PERCAYAKAH Anda bahwa membuat satu kalimat sudah setara dengan menyusun satu karangan? Pendapat yang aneh itu benar-benar diterapkan oleh seorang guru di sebuah SMA Negeri di Bandung. Jadinya, di sekolah itu tak pernah ada pelajaran mengarang, cukup dengan latihan membuat kalimat Sekolah itulah, beserta tujuh sekolah lain di wilayah Kabupaten Bandung, dijadikan sampel penelitian IKIP Bandung November 1985 hingga Februari yang lalu. Lain dengan penelitian pengajaran Bahasa Indonesia yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak, kali ini bukan kemampuan siswa yang ditekankan, tapi gurunya. Dan dua pekan lalu, Suardi Sapani, dosen di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP tersebut, ketua penelitian, mengungkapkan hasilnya. Angket yang disebarkan kepada 240 siswa kelas I sampai III, dan kepada 24 guru Bahasa Indonesia di 8 SMA tersebut, oleh Suardi dan timnya kemudian didiskusikan. Diketahuilah, para guru umumnya memang lebih menekankan pada pengajaran pengetahuan bahasa. Sebabnya, menurut Suardi, bapak dan ibu guru itu sendiri sebenarnya tak paham benar antara keterampilan berbahasa dan pengetahuan bahasa. Itu terlihat dari hasil angket untuk nomor pertanyaan: Keterampilan berbahasa Indonesia, sebagai pelajaran di SMA, meliputi apa saja? Sebagian besar responden (guru) atau 67% memberikan jawaban kabur. Mereka menyebut keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Lalu bagaimana keterampilan tersebut dilatihkan kepada siswa, "sama sekali tak diterangkan," tutur Suardi, 47, alumnus Jurusan Bahasa dan Seni IKIP Bandung, 1965. Hanya sekitar 16% yang memberikan jawaban pertanyaan tersebut dengan agak lengkap. Yakni menjelaskan keterampilan yang perlu dilatihkan terhadap siswa. "Umpamanya," kata Suardi, anak pedagang yang sejak muda berniat jadi guru ini, "keterampilan berbicara dilatih dengan pelajaran berpidato, diskusi, bercerita." Tapi, repotnya, ternyata sebagian besar dari 24 guru itu pun jarang atau tidak pernah memberikan pelajaran keterampilan tersebut. Mengarang, apalagi membaca dan berbicara, tutur Suardi, boleh dikata terlupakan sama sekali oleh para guru itu. Padahal, ke-24 responden terdiri dari lulusan program diploma-3 (setaraf sarjana muda), sarjana muda, dan sarjana Jurusan Bahasa Indonesia. Dan mereka pun bukan guru baru - sudah berpengalaman sebagai guru Bahasa Indonesia antara 4 dan 30 tahun. Di samping itu, angket pun mengungkapkan betapa responden tak kreatif. Metode serta teknik mengajar, "Ya cuma begitu-begitu saja," tutur Suardi pula. Maksudnya, bila tidak memberikan pelajaran secara berceramah, ya guru menulis di papan tulis, sementara siswa diminta menyalin ke buku catatan. Itu, agaknya, yang menyebabkan sebagian besar dari 240 responden siswa menyatakan pelajaran Bahasa Indonesia tidak menarik. "Kebanyakan teman-teman meremehkan pelajaran Bahasa Indonesia," kata Asep Dedi Sunjana, 17, siswa kelas I SMAN V, Bandung. Ia sendiri termasuk lebih sering bosan daripada antusias mengikuti pelajaran tersebut. Sebabnya, "Guru lebih sering mengajarkan tata bahasa. Dan tata bahasa itu mirip matematika, berbelit-belit, tidak menarik." Padahal, Asep mengaku suka membaca sastra. Ia bertanya-tanya, "mengapa pelajaran sastra dan mengarang dan membaca hanya sedikit diberikan." Benar. Dari angket untuk responden siswa diperoleh hasil, 67% menghendaki pelajaran sastra, mengarang, berpidato, dan diskusi diperbanyak. Sebab, itu yang menarik mereka. Lalu tentang cara guru mengajar, sekitar 50% responden manyatakan guru mereka membosankan, kurang memberi contoh hingga uraian kurang bisa dipahami. Tentang materi pelajaran, hampir 17% siswa menjawab, membosankan karena sama dengan yang mereka peroleh sewaktu masih di SMP. Bila angket ini lebih ditujukan untuk memantau kemampuan guru, memang pihak IKIP Bandung berniat memperbaiki perkuliahan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni. "Tampaknya kami perlu meningkatkan mata-mata kuliah membaca, mengarang. dan strategi belajar-mengajar," kata Suardi, bapak empat anak, kepada Aji Abdul Gofar dari TEMPO. Tampaknya angket ini klop dengan ceramah Yus Badudu di TVRI Selasa malam pekan lalu. Yus, ahli bahasa dan Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung, mengkritik, perkuliahan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi membosankan. Yang menarik, malam itu ia membacakan cuplikan beberapa skripsi, yang mencerminkan kemampuan berbahasa calon sarjana kita ternyata tidak menggembirakan. Herannya lagi, skripsi-skripsi itu dinyatakan lulus. Dan bayangkanlah penulis skripsi itu kemudian jadi guru SMA. Rasanya angket Suardi tak jauh mencerminkan kenyataan. Suardi mengakui angket ini belum matang benar. "Diperlukan penelitian sesering mungkin, bilamana kurikulum di jurusan kami hendak dimantapkan benar," katanya. Ia pun mengakui, mungkin saja tidak tepat kesimpulan tim IKIP tentang para guru Bahasa Indonesia yang rancu pengetahuannya. Terbatasnya waktu mengakibatkan rencana wawancara ditiadakan untuk angket kali ini. Mungkin saja, setelah diwawancarai di antara 67% responden guru ada yang tak rancu pemahamannya tentang keterampilan berbahasa. Namun, bahwa mereka memang kurang memberikan pelajaran tersebut bisa dipantau dari hasil angket siswa. Setelah 58 tahun mengumandangkan "Kami memiliki bahasa persatuan, bahasa Indonesia," tampaknya pengakuan itu belum ditunjang dengan pengajaran yang baik benar. Surasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini