidak, para abdi akan berlatih klenengan biasa.
Di zaman Pak Tjokro masih giat dulu, menurut Saidi, secara rutin kelompok karawitan Pakualaman sering memainkan gending-gending ageng. Saidi adalah saksi bagaimana Pak Tjokro sangat antusias mengolah kembali gending-gending "ageng"gending yang siklus gongnya panjang. Pakualaman memang memiliki banyak koleksi notasi-notasi angka gending ageng.
Pak Tjokro sering mengaransemen kembali gending-gending itu. Ia dengan sangat jeli mampu menyelipkan nada tanpa mengubah atau mengurangi dinamikanya. Selipan-selipannya makin memperkaya musikalitas gending itu. Gending-gending ageng yang diaransemen Ki Tjokrowasito rata-rata gending untuk tari Serimpi. Misalnya, Gending Sangopati, Gending Anglir Mendung, dan Gending Ketawang Gita Sri Nalendro. "Dalam tari Serimpi Tejonoto, Pak Tjokro menciptakan Gending Tejonoto," kata Saidi, yang kini bergelar Ngabehi Cermo Pangrawit.
Terlihat kesenimanan Pak Tjokro utuh, lantaran bukan saja ia piawai dalam gamelan tapi juga memiliki dasar-dasar yang kuat dalam menari dan olah vokal. Sejak kecil, ia mempelajari seluruh kesenian Jawa di Pakualaman, dan itu menjadikan Pakualaman seolah kawah candradimuka. Pada usia lima tahun, ia sudah berurusan langsung dengan gamelanbelajar dari ayahandanya, yang menjadi pemimpin karawitan Pakualaman, Raden Wedono Padmowinangun. Untuk menari, ibunya sendiri, Nyi Padmowinangun, yang mengajarinya. Pada umur 12 tahun, ia menari Golek Celuntang, yang khusus diajarkan ibunya untuk tamu-tamu Pakualaman.
Umur 13 tahun, ia menjadi pasangan tetap menari Gusti Raden Mas Aryo Surya Sularso (Paku Alam VIII), yang kelak menjadi Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (meninggal 13 September 1998). Duet tari dengan Gusti Raden Mas Aryo yang terkenal, antara lain, tari Handoko Bugis, Arjuna-Cakil. Tjokrowasito menjadi Cakil, raksasa yang polah tingkahnya sering berjumpalitan. Suatu ketika, dalam adegan perang, Gusti Raden Mas Aryo Surya Sularso telat menghindar sehingga tertusuk keris. Sedikit terluka, ia mengadu kepada ayahnya, Gusti Pangeran Adipati Aryo (Sri Paku Alam VII). Ternyata Paku Alam VII tidak memarahi Tjokrowasito, tapi justru memberi tahu Gusti Raden Mas Aryo Surya Sularso karena kurang hati-hati.
Umur 14 tahun, Tjokrowasito belajar Sekar Ageng (tembang Jawa Kuno) kepada Kiai Penghulu Mohammad Dasuki, ahli tembang di Pakualaman. Pada waktu itu banyak sinden dari Keraton Solo dan Istana Mangkunegaran yang datang dan berpentas di Pakualaman. Empat sinden terbaik zaman itu yang sering datang adalah Nyi Lurah Panji, Nyi Lurah Tamenggita, Nyi Lurah Ronggo Prenthil, dan Nyi Bekel Pulanglaras.
Pakualamankeraton termuda dari empat keraton yang ada di Jawa Tengahmemang banyak terpengaruh oleh Solo. Itu lantaran Paku Alam VII tahun 1909 menikah dengan G.R.A (Gusti Raden Ayu) Retna Puwasa, putri kesayangan Paku Buwono X, Raja Keraton Solo. Begitu tahu cucu pertamanya laki-laki, Paku Buwono X langsung memboyong seperangkat gamelan kesayangannya. Satu set gamelan yang sampai kini masih dapat kita lihat di sayap timur Pendapa Sewandana. "Semua gamelan yang ada di sini bergaya Solo. Tandanya, di atas gawangan gong ada ornamen ularnya," Saidi menjelaskan.
Paku Buwono X tak cuma membawa gamelan, tapi juga para penabuhnya, sinden, dan penari dari Keraton Solo. "Mereka tinggal di Pakualaman sekitar setahun. Karena itu, pengaruh gaya Surakarta di sini cukup kuat," ujar Kanjeng Pangeran Haryo Indrokusumo, putra terkecil Paku Alam VIII, kepada TEMPO.
Pada umur 16 tahun, karena kepiawaiannya, Tjokro diterima magang sebagai abdi dalem karawitan. Periode itu makin membuat persentuhannya dengan gamelan kian intens. Tapi, yang makin membuatnya matang adalah ketika pada periode selanjutnya, saat sering ke Solo, ia belajar langsung pada Soko Guru Kalih Welasdua belas guru karawitan Keraton Solo yang terkenal. Ini suatu kesempatan langka sekali, yang membuatnya sangat bangga. Para guru itu adalah K.R.T. Warsodiningrat, Raden Panewu (R.Pnw.) Gunopangrawit, Raden Lurah (R.L.) Doyopradonggo, R.L. Mloyodiwongso, Raden Ngabehi (R.Ng.) Prawirapangrawit, R.L. Mloyodisuro, R.Ng. Wirowiyogo, R.L. Santropangrawit, R.L. Resoreksoko, R.L. Marikangen, R.L. Atmobromoro, dan R.L. Trunomloyo.
Ki Tjokro pada tahun 1928 sempat meninggalkan Pakualaman, bekerja di Pabrik Gula Muja-Muju milik Belanda. Tapi pada tahun 1932 ia kembali menjadi pustakawan dan guru kesenian resmi Pakualaman. Di tengah-tengah kesibukannya di Pakualaman, pada periode itu bersama teman-temannya ia sering berkelana ke luar tembok Pakualaman. Ia "ngamen" ke daerah-daerah. Ia syahdan sempat tinggal di Solo dengan para ledhek. "Sinau kenal wong wadon (belajar mengenal perempuan)," katanya. Tampaknya pada periode itulah ia belajar bahwa sesungguhnya gamelan harus diorientasikan kepada masyarakat, bukan semata-mata untuk kepentingan keraton.
Tahun 1951, ia memimpin RRI Nusantara II, Yogyakarta. "Pada waktu Pak Wasitodiningrat menjadi pemimpin RRI, hampir semua anggota kelompok karawitan Pakualaman menjadi pegawai RRI," kata K.P.H. Indrokusumo. Di RRI, para pengrawit Pakualaman bergabung dengan pengrawit dari Keraton Yogya. "Saat itu hanya di RRI-lah bisa dibuat musisi Pakualaman bermain bersama dengan musisi Keraton Yogya," kata Habib Bari, mantan penyiar RRI, salah satu orang dekat Tjokro saat itu. Di RRI ini juga Pak Tjokro melakukan inovasi kreatif terhadap gending-gending gamelan. Tembang berbau humoristis kerakyatan lahir deras di sini. Satu gending yang tak pernah dilupakan Habib adalah ketika Pak Tjokro mencampur irama lagu Barat, Great Pretender dan Mambo, dengan tembang yang sering dinyanyikan perempuan penjual tape ketan. Oh yes, e mambo, tape ketan .
Tahun 1962, setelah kematian ayahnya, Pak Tjokro ditunjuk sebagai pimpinan karawitan Pakualaman. Di Pakualaman, ia tetap melakukan konservasi terhadap gending-gending ageng. Sementara itu, di RRI, ia melakukan kreasi-kreasi baru berspirit kerakyatan. Menunjukkan dimensi kekayaan batin Pak Tjokro.
Seno Joko Suyono, Lucia Idayanie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo