TAHUN lalu orang berbondong-bondong menonton film Sunan Kalijaga. Film itu "meledak" dan, kabarnya, menghasilkan Rp 1 milyar. Jangan heran bila tahun ini ada tiga film tentang para sunan diproses dalam waktu bersamaan: Sembilan Wali, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar (SKSSJ), serta Sunan Gunung Jati. Gagasan memfilmkan cerita Wali Songo alias Sembilan Wali pada mulanya di cetuskan Sutradara Sjumandjaja. Entah apa yang terjadi, rencana besar Sjuman kandas di tengah jalan. Lalu produser muda Ram Soraya mengangkat gagasan itu ke layar perak dengan menghamburkan dana lebih dari Rp 600 juta. "Film-film bertemakan agama selalu sukses," ucap Ram seraya menyebut The Ten Commandments dan The Message. Tapi, menurut Ram, keberaniannya baru muncul setelah melihat sukses komersial Sunan Kalijaga. Keberanian Ram itu rupanya menular ke orang lain. Beberapa muka baru, tanpa banyak pikir, terjun memperkuat Sembilan Wali. Guruh Sukarnoputra tampil sebagai Sunan Muria, tokoh NU Kiai Jusuf Hasjim memerankan Sunan Gresik, dan Penyanyi Alfian sebagai Sunan Gunung Jati. Pada produksi lain, juga tampil pendatang baru. Bekas direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pusat Abdul Rahman Saleh, S.H. dipercayai Sutradara Bay Isbahi memerankan Sunan Gunung Jati dalam film berjudul serupa. Para tokoh terkenal itu Guruh, Kiai Jusuf Hasjim Abdul Rahman yang membina karier di luar film, tentulah punya alasan kuat untuk beraksi di depan mereka. Abdul Rahman, yang pernah berperan kecil dalam beberapa film (terakhir dalam film Kabut Sutra Ungu), misalnya, dengan film ini berdalih ingin mencari variasi lain dari kerja pengacara, yang acap kali membikinnya pusing. Lagi pula, Bay Isbahi berpendapat, Abdul Rahman cocok memerankan Sunan Gunung Jati yang raut mukanya konon bersegi-segi Arab. Sembilan Wali, film yang pada garis besarnya berkisah tentang penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, ternyata membawa pesan istimewa. Drs. H. Masbuchin, penasihat bidang agama untuk film ini, mengutamakan persatuan para wali (ulama) dengan penyelenggara pemerintah (umaroh) sebagai sebuah benang merah yang merangkum kisah besar itu. "Saya ingin menonjolkan masalah persatuan," tutur Masbuchin, "mengingat relevansinya untuk masa kini dan masa datang." Tapi, ia tidak merincinya lebih jauh. Bagi Masbuchin, sebuah film dakwah adalah bagian dari cita-citanya. "Saya yakin, sebuah tontonan bisa dijadikan tuntutan yang kemudian akan melahirkan tatanan seperti yang dicita-citakan Islam," katanya menjelaskan. Cita-cita Masbuchin, yang sehari-hari bertugas sebagai pengawas pada Departemen Agama, kebetulan ditopang kuat oleh PT Soraya Intercine Films. Melibatkan 500 figuran, film Sembilan Wali sudah menghabiskan 150 dari 170 can yang disediakan, dengan banyak pemotretan di alam terbuka - sebagian besar di Wonogiri, lainnya di Bantul dan Godean, dekat Yogya. Sutradara Djun Saptohadi tampaknya lebih leluasa memanfaatkan bahan baku karena, seperti yang bisa dilihat, untuk satu adegan saja Aktor El Manik, yang berperan sebagai Mahisa Kicak, sampai mengalami retake enam kali. Djun, yang mendengar kisah Wali Songo dari mulut ke mulut - lewat ketoprak misalnya - mengakui keterbatasan pengetahuannya, bahkan mengenai hal-hal paling elementer dalam ibadat Islam. Karena itu, film ini merupakan tantangan baginya, walaupun ia tidak berambisi besar. Dengan menuangkan garis besar cerita yang disusun Masbuchin, Djun berusaha agar Sembilan Wali, "Bisa melibatkan emosi penonton terhadap masalah-masalah yang disodorkannya." Dan masalah itu, menurut Djun, adalah "mengakarnya agama Islam dalam kebudayaan Jawa". Dalam aspek yang satu ini, kata Djun, terlihat perbedaan menonjol antara Sembilan Wali dan SKSSJ arahan Sutradara Sofjan Sarna. Menurut Sofjan, filmnya memang bukan film dakwah seperti yang dicita-citakan Djun dan Masbuchin. Sukses dengan Sunan Kalijaga (1984), ia kemudian diserahi oleh PT Tobali Indah dan PT Empat Gajah Film untuk menampilkan kembali tokoh yang dikaguminya - Sunan Kalijaga - yang kali ini dipertentangkan dengan Syekh Siti Jenar, "pemberontak" yang sangat kontroversial itu. Mengapa memilih tema yang begitu berat untuk sebuah film yang ditujukan bagi rakyat banyak? Lagi pula, Sofjan mengaku tidak ingin berdakwah, sementara konflik tasawuf ala Siti Jenar erat kaitannya dengan dakwah. Sofian bertolak dari tokoh Sunan Kalijaga, perlambang ulama yang dekat dengan rakyat (sunan Ini mengenakan ikat kepala sederhana wulung, bukan serban sebagaimana para wali lainnya), dan menghadapkannya dengan Siti Jenar, seorang wali yang lebih dekat pada tasawuf. "Ia merupakan simbol pertentangan yang tidak habis-habisnya " kata Sofian tentan Siti Jenar. Tapi dalam SKSSJ simbol itu tidak digali, mungkin karena terlalu rumit, bisa jadi karena ia sengaja dibiarkan berhenti sebagai simbol. Karena itu, konflik yang legendaris tersebut tidak menawarkan kata putus. Maksudnya, dalam film ini Siti Jenar tidak terlihat mati ditusuk (versi Cirebon) atau dihukum pancung (versi Demak). Singkatnya, Sofjan mengembalikan penilaian pada penonton. Dengan masa putar 1 3/4 jam, SKSSJ menghabiskan 100 can film dan biaya Rp 500 juta, termasuk biaya riset Rp 20 juta dan ongkos trick-animasi penggambaran dunia yang kiamat. Action dalam film ini tentu saja di pentingkan, begitu pula agaknya dalam dua film lain, Sembilan Wali dan Sunan Gunung Jati. Penggunaan trick-optic dalam upaya menggambarkan kesaktian seseorang, misalnya, ikut menghidupkan action yang konon bergelimang dakwah. Soalnya di sini, bukan Anda percaya atau tidak percaya, tapi adakah ajaran agama terkesan lebih penting daripada cara-cara penyebarannya. Apakah isi tidak tenggelam karena kulitnya? Isma Sawitri Laporan E.H. Kartanegara (Yogya) dan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini