BISNIS INTERNASIONAL DALAM LINGKUNGAN YANG SEDANG BERUBAH Panglaykim, Prof. Dr. Penerbit Sinar Harapan, 1985, 200 halaman "DEWASA ini, bisnis internasional telah berkembang ke arah interdependensi. Masa-masa komersial, eksploatasi, konsesi dan nasionalisasi telah berlalu. Dan kelompok-kelompok pengambil keputusan cenderung makin banyak dan rumit, sehingga arena bisnis ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan disiplin ekonomi semata-mata," tulis Prof. Dr. Jusuf Panglaykim, salah seorang pengamat ekonomi terkemuka dari CSIS, pada kata pengantar buku ini. Kerumitan itu, menurut guru besar ekonomi Unair itu, telah mengakhiri masa keemasan sistem perdagangan bebas. Persaingan menjadi demikian ketat, sehingga negaranegara industri maju pun tidak dapat lagi menikmati tingkat pertumbuhan yang tinggi. Kini negara-negara di dunia hanya bisa menikmati tingkat pertumbuhan stagflasi. Untuk menembus hal tersebut, atau setidak-tidaknya bertahan di tengah kerumitan yang sampai sekarang masih tampak bagal lmgkaran setan itu, muncul tiga macam strategi: strategi pertumbuhan melalui industrialisasi ekspor, strategi pertumbuhan melalui permintaan dalam negeri, dan strategi pertumbuhan melalui perdagangan. Strategi penama dianut oleh negaranegara yang miskin sumber alam, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong (protektorat Inggris). Strategi kedua dianut oleh negara-negara industri yang kaya sumber alam, sepeni Amerika Serikat, Jerman Barat, dan Inggris. Sedangkan negara-negara yang sedang berkembang, seperti ASEAN (kecuali Singapura), memilih strategi ketiga. Jepang, yang dengan strateginya itu berhasil memperkukuh cengkeramannya di arena bisnis inEernasional, telah menimbulkan kekhawatiran serius negara-negara industri Barat - Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sehingga Fred Bergstein, seorang.pengamat ekonomi dunia terkemuka dari Amerika Serikat, meramalkan, "Hubungan Amerika Serikat dan Jepang akan memasuki era shock yang lebih kotor dan kasar." Padahal, porsi investasi Jepang di dunia hingga akhir tahun 1970-an baru 4,4%, sedangkan Amerika Serikat 49,1%. Bagaimana dengan negara-negara sedang berkembang? Negara-negara tersebut, tulis Panglaykim, masih akan terus dipaksa atau diarahkan dengan berbagai taktik agar tetap sekadar menjadi penyuplai bahan-bahan mentah. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini