Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sang Petarung Bernama Sri Asih

Film superhero Sri Asih menghiasi layar lebar Indonesia. Diangkat dari komik klasik R.A. Kosasih.

27 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA bernama Sri Asih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di mata penciptanya, “Bapak Komik Indonesia” Raden Ahmad (RA) Kosasih, Sri Asih adalah seorang “wonder womanIndonesia bernama asli Nani Wijaya yang mengenakan kebaya seperti kostum wayang orang dan dengan sigap bisa terbang seperti Superman. Dari Jakarta ke Surabaya, lantas terbang ke Makau atau Singapura, tak jadi masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahdan, Sri Asih versi layar lebar adalah generasi baru, titisan baru. Dia bernama Alana. Sejak kecil di rumah yatim-piatu, Alana (Keinaya Messi Gusti) dikenal sebagai pembela anak-anak yang dirundung oleh begajul di zamannya, terutama si kutu buku Tangguh yang selalu menjadi bulan-bulanan. Alana yang demikian menonjol lantas diangkat sebagai putri perempuan kaya raya Sarita Hamzah (Jenny Zhang).

Alana kecil pun diajak ke sasana dan dilatih menjadi petarung perkasa. Pada saat itu, seorang putra tunggal manja konglomerat bernama Mateo Adinegara (Randy Pangalila) yang dikenal sebagai “juara tarung” merasa tertantang atas kehadiran Alana. Dia penasaran ingin mencicipi pengalaman berkelahi melawan cewek jagoan yang terkemuka ini.

Dari titik inilah Alana berkenalan dengan sebuah jagat yang memberitahukan identitas dirinya, identitas lawannya, dan “nasib” yang sudah digariskan alam untuknya. Tak sekadar membela kawan-kawannya yang sering dirundung seperti Tangguh, Alana harus menjelma menjadi Sri Asih yang—seperti namanya—menggunakan kebaikan dan welas asih sebagai kesaktian.

Pevita Pearce di film Sri Asih. Bumilangit Cinematic Universe

Film Sri Asih tak hanya menceritakan asal-muasal Alana menjadi superhero perempuan (pertama). Melalui Eyang Mariani (Christine Hakim, yang penampilannya tak pernah mengecewakan), penonton juga mendapatkan semacam peta besar dari seluruh jagat ini, bukan sekadar sejarah Dewi Asih—dewi kebaikan—yang menitis hanya kepada mereka yang terpilih, termasuk Nani Wijaya dan kini Alana, tapi juga sejarah kaum durjana seperti Roh Setan yang dipimpin Dewi Api (Dian Sastrowardoyo).

Sementara generasi yang lahir dan tumbuh pada 1970-an dan 1980-an hanya mengenal Sri Asih (juga Siti Gahara) dari tangan R.A. Kosasih yang musuhnya berganti-ganti—yang merupakan kriminal kecil-kecilan—kini Sri Asih akan melawan sebuah kekuatan yang luar biasa besar dan megah. Duo penulis skenario, Upi dan Joko Anwar, sama-sama mengikuti sebuah rancangan outline besar jagat ini yang dirancang sejak Joko Anwar menyutradarai film Gundala (2019).  Begitu bersentuhan dengan jagat Gundala beberapa tahun lalu, kita sekelebat diperkenalkan kepada tokoh Sri Asih.

Waktu dua jam untuk menyaksikan film ini nyaris tak terasa karena Upi memperlakukan setiap adegan dengan rapi dan efektif. Ada plot besar dengan twist besar, ada beberapa subplot yang dijalin dengan teliti, sehingga penonton tak perlu bertanya-tanya tentang identitas tokoh pendukung yang memang banyak sekali.

Pevita Pearce (kiri) yang berperan sebagai Alana, titisan Sri Asih, di film Sri Asih. Bumilangit Cinematic Universe

Yang sangat layak dipuji adalah adegan laga yang lengkap dengan computer-generated imagery (CGI) yang tidak terasa “kasar”. Jahitan adegan-adegan CGI menyatu dengan pas sehingga, saat tokoh Roh Setan meloncat, menghilang atau menjelma, hal itu bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal di jagat fantasi ini. Menurut Upi, adegan bersih ini bisa terwujud karena sejak awal perencanaan artis CGI dilibatkan (dalam produksi film umumnya artis CGI baru dilibatkan pada saat terakhir). Akibatnya, “Kami harus memilih dan menyisir 1.000 footage CGI yang kami shoot,” kata Upi. Tapi dia mengaku puas akan hasilnya.

Aktris Pevita Pearce sebagai Sri Asih adalah gejolak magma yang siap meledak. Dia tak hanya menjelma menjadi Sri Asih, seorang superhero berotot dan pemarah. Kemampuan seni perannya pun diuji karena Upi menekankan kisah “musuh terbesarmu adalah kemarahanmu”. Tema besar Sri Asih adalah kemampuan melawan kejahatan dengan kebaikan. Hal ini ditunjukkan berkali-kali melalui dialog ataupun ritual yang lirik dan koreografinya diciptakan oleh penata tari Yuyun: “Kesaktianku adalah kebaikan/Duniaku kedamaian/Jiwa-ragaku cinta kasih/Samudraku kebaikan.”

Adegan ini, menurut saya, istimewa tak hanya karena Upi menggunakan elemen mitologi Jawa—dan mencoba menghindari kemegahan teknologi seperti dalam film-film franchise Marvel—tapi juga lantaran lirik sinden itulah yang menjadi jantung pergerakan film. Sejahat apa pun, sebrutal dan seganas apa pun Dewi Api atau Roh Setan, para titisan Dewi Asih akan melawannya dengan kebaikan. Dan perlawanan terbesar Sri Asih justru terhadap dirinya sendiri, menumpas kecenderungan amarahnya yang membeludak.

Surya Saputra (kanan) dan Reza Rahadian (kedua kanan) di film Sri Asih. Bumilangit Cinematic Universe

Warna-warni dan kostum superhero ataupun para penjahat juga perlu diperhatikan karena detail yang menarik. Kostum Sri Asih adalah buatan perusahaan Monster Inc yang biasa membuat kostum superhero Amerika Serikat. Tapi, meski terpengaruh superhero Barat, kostum ini mencoba mempertahankan kemben, selendang, dan sumping. Adapun kostum Roh Setan dan Dewi Api adalah ciptaan desainer Indonesia, Wiki Wu, sedangkan Priyo Oktaviano dipercayai untuk mendesain kostum salah satu karakter penting.


Sri Asih

Sutradara: Upi
Skenario: Upi dan Joko Anwar
Berdasarkan Komik R.A. Kosasih
Pemain: Pevita Pearce, Reza Rahadian, Christine Hakim, Jefri Nichol, Surya Saputra, Revaldo
Produksi: Screenplay Bumilangit


Yang tak boleh luput diamati adalah penampilan aktor seperti Christine Hakim dan Reza Rahadian yang tanpa banyak dialog pun akan meringkus perhatian. Aktor Revaldo sebagai Jagau—tangan kanan sang konglomerat—yang dua tahun terakhir menjelajahi kemampuan seni perannya juga perlu diperhatikan.

Film Sri Asih, bersama Gundala, pendahulunya, memperlihatkan para sineas Indonesia mampu berkisah dengan baik melalui sinema dengan keterbatasan anggaran (yang jika dibandingkan dengan anggaran film buatan Marvel, Joko Anwar bergurau: “Bujet kita mungkin mirip sama bujet katering mereka.”). Sebagai sutradara, terasa betul Upi mempelajari film Gundala dengan cermat agar Sri Asih bisa menerima tongkat estafet dari pendahulunya dan berlari lebih kencang dan melesat. Dan dia berhasil.

Revaldo di film Sri Asih. Bumilangit Cinematic Universe

Jagat Bumilangit adalah sebuah cerita seperti maraton panjang. Dan harus diingat, kita tak bisa membandingkan keriuhan fandom film-film Marvel dan DC yang sudah ditanam dan tumbuh subur puluhan tahun lamanya. Joko Anwar dan para produser Bumilangit lain sebetulnya baru meletakkan bibit (fandom) untuk komik dan film pada saat merancang film Gundala karena kegilaan dan keriuhan pembaca komik Indonesia belum sefanatik fandom Amerika dan dunia.

Yang bisa kita lakukan adalah membaca dan menyaksikan karya-karya ini serta menghargainya agar jagat itu bisa hidup dan bergelora.


Bumilangit Cinematic Universe

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus