PENDING EMAS Oleh: Herlina Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta, Edisi Revisi 1985, 540 halaman AKU ingin bermakna dalam hidupku. Tidak hanya untuk diriku, tetapi juga untuk orang lain. Tidak hanya bagi keluargaku, tetapi juga bagi kehidupan masyarakat dan bangsaku, bagi kejayaan tanah air dan negaraku: Indonesia!" Cetusan hati dan cita-citanya itu terdapat pada awal bukunya yang hampir mendekati sebuah autobiografi seorang gadis yang sedang mencari makna hidup pada usia 18 tahun ketika itu. Ia melakukan perjalanan keliling Indonesia, bertolak dari Jakarta mengelilingi Sumatera, menyeberang ke Kalimantan sampai Pulau Laut. Kemudian ke Sulawesi sampai Kepulauan Sangihe dan Talaud, mengelilingi pulau-pulau Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Madura, dan kembali lagi ke Pulau Jawa. Ini dilakukannya antara tahun 1959- 1961, atas biaya sendiri, dan yang dilakukannya untuk mencari hidup bermakna. Ia juga menyatakan ingin melakukan sesuatu yang besar, sebelum umur 22 tahun. Dan sesuatu yang besar itu ternyata: diterjunkannya sebagai gerilyawan di hutan belukar Irian Jaya. Sebagai seorang wanita satu-satunya. Orang bisa bertanya mengapa gadis Herlina melakukan hal itu. Apakah sekadar untuk mencari nama atau untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri? Apa pun jawabannya, ia termasuk anak zaman - zaman menggeloranya cinta tanah air dan belum tercapainya negara kesatuan RI karena Irian Jaya masih diduduki kekuasaan Belanda. Untuk itu, perlu keberanian seorang petualang. Demikianlah, dalam buku ini pembaca dibawa kepada pengalaman seorang gadis yang diterjunkan, tanpa latihan dan pengalaman militer, di tengah rimba Irian, yang merupakan perkenalan pertama dengan penduduk primitif tetapi memiliki nilai manusiawi. Ini terbukti dari usaha lima penduduk asli untuk membawanya keluar dari hutan dan menuju pantai. Dari situ ia ditolong para nelayan, yang memang merasa ada suasana permusuhan dengan Belanda. Herlina diselamatkan dengan berlayar selama-dua hari dari pantai Irian itu ke Pulau Seram, daerah Republik. Di Soasiu, kota pusat perjuangan, ia mencoba menerbitkan sebuah surat kabar, Karya, yang diusahakan peredarannya dengan cara-cara tidak masuk akal untuk masa kini. Ketika ia diizinkan bergabung dengan Komando Mandala, yang harus melaksanakan Trikomando Rakyat (Trikora) merebut Irian Jaya, cita-cita berkomunikasi melalui surat kabar diulanginya. Rasanya, agak sulit mencari bandingannya dengan aktivitas remaja dan semangatnya dewasa ini. Tetapi itu kisah sebenarnya. Kisah seorang pelaku dan saksi mata suasana perjuangan mencapai kesatuan Indonesia dalam kondisi serba kekurangan dan ketidaktentuan masa depan. Ia juga memperhatikan peri kehidupan rakyat Irian, perbedaan tingkat kecerdasan pada mereka yang di Kota Sorong dan Kotabaru. Pengalaman ini memberi kesan tersendiri, dan tumbuh cita-citanya kemudian untuk membangun masyarakat Irian, kelak, setelah masa perjuangan bersenjata selesai. Sebagai seorang remaja, ia banyak berkenalan dengan para pemimpin militer, pejabat pemerintahan sipil yang berpengalaman, dan - tentu saja - beberapa pemimpin politik terkemuka waktu itu, antara lain Presiden Soekarno, yang telah memberinya hadiah: sebuah pending emas. Ia berkisah ketika hadiah itu akan diberikan, bagaimana ia mendapat berita itu dari seorang wartawan, keterkejutannya dan ketidakpercayaannya. Ia bertanya kepada diri sendiri, apakah patut diberi gelar Srikandi Trikora. Ia tahu benar peranannya dan keadaan sebenarnya mengikuti perjuangan. Itu hanya lambang semata. Idealisme remajanya tetap tangguh. Hadiah dan gelar bukanlah tujuan perjuangan. "Aku ingin, keyakinanku adalah keyakinan rakyat Indonesia bahwa pengabdian itu harus murni, tidak ada benda yang senilai untuk ganjarannya," demikian kata-katanya pasti. Sebab, Pending Emas yang akan diterimanya itu sudah jelas baginya untuk tidak diterima bagi diri sendiri, tetapi dikembalikan kepada pemerintah untuk tujuan penggunaan yang lebih mulia. Membaca buku Herlina edisi yang direvisi ini, dengan tambahan foto-foto dokumenter sekitar perjuangan perebutan Irian Jaya, sangat menarik. (Sayang, penjelasan mengenai foto-foto dokumenter tidak seirama dengan kisah-kisah Herlina). Pertama, buku ini dapat juga dianggap sebagai dokumen pribadi, yang penting bagi pelengkap sejarawan dalam usaha rekonstruksi masa lampau. Kedua, tampaknya dokumen pribadi semacam ini dapat juga menjadi bahan analisa psikologis bagi latar belakang kekeluargaan "penulis remaja" ini. Ketiga, ia juga menarik untuk ditinjau dalam konteks perkembangan sosial-politik dalam proses integrasi bangsa. Mengenai yang terakhir, terselip sebuah harapan bahwa kelak juga ada buku semacam ini, yang ditulis salah seorang putra Irian sendiri tentang kesaksian dan pengalamannya di masa Trikora dan sesudahnya. Betapapun, tanpa mengurangi nilai buku itu sebagai rekaman peristiwa dan pengalaman suatu masa, terasa masih merupakan uraian dari Jakarta, bukan dari Sorong ataupun Kotabaru. Abdurrachman Surjomihardjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini