GEGER fusi dingin meletup dan mengguncang dunia fisika nuklir enam bulan silam. Tapi heboh tentang klaim penemuan fusi dingin oleh dua orang ahli kimia, Prof. Stanley Pons dan Dr. Martin Fleischmann, itu cuma sempat merebak sejenak. Klaim penemuan besar itu segera terbanting sebulan kemudian, setelah para pakar fisika Amerika sepakat menolaknya. Para ahii fisika nuklir itu, dalam kongresnya di Kota Baltimore, secara keroyokan mengecam riset Pons dan Fleischmann. Penelitian kedua ahli kimia itu dikatakan ngawur, tidak ilmiah, dan tentu saja tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi diam-diam, ratusan atau bahkan ribuan peneliti kimia dan fisika kemudian membuntut riset kedua tokoh yang sempat dikecam habis itu. Hasilnya seperti dilaporkan oleh majalah The Economist tiga pekan lalu, sungguh mengherankan. Dari sejumlah tim periset, belasan di antaranya melaporkan temuan yang mendukung klaim Pons dan Fleischmann. Metode riset kedua ahli itu memang sederhana sehina ampan ditiru, bahkan oleh lab yang adadi sekolah menengah. Untuk melangsungkan reaksi fusi (penggabungan inti atom) itu mereka hanya bermodal sebuah cawan yang diisi dengan air berat. Air berat merupakan air yang terjadi dari persenyawaan antara deuterium dan oksigen. Ke dalam air berat itu, Pons dan Fleischmann menempatkan dua macam logam: platina dan palladium, yang difungsikan sebagai elektrode. Arus listrik searah, dari batere, dialirkan lewat kedua logam tadi, dan terjadilah fusi dingin. Kalau klaim itu benar terjadi, tamatlah riwayat teori lama, yang berumur lebih dari 50 tahun, yang mengatakan bahwa fusi hanya bisa terjadi di bawah suhu ratusan ribu atau bahkan jutaan derajat Celsius. Kedua ahli, yang melakukan riset di tempat terpisah itu, menyodorkan tiga macam bukti untuk mendukung sintesanya. Mereka mencatat terjadinya lonjakan panas pada cawan, munculnya pijaran neutron, dan menyingkap kehadiran unsur baru tritium dalam air berat itu. Secara teoretis, ketiga hal itu sah untuk ditampilkan sebagai indikator terjadinya reaksi inti. Kini datang dukungan dari, antara lain, tim riset Universitas A&M Texas, yang dipimpin Dr. John Bockris. Dari 12 cawan berelektrode (sebut saja sebagai sel) yang dicobakan selama tiga bulan, tim itu mendapatkan empat sel di antaranya menghasilkan lonjakan panas. Dan keseluruhn sel yang diamati ternyata bisa memproduksi tritium. Hasil serupa dilaporkan pula oleh tim pimpinan Dr. Kevin Wolf, yang kebetulan juga berasal dari Universitas A&M Texas. Lewat eksperimen yang sama, Dr. Stephen Jones, dari Universitas Brigham Young di Utah, juga menemukan tritium. Namun, berbeda dengan temuan dari Universitas A&M Texas, Dr. Jones mencatat kehadiran tritium bersama pijaran neutron, tapi tanpa efek panas. Hasil yang serupa temuan Jones dilaporkan pula oleh periset dari lembaga penelitian bergengsi Los Alamos National Laboratory di New Mexico. Sejumlah lab lain dilaporkan menemui efek panas pada sel model Pons dan Fleischmann, tapi tanpa tritium maupun pijaran neutron. Lab yang mencatat gejala panas itu antara lain dari Universitas Stanford, Minnesota, Tennessee, dan Institut Bhabha dari Bombay, India. Panas yang tercatat di lab-lab itu mencapai 10 - 50% lebih besar dibanding energi listrik yang masuk ke dalam sel. Para pakar fisika atom yang pernah melecehkan temuan Pons dan Fleischmann kini boleh tersipu-sipu. Betapa tidak. Dua orang pakar seniornya, Dr. Geln Schoessow dan Dr. John Wethington, keduanya dari Departemen Teknik Fisika Nuklir Universitas Florida, kini berpihak pada kedua ahli kimia itu. Dalam eksperimennya, Schoessow dan Wethington melaporkan menjumpai tritium, neutron, dan radiasi gamma. Kedua fisikawan itu mengakui adanya gejala fusi dingin. Secara teoretis, massa deuterium itu memang bisa menghasilkan tritium dan neutron. Tumbukan antar unsur deuterum, seperti halnya terjadi dalam dapur matahari, bisa menghasilkan tritium atau helium. Bergabungnya tiga deuterium bisa membentuk satu unsur tritium plus sebuah proton, atau sebuah helium plus satu neutron. Karena penggabungan itu berjalan secara acak, peluang terjadinya helium dan tritium itu sama besar. Maka, menurut teori yang diyakini saat ini, jumlah helium dan tritium yang diproduksi dalam perut matahari sama besar. Namun yang terjadi dalam sel fusi dingin itu jauh menyimpang dari teori itu. Laporan Dr. P.K. Iyengar dari Institut Bhabha Bombay, misalnya, menyebut produksi tritium 10 juta kali lebih banyak dibanding produk heliumnya. Diduga kehadiran palladium dalam sel tadi membuat reaksi acak tak terjadi. Tapi jumlah produk tritium itu tidak konsisten dari satu lab ke lab lain. Riset Dr. Pons sendiri menyebut bahwa jumlah tritium yang diproduksi "hanya" sekian ribu lebih banyak dari heliumnya. Namun, sejauh ini, tak ada yang menyebut bahwa produk tritiumnya lebih besar ketimbang helium. Meski banyak bukti baru mendukung temuan Pons dan Fleischmann, masih banyak ilmuwan yang kukuh meragukan kesahihan hasil eksperimen tadi. Dr. Nathan Lewis, dari Institut Teknologi California, adalah salah seorang di antaranya. Dia sama sekali tak percaya bahwa letupan panas dalam sel eksperimen itu merupakan buah dari reaksi fusi dingin. Sel yang memiliki dua kutub elektrode itu, menurut Lewis, sering menyerap energi listrik, yang mengalir ke dalamnya, selama waktu yang cukup panjang. Lantas energi yang terkumpul itu dilepasnya dalam bentuk panas secara cepat. Alhasil, timbul letupan panas, yang bisa cukup tinggi, di dalam sel. Jadi, menurut Lewis, cawan reaksi itu bukan sel fusi. Melainkan, "Semacam batere saja," ujarnya. Namun, kelompok yang anti maupun yang pro kepada Pons-Fleischmann tak bisa menjelaskan mengapa munculnya panas itu tak mengikuti pola pasti. Ada yang mencatat panas itu muncul setelah beberapa jam sel diaktifkan, tapi ada juga yang melaporkan bahwa efek panas itu hadir setelah berminggu-minggu sel tadi dioperasikan. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini