Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Putu, dengan banyak kata-kata

Karya: putu wijaya sutradara: putu wijaya resensi oleh: syu'bah asa. (ter)

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANDIWARA Putu Wijaya, Hum Pim Pah (Teater Tertutup TIM, 22-26 Maret), padat pengunjung. Pihak penjualan karcis bahkan menunjukkan bahwa jumlah penonton berangsur menaik: makin hari semakin besar, dan ini biasa ditandai sebagai akibat "kampanye lisan" sesama mereka. Banyak orang berkata: "Saya suka sandiwara Putu yang ini. Ceritanya bagus, dan lebih jelas dari yang dulu-dulu". Jadi itulah faktor utama kenapa tontonan itu "bagus". Dan bila itu ukurannya, maka si pengarang sendiri boleh bersedih. Sebab setelah gebrakan demi gebrakan ia lakukan di pentas, yang semuanya mengukuhkan kehadiran teater sebagai tontonan yang tidak pertama kali tergantung pada hadirnya cerita, orang toh rupanya masih lebih mudah mengukur baik-buruk pementasan dari soal 'jelas-tak jelas'. Padahal Hum Pim Pah boleh dinilai sebagai "bukan apa-apanya" dibanding tontonan-tontonan Putu sebelumnya. Plot yang bagus saja belum lagi jaminan. Juga naskah yang bagus - yang seperti halnya naskah-naskah Putu lainnya, telah merebut kejuaraan sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Soalnya: pementasan telah begitu banyak merugikan naskah. Banyak kalimat berpanjang-panjang, misalnya, yang dalam naskah menyiratkan unsur main-main, menjadi begitu "heroik". Sekaligus terasa bertele lantaran tunggal nada. Dan di samping pertunjukan dengan demikian didominir omongan -- sesuatu yang dibenci pengarang ini sendiri - Putu di sini tiba-tiba seperti muncul sebagai seorang "pejuang". Moral Pelacur Perjuangan itu, sangat menarik, menyangkut moral. Ini antara lain moral seorang pelacur (tokoh kesayangan Putu) yang dengan keras namun tulus mencintai seorang bajingan (yang bahkan tidak peduli siapa nama perempuan itu). Para petugas, yang memburu dedengkot ini, berhadapan dengan sang ayah yang dihormati karena jasa-jasanya sebagai pemimpin revolusi dahulu. Si ayah, yang pura-pura yakin anaknya sudah mati (sebab begitulah disebarkan oleh kawan-kawannya untuk memisahkannya dari anaknya) sekarang menghadapi tugas untuk mengambil tindakan terhadap sang anak. Kawan-kawannya semasa revolusi, atasnama keagungan generasi yang lampau, memaksa dia untuk mengambil tugas itu. Tetapi ia lumpuh. Dan makin lama makin jelaslah posisi pelacur yang dijatuhi sumpah serapah segala pihak (ia misalnya dianggap menipu sang ayah, karena sementara ia menolong orang tua itu dalam pengobatan dan perawatan, ia mengadakan pertemuan-pertemuan dengan dedengkot di gudang, sebuah "tempat yang bersejarah"). Tetapi ia juga yang dari semula melindungi dan berusaha agar cowoknya melarikan diri - meskipun akhirnya terlambat. Dan ia juga yang "menelanjangi" tokoh-tokoh lain, tentang betapa palsunya apa yang mereka aku sebagai tanggungjawab atau semacamnya. (Ayah dedengkot sendiri, setelah tak kuasa menembak anaknya, dan sebelum dihukum mati atasnama "kebesaran generasi" mengaku bahwa ia sebenarnya pengecut dan bahwa lingkungan sekelilingnyalah yang memaksa dia menjadi "lambang"). Memang ada semacam penyampaian pesan dari Putu Wijaya. Kali ini Putu menjabarkan dalam kalimat-kalimat, hal-hal yang selama ini sebenarnya mendasari karya-karyanya yang "tanpa ide" itu - yakni sikap yang cenderung nihilistis, yang sering muncul dalam perwujudan main-main walau betapapun kasarnya. Hanya, tak pernah terbayangkan bahwa sebuah pementasan Putu akan berkhotbah seperti malam itu. Sentimentalitas Materi pemain memang sangat menentukan. Yang disebut pemain mentah ialah, yang bisa bersuara dengan jelas, bisa bergerak tanpa canggung, namun sesuatu dalam umur dan pengalamannya menghalangi dia untuk menyentuh hal-hal lebih dalam dari sekedar jalan kalimat. Hal-hal lebih esensiil seperti ironi misalnya, termasuk yang sukar diungkapkan kegetiran biasanya akan muncul tak lebih dari sentimentalitas. Sutradara, Putu Wyaya, berbuat dosa karena ketidak-mampuannya menangani hal-hal ini, istimewa pada pemegang peran kunci: si pelacur (Puspita). Demikianlah, di samping humor dan kekonyolan banyak sekali yang hilang, kalimat-kalimat panjang tak lebih dari hanya pidato seorang partisan --yang diungkapkan dengan nada tinggi. Dan nada tinggi, yang mewarnai seluruh pementasan, menunjukkan betapa para pemain yang selama ini hanya dipersiapkan memerankan "tokoh-tokoh" tanpa omong dalam karya-karya Putu terdahulu, dihadapkan untuk 'bermain' satu per satu - tanpa ditolong oleh keributan panggung model Putu. Mereka misalnya harus berakting wajar, dan bersuara wajar. Dan celakanya justru suara wajar ini dalam akting sungguh-sungguh -- yang selama ini belum merupakan bagian dari kesibukan teater Putu Wijaya. Tragis, karena begitu pemain disuruh bersuara, ia kembali ke "pola" drama drama yang selama ini secara keliru disebut "realistis": pola yang bergelombang, pola melodrama, pola pidato - alhasil pola palsu seperti yang bisa dijumpai dalam film-film Indonesia. Sungguh anak-anak TIM itu memang sudah dirusak oleh "mazhab akademis" semacam itu. Kekurangan akting dan dialog itulah yang bisa menguatkan alasan Putu untuk tidak mementaskan naskalnya ini dengan cara "biasa". Kok Fanatik Amat Keributan panggung yang diciptakannya, yang dari-satu segi menunjukkan bahwa ia "lebih berbobot dari pemainnya", memang berhasil memunculkan sebuah tontonan yang riuh, total dan utuh dalam suasana, berwarna coklat kotor, dan tidak menampakkan dengan jelas pihak-pihak maupun alur-alur. Kecuali kalau orang lebih dulu membaca semacam sinopsis dalam folder, sesungguhnya mereka tak tahu benar, misalnya: apa beda 'kawan-kawan' dan 'petugas'. Apakah pelacur itu mati ketika ditembak, kemudian bicara sebagai roh, atau tidak ditembak - atau ditembak tetapi tidak mati. Atau mengapa ayah itu harus membunuh anaknya sendiri -- kok fanatik amat. Bahkan fokus di situ terasa sengaja digosok-gosok Putu biar tidak kentara. Tokoh dedengkot misalnya, tidak menonjol kepribadiannya yang liat, yang ditunjukkan dengan cara tidak ngomong dari awal sampai akhir. Pertemuannya dengan pelacur yang bisa mengharukan, tidak diberi perhatian oleh sutradara yang memang takut sekali jatuh cengeng. Ketulusan yang unik dari pelacur itu sendiri tak muncul, kecuali sebuah cinta yang banyak omong dan puber. Sedang dedengkot sendiri, anehnya, hi lang seluruh kejantanannya: ia malah, bagai anak aleman, main-main bergantung-gantung dengan nyentrik. Sekiranya tidak ada pemain seperti Budhiman (kepala petugas), maka tak ada apa-apa yang tinggal dari awak panggung untuk dinilai. Kecuali bahwa mereka telah membantu Putu Wijaya untuk menghadirkan sebuah drama verbal baru, dari jenis yang tidak konvensionil. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus