Kevin Costner bermain sebagai pencuri dan pahlawan dalam versi baru legenda Robin Hood. Sebuah esei tentang kepahlawanan. Lanskap sosial dan panorama dibuat autentik. KITA sudah lama mengeluh tentang film nasional yang belepotan mimpi. Tetapi film-film Amerika pun tak bebas dari virus bangkotan itu. Bahkan dalam usia yang sudah sangat mature, Holly- wood terus menempatkan mimpi sebagai bumbunya. Mimpi tentang pahlawan keadilan sudah lama melahirkan tokoh Superman dan Batman. Kemudian, di zaman pemerintahan Ronald Reagan, datanglah Rambo. Kini, sesudah Perang Teluk, mimpi yang sama kembali menetaskan reinkarnasi Robin Hood, legenda dari rimba Sherwood, Inggris, yang terjadi 800 tahun yang lalu. Robin, idola rakyat kecil, bukan si agen 007 yang doyan mencicipi wanita. Ia garang dan perkasa, namun terhormat dan budiman. Ia hanya bercinta dengan si cantik Maid Marian. Seluruh hidupnya diabdikan untuk membebaskan rakyat kecil dari penindasan kepala polisi yang korup di daerah Nottingham. Orang seperti tak tahu lagi bagaimana mesti memeratakan kebahagiaan, jalan yang wajar dan dipujikan hukum seakan-akan sudah ternoda. Tak ada jalan lain kecuali semacam kekerasan yang budiman. Dan itulah Robin Hood. Robin Hood adalah sebuah kririk sosial. Sebuah pemberontakan. Sebuah sindiran. Tokoh Robin Hood- sebagaimana tokoh Don Qisot dari sastra Spanyol- sudah menjadi milik dunia. Menjadi idiom, lambang yang dipakai oleh seluruh dunia manakala menghadapi situasi yang sama: ketimpangan sosial. Bintang Hollywood yang berkumis lidi, Errol Flynn, dipercayakan oleh Warner Bros menjadi Robin Hood pada tahun 1938 dalam film The Adventures of Robin Hood. Pada 1976, Sean Connery jadi Robin tua berhadapan dengan Audrey Hepburn dalam Robin and Marian. Robin memang tak pernah mati. Ia hidup abadi, terus ditafsirkan kembali dengan berbagai embel-embel yang aktual. Warner Bros kali ini menampilkan sisi Robin sebagai raja pencuri: Robin Hood: Prince of Thieves. Bukan cuma itu. Si Robin 1991 juga sangat istimewa, karena akan diperankan oleh aktor yang baru saja meledak sebagai sutradara: Kevin Costner. Dengan bom Dances with Wolves, yang masih terus meletus-letus di banyak bioskop di Indonesia, Robin Hood sudah sukses sebelum diputar. Lewat Costner yang sudah bersinar dalam film The Untouchables, No Way Out, Bull Durham, Fild of Dreams, Dances with Wolves, Robin bukan hanya sebuah film laga. Tetapi sebuah esei tentang kepahlawanan. Sebuah penafsiran baru tentang siapa dan bagaimana orang yang pantas disebut pahlawan. Robin lahir di sebuah keluarga terpandang. Ia, yang ganteng dan atletis, terpanggil untuk memburu pengalaman dan petualangan. Ia pun kemudian ikut dalam Crusade, mendukung perang agama yang ditentang oleh ayahnya. "Adalah tercela untuk memaksa manusia lain untuk mengikuti agamamu," katanya. Pengalaman yang dahsyat menghadang Robin di medan pertempuran. Sahabatnya, kakak Marian, tewas. Ia pun nyaris mampus. Ketika kembali ke Inggris, ia mulai menyadari kebenaran pendapat ayahnya. Tetapi terlambat. Di rumah, ia menjumpai ayahnya sudah mati dibunuh kepala polisi Nottingham. Harta bendanya ludas. Ia tak sempat minta maaf lagi. Waktu itulah Robin mendapat keyakinan bahwa "kehormatan bukan ditentukan oleh kelahiran, namun oleh kelakuan senyatanya". Sejak itu, ia mencoba mencari dirinya. "Maka, sasaran cerita ini," kata Pen Densham yang menulis skenario bersama John Watson, "perjalanan hidup Robin untuk menjadi pahlawan sejati." Film ini juga berbeda dengan kisah Robin sebelumnya, karena akan muncul beberapa tokoh-tokoh baru yang penting. Di antaranya, tokoh Azeem (dimainkan oleh Morgan Freeman), konco Robin yang arif bijaksana. Juga tokoh Moor, yang aristokratik dan berutang nyawa kepada Robin dengan segala kebijakannya yang kontras dengan kekasaran orang Inggris pada abad ke-12, menemani Robin memasuki kembali Inggris. "Kami punya dua target," kata Kevin Reynolds, sang sutradara. "Pertama, kami ingin memberi guncangan baru dari legende itu. Kami tidak akan membuat sebuah drama sejarah, tapi kisah persahabatan yang aktual antara Robin dan Azeem. Kami juga ingin mengetengahkan Marian (diperankan oleh Mary Elizabeth Mastrantonto) sebagai wanita yang berpandangan amat modern. Yang kedua, kesulitan kehidupan abad pertengahan yang begitu menekan sehingga seorang pahlawan lahir mengubah nasib seluruh negeri, merupakan fenomena unik. Lanskap sosial dan panorama visual itulah yang ingin kami hidangkan. Sampai-sampai warna tembok pun akan dibuat autentik." Film yang dibuat di New Forest dan Burnham Beeches- sebagai rimba Sherwood, kubu Robin- ini benar-benar menyuguhkan kostum, set, senjata-senjata, bahkan juga tanaman dan binatang-binatang sesuai dengan zamannya. Kevin Costner sendiri selama empat jam setiap hari berlatih di lapangan tenisnya untuk membiasakan mengenakan kostum dan senjata-senjata zaman baheula. Ia mengaku amat senang bekerja dengan sutradara, sekaligus teman baiknya, yang sudah sempat menyutradarainya dalam Fandango. "Setiap film yang ada kudanya membuatku bergairah," ucapnya. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini