Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal - mohamad cholid

Pengarang : bambang sokawati dewantara jakarta: pustaka sinar harapan, 1989 resensi oleh : mohamad cholid.

28 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KI HADJAR DEWANTARA, AYAHKU Oleh: Bambang Sokawati Dewantara Penerbit: Pustaha Sinar Harapan, Jakarta, 1989, 172 halaman SIAPAKAH Denmas Jemblung, yang lengkapnya Jemblung Jaya Trunagati? Ternyata, itulah julukan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hadjar Dewantara sewaktu masih balita. Julukan Jemblung diberikan oleh ayahnya sendiri, Kanjeng Pangeran Arya (K.P.A.) Suryaningrat. Ketika Suwardi lahir (2 Mei 1889 atau 2 Ramadan 1309 H), ayahnya memang bahagia karena, sesuai dengan harapannya, bayi itu lelaki. Tapi Suryaningrat, seorang pangeran keturunan K.G.P.A. Paku Alam III, juga merasa kecewa demi melihat bayi laki-lakinya itu lahir dengan kondisi fisik tidak ideal. Suwardi lahir dengan berat kurang dari tiga kilo, badannya kurus, perutnya buncit, lagi pula suaranya terlalu lembut. Pangeran Suryaningrat, yang memang gemar bergurau itu. Lantas memberi julukan Jemblung kepada bayinya. Namun, Kiai Soleman, sahabat Suryaningrat. keberatan. Kiai mengusulkan nama tambahan Trunagati, yang artinya sebagai pemuda (truna) ia akan menjadi penting (gati, dari kata wigati). Demikian satu penggalan dari buku Ki Hadjar Dwantara, Ayahku karya Bambang Sukowati Dewantara (Pustaka Sinar Harapan, 1989). Bambang, anak kelima Ki Hadjar, tentunya telah menyalahi wasiat ayahnya. Sebelum wafat (26 April 1959), Ki Hadjar berpesan agar dari pihak keluarga jangan ada yang membuat biograiinya. Tapi Bambang, yang seorang wartawan, dalam hal ini tidak salah. Ia justru berjasa. Sebab, buku biografi tentang tokoh sejarah pergerakan tetap akan selalu memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya. Kita bisa tahu bagaimana latal belakang dan pertimbangan-pertimbangan setiap tindakan tokoh tersebut. Salah satu di antara yang akan selalu relevan untuk setiap zaman adalah latar belakang tindakan Ki Hadjar ketika mengundurkan diri dari Parlemen RIS, 1954. Di luar dari sekadar pertimbangan politis, beliau mundur karena kesadaran bahwa satu-satunya jalan setelah di puncak adalah turun. "Dan bagi seorang manusia, perjalanan turun kadangkala sama beratnya dengan pendakian," tuturnya. Cerita-cerita intim -- banyak di antaranya yang penting -- memang mewarnai buku ini. Barangkali ada yang melihat, cara dan gaya penulisannya kurang menawan. Tapi, lepas dari kelemahan itu, bisa saja buku ini menjadi pancingan bagi penulis lainnya untuk menggali lebih dalam tentang Ki Hadjar. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus