Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Trilogi Eko, Macbeth, dan Nan Jombang

Pentas seni tari dan musik untuk Europalia berlangsung sampai awal Januari. Dilanjutkan dengan film-film pada akhir Januari.

31 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH remaja laki-laki para penari Cry Jailolo karya Eko Supriyanto tidak terjebak rasa kebosanan? Mereka sejak pertama kali tampil di Indonesia Dance Festival pada November 2014 tak henti-hentinya melanglang ke kota-kota di Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, Australia, bahkan Palestina.

Juga para remaja putri Halmahera Barat yang mementaskan Balabala. Meski baru premier pada 18 Februari tahun ini di Yokohoma, Jepang, sejak saat itu mereka mengikuti jejak kakak-kakak pria mereka terus-menerus memenuhi undangan luar negeri.

Dalam acara Europalia ini, Cry Jailolo dan Balabala paling sering dipentaskan dibanding karya kelompok lain. Ditambah Salt, bagian akhir trilogi Jailolo yang ditarikan Eko sendiri. "Masing-masing lima kali pentas," kata Eko. Dan itu jadwalnya tidak selalu di satu kota. Malam itu, 1 Desember, misalnya, Cry Jailolo dimainkan di gedung Vooruit, Kota Ghent. Paginya, mereka harus bersiap-siap menuju Kota Amiens, Prancis, karena pada 4 Desember mereka berpentas di Gedung Safran, Amiens.

Adapun Eko esok harinya bersiap-siap menuju Munster, Jerman, untuk mementaskan Salt pada 3 Desember di Pumpenhaus Munster. Jadi esoknya mereka berpisah. Sebelumnya, pada 25 November, Cry Jailolo sudah dimainkan di Munster. "Kami bertemu dengan Ludger, pemilik Pumpenhaus Munster di Yokohama. Pumpenhaus adalah kawasan pompa air yang disulap menjadi tempat pertunjukan sangat menarik," kata Eko.

Sementara Eko dan penari Cry Jailolo menyebar, rombongan Balabala, yang masih di Jakarta, bersiap terbang ke Belgia. Begitu padatnya jadwal "trilogi" Eko. Balabala juga tampil di Pumpenhaus Munster pada 16 Desember. "Kami bolak-balik Munster," kata Eko. Tentunya ini sedari awal dibutuhkan manajemen koordinasi yang matang.

Kunstencentrum Vooruit adalah tempat bersejarah bagi warga Ghent. Gedung yang didirikan pada 1911-1914 itu terkenal sebagai pusat gerakan buruh. Kata "vooruit" kira-kira berarti "bergerak", "maju". Desain gedung pertunjukannya penuh ornamen klasik. Tempat duduknya meninggi ke atas. Kapasitasnya bisa seribu lebih. Malam itu, penonton memadati pentas Cry Jailolo. Beberapa dari mereka bertahan setelah pementasan. Mereka terkesima saat diberi tahu bahwa gerakan kaki dan tangan para penari dikembangkan dari tari perang Cakalele.

Namun yang sudah beberapa kali menonton pertunjukan Cry Jailolo semenjak di Indonesia mungkin biasa saja. Dari atas balkon lantai tiga Vooruit bahkan bisa terlihat formasi-formasi para penari kurang ketat. Eko menyusun koreografi Cry Jailolo bertolak dari ide gerak berkelompok ikan-ikan di dasar laut. Pola itu yang tampak kurang rapi dijalankan para penari. Kurang simetris.

KEMUNGKINAN intensitas para penari Cry Jailolo makin lama makin kendur bisa saja terjadi. Energi dan disiplin anak-anak yang tidak sama seperti pada kemunculan awal karena menganggap pertunjukan senantiasa sukses sehingga mereka hanya melakoninya sebagai rutinitas belaka agaknya juga mulai diwaspadai Eko. Ia sadar, tapi juga tak mau kehilangan momentum emas bahwa karyanya disambut di mana-mana di Eropa. "Sampai 2019, jadwal di Eropa sudah ada," kata Eko.

Maka Eko memiliki strategi. "Saya mempersiapkan generasi kedua penari Cry Jailolo dan Balabala. Sekarang tengah berlatih di Jailolo," tuturnya. Menurut Eko, untuk pertunjukan 2018 dan 2019, materi penari akan berubah semua. Dua dari penari Balabala sekarang sudah mulai diganti. "Ini agar banyak remaja Jailolo mendapat kesempatan."

Pengalaman panjang Eko menjadi sebuah pengalaman berharga. Pada awal latihan di Jailolo, anak-anak itu belum pernah sekali pun ke Jakarta. "Pengalaman cross-cultural itulah yang penting," kata Sal Murgiyanto, kurator tari Europalia. Pengalaman Eko membawa anak-anak Jailolo berkeliling Eropa mengingatkan pada pengalaman Sardono W. Kusumo saat ia membawa warga Desa Teges, Bali, menampilkan Dongeng dari Dirah di Paris dengan judul La Sorciere de Dirah pada 26 Februari-24 Maret 1974.

Dokumentasi latihan awal Dongeng dari Dirah di Teges itu dapat kita lihat dalam film dokumenternya, I Dance with Camera on My Finger yang diputar di Bozar, Brussels, Belgia. "Mulanya Sardono mendapat commissioned art dari Umar Kayam, Ketua Dewan Kesenian Jakarta," kata Sal Murgiyanto. Dalam film I Dance With My Camera terlihat bagaimana Sardono mengajak warga Teges menafsirkan kecak secara bebas. Mereka mengajak anak-anak kecil Teges, yaitu Ateng, Ketut Rina, dan Badung, ikut berlatih. Anak-anak itu telanjang bulat. Saat perang-perangan, mereka dibopong seolah-olah jenazah.

Eksperimen itu kemudian bisa tampil di Paris. "Selama sebulan berpentas di Chaillot Theatre National Paris, luar biasa untuk ukuran saat itu," ujar Sal. Ia ingat ketika ditugasi khusus oleh Sardono untuk mengawasi Badung-yang memang bandel dan susah diatur. Sardono ingat pada akhir Maret 1974 itu ia didatangi seorang perempuan baron, seorang produser Prancis. Ia menawarkan kerja sama dan ingin membawa berkeliling ke mana saja pertunjukan Dongeng dari Dirah, asalkan Sardono ikut dalam manajemennya. "Waktu itu saya masih ingin bertualang bebas. Masih ingin berkelana ke Aceh, Kalimantan, Papua, dan lain-lain. Saya berpikir akan terjebak rutinitas kalau saya ikut dia. Saya mungkin akan tak bahagia. Kesempatan itu saya tolak."

Selain di Teges, film memperlihatkan saat Sardono di Nias bereksperimen dengan anak-anak. Ia mengenakan topeng orang tua dan berjalan merunduk serta membawa tongkat. Puluhan anak sambil tertawa-tawa mengekor ke mana saja ia pergi. "Saat itu, di mana-mana ruang begitu luas. Saya bermain-main ruang di Teges dan Nias. Anak-anak bisa berlari sepuasnya. Tidak seperti sekarang," kata Sardono. Ia sendiri berniat menambahi teks di filmya yang merefleksikan soal kecerdasan tubuh anak-anak itu. Film tersebut adalah dokumentasi Sardono melalui kamera 8 milimeter yang pernah ditampilkan di Singapore Art Festival 2016 dalam bentuk multichannel video dan kemudian dipadatkan oleh Faozan Rizal dalam materi layar lebar.

KARYA Melati Suryodarmo, Tomorrow as Purposed, yang tampil di gedung Koninklijke Vlaamse Schouwburg (KVS) Brussels atau The Brussels City Theatre berbeda dengan saat ditampilkan di Jakarta. Karya ini pertama kali tampil sebagai pembuka Indonesia Dance Festival (IDF) 2016. Kala itu menggunakan paduan suara dari Solo, Jawa Tengah.

Ia merombak dengan meniadakan paduan suara dan menggantinya dengan para musikus Makassar. Dibanding versi pertama, karya ini lebih ramping. Karya ini bertitik tolak dari sari pati kisah Macbeth. Mulanya ada kekhawatiran apakah penonton bisa menangkap kisah yang telah mendarah daging di Eropa ini. Sebab, tanda-tanda pementasan Macbeth minim, kecuali properti kursi lambang kekuasaan. Tatkala memakai paduan suara, setidaknya itu masih mengasosiasikan kor dalam tragedi Yunani.

Tapi ternyata penonton mampu menangkap. Tatkala Jarot B. Darsono mengucapkan teks pengkhianatan, adegan menggigit sepatu oleh para penari perempuan dan kostum-kostum yang mengeluarkan paku memetaforakan adanya pembunuhan. Bagian akhir, ketika para penari membawa pot dan memecahkannya bersama-sama di tangan, menjadi klimaks yang berhasil.

EMPAT solo tari, Mugiyono Kasido, Moh. "Ghulur" Hariyanto, I Gede Radiana Putra, dan Kurniadi Ilham (koreografer Sherli Novalinda), memberikan kehangatan buat penonton di Studio Bozar pada 9 Desember. Terutama penampilan Mugiyono, yang membuat cekikikan. Ia menyuguhkan karya lamanya, Kabar Kabur, yang menekankan humor. Humor muncul dari keterampilan tubuhnya. Kepala, kaki, dan tangannya dengan cara membolak-balikkan kaus bisa muncul "di mana saja" dengan tak terduga.

Akan halnya Hari Ghulur menebar gulungan seng di pentas. Tubuhnya dalam posisi rendah mengempaskan diri terus-menerus di seng. Saat tari ini dipentaskan di Teater Salihara, Jakarta, kegaduhan bunyi nyaring seng menjadi atraksi utama. Di sini, suara yang muncul adalah bleg-bleg. "Ketebalan seng di sini 0,5 sentimeter, sementara di Indonesia 0,2 sentimeter, makanya bunyi tak nyaring," kata Ghulur.

Malam itu, Nan Jombang, dengan koreografi Ery Mefri, di Bozar menyuguhkan suasana sublim lewat karya Rantau Berbisik. Karya ini terakhir kali dimainkan di Graha Bhakti Budaya, Jakarta. Waktu itu terasa lambat dan bertele-tele. Tapi, ketika karya itu dipentaskan di Bozar, tata cahaya prima dan akustik yang peka menjadikan unsur ratapan dan bunyi-bunyian yang dimainkan penari, seperti ketukan meja, piring, dan gelas, muncul.

Tidak sebagaimana koreografi Minang, yang banyak mengandalkan gerak silat yang cepat, koreografi Eri mula-mula menonjolkan gerak lambat. Cara jungkir balik di meja juga mirip slow motion. Baru di bagian akhir muncul gerak-gerak tangkas. Proporsi antara gerak lambat dan cepat yang seimbang adalah kunci. Percintaan di atas meja, saat di Jakarta, menjadi bagian paling membosankan. Namun, di Bozar, adegan ini justru menjadi puncak yang membuat pertunjukan terasa pedih tapi romantis.

Malam itu, Rantau Berbisik mampu memikat penonton. Tepuk tangan serta teriakan "bravo, bravo" bergemuruh. Esok malamnya, di tempat yang sama, digelar pertunjukan I Wayan Gede Yudana serta Gamelan Wrdhi Swaram, Mataniari Toba Batak Music Ensemble, dan Saluang Dendang. Detik-detik terakhir Europalia di Brussels, akhir Januari 2018, akan diisi pemutaran film Indonesia.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus