LINTANG KEMUKUS DINI HARI Oleh: Ahmad Tohari Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1985, 211 halaman BILA lintang kemukus berpijar di angkasa, berarti masa itu genting. Begitu para orang tua menafsirkan isyarat alam. Gejolak 1965 - saat komet menampakkan diri - memang enak dipakai sebagai latar belakang cerita. Bahkan keruwetan suasana masa itu sudah merupakan cerita. Seperti ditulis Umar Kayam, misalnya, dalam Bawuk. Tapi Ahmad Tohari punya tokoh sendiri, Srintil, untuk tidak mengangkat masalah yang timbul karena gejolak itu, dan justru memanfaatkannya dalam mempermanis karangannya. Ia sadar bahwa Srintil tak hanya menarik bagi masyarakat Dukuh Paruk, atau Dawuhan saja. Tapi juga pembaca. Karenanya, kisah ronggeng dan Rasus ini tak dihentikannya sampai buku Ronggeng Dukuh Paruk yang mungkin Anda sudah membacanya atau melihat filmnya - berakhir. Tapi disambung dengan buku ini dan Jantera Bianglala yang sudah dimuat bersambung di harian Kompas. Pergeseran cerita ke serial kedua ini sebenarnya juga terjadi. Dalam buku pertama, kegundahan hati Rasus mencari bayang-bayang emaknya - dan menemukannya dalam figur Srintil yang kebetulan sebagai ronggeng milik banyak orang - tergambar jelas. Sedang dalam buku ini, pengarang, entah disengaja atau tidak, meletakkan Srintil sebagai peran utama. Bukan lagi Rasus. Mungkin karena kekenesan dan wibawa ronggeng itu memikat, sehingga perubahan alur hampir tidak terasa. Atau memang Tohari sadar untuk memanfaatkan daya tarik ronggengnya. Bagaimanapun ada nilai khusus yang bisa diberikan pada Tohari, pada masa sastra tak tumbuh subur sekarang ini. Ia mampu menuliskan suasana hati - dalam buku ini bayang-bayang Rasus dalam diri Srintil. Ia juga berhasil menggambarkan suasana hijau desa (yang kini makin mendekati dongeng), yang mengusik nostalgia kaum urbanis. Memang, pada peluklsan alam pedesaan itulah kekuatan karya-karya Tohari. Ia memiliki kesadaran dan wawasan alam, terlihat sejak novelnya yang pertama, Di Kaki Bukit Cibalak, 1977. Ahmad Tohari, yang lewat novelnya Kubah memenangkan karya fiksi terbaik Yayasan Buku Utama, 1980, tampaknya sampai kini tetap betah di desa, seperti Rasus dan Srintil itu. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini