PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DAN PERUBAHAN SOSIAL Editor: Dr. M. Amien Rais Pusat Latihan Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, Yogyakarta, 1985, 107 halaman PERTANYAAN yang kini sering terdengar: Mengapa dua lembaga pendidikan swasta yang begitu berperan di zaman kolonial sekarang tenggelam? Yang dimaksudkan, tentu, Perguruan Taman Siswa dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Setahu saya, belum ada orang yang mencoba mengkaji masalah Ini dengan sungguh-sungguh. Buku ini, yang merupakan rekaman diskusi yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, pun sebenarnya baru merupakan cetusan-cetusan pemikiran yang belum didukung riset lapangan. Tapi setidaknya buku ini, menguatkan pendapat bahwa masalah yang dipersoalkan memang relevan - bukan sekadar cetusan seseorang yang sedang bernostalgia. Uraian garis besar peranan Muhammadiyah di tengah sejarah pendidikan dan perubahan sosial diberikan M. Basit Wahid. Kesimpulan pembicara ini, selama ini Muhammadiyah hanya melakukan pembaruan di bidang institusi, tapi tidak di bidang pemikiran. Akibatnya, lembaga pendidikan Muhammadiyah kurang bisa memberikan jawaban yang tepat terhadap tantangan zaman. Pengajaran ilmu tauhid di madrasah-madrasah, misalnya, sudah kuno, tak lagi relevan, katanya. Lalu, Amien Rais, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mendaftar lima kelemahan Muhammadiyah sekarang ini. Antara lain, kelemahan dalam pengkaderan, konsepsi, dan organisasi. Yang dengan jelas merumuskan masalah sosial yang dihadapi Muhammadiyah adalah Kuntowijoyo, doktor sejarah. Zaman awal Muhammadiyah adalah zaman ekonomi industri dan kapitalisme awal. Di waktu itulah Muhammadiyah, salah satunya lewat sekolah-sekolahnya, berhasil menciptakan etos kerja baru (lahirnya wiraswasta di Yogyakarta, Solo, dan Pekalongan boleh dikata merupakan salah satu akibatnya). Tapi, zaman berkembang, muncul sistem pemerintahan dengan birokrasi besar. Muhammadiyah tak lagi berkutik. Bukankah sekolah Muhammadiyah pun melaksanakan kurikulum sekolah negeri? Lalu apa bedanya bila cuma, misalnya, Jam pelajaran agamanya yang lebih banyak? Tapi mungkinkah Muhammadiyah, seandainya pun ia berani melakukan, menyusun kurikulum sendiri? Bila semua itu dipertanyakan, diperdebatkan, setidaknya menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebenarnya masih punya potensi untuk berkembang. Sebab, bila tidak, untuk apa semua ini didiskusikan? Bukankah lebih baik membentuk saja sebuah lembaga baru? Bambang bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini