SENYUM KARYAMIN Oleh: Ahmad Tohari Penerbit. PT Gramedia, Jakarta, 1989, 71 halaman KELEBIHAN Ahmad Tohari adalah karena ia tidak memiliki hasrat berenang di dunia urban yang gemerlapan dengan lambang-lambang modernitas. Begitu membuka halaman-halaman pertama, pembaca -- yang mungkin orang kota akan bertabrakan dengan nama-nama seperti Karyamin? Sanwirya, Blokeng, Sitabawor, Kenthus, atau Sulam. Pembaca diajak bergaul dengan problem pedesaan di mana listrik jadi kebanggaan (dalam Rumah yang Terang), atau memasuki kesederhanaan alam pikiran pasangan tua yang "bocahnya sudah mengeluarkan bocah lagi" (Si Minem Beranak Bayi). Keistimewaan yang lain, Tohari, yang lebih dikenal sebagai novelis ini (di antaranya Ronggeng Dukuh Paruk) bisa memperlakukan cerpen sebagai dunia yang lain dari novel. Ia tidak memperlakukan cerpen sebagai sebuah novel yang diringkas, seperti yang sering terjadi pada sebagian penulis fiksi kita. Dengan kata lain, ia mampu membedakan karakterisasi novel dan cerpen, dan berhasil bergaul dengan keduanya. Dalam Blokeng yang bisa disusun jadi novel, ia berhasil memetik satu momen yang menarik -- ketika Blokeng melahirkan bayi tanpa ayah -- dari rangkaian peristiwa untuk menjadi nukleus cerpen tersebut. Namun, dalam dunia cerpen, dengan pilihannya pedesaan sebagai latar belakang, Tohari tak selalu bisa menghindarkan diri jadi eksotis. Meski ia sangat mengenal bau keringat Karyamin si tukang batu, atau tak asing dengan tapak jalan sempit yang dilalui Kasdu, tetap terasa ia telah berjarak dengan semua itu. Ia telah jadi begitu pintar hingga sebagian tokoh cerpennya, yang tak sempat duduk di fakultas kedokteran dan ekonomi seperti penulisnya, jadi ikut-ikutan berpintar-pintar. Dengarlah kalimat-kalimat yang digunakan sebagai penutup ini: "Musgepuk jadi tak berdaya justru setelah Cepon rubuh dan tak mau melawannya. Dia, Musgepuk, telah kehilangan motivasi. Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama. Di hadapan mata kerbau yang hanya bisa berkedip-kedip, Musgepuk kehilangan arti dan nilainya .... " Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini