Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI balik gelap panggung teater terdengar suara-suara teriakan yang bersahutan: “Gelap... terang... gelap... terang!” Lampu sorot menyala dan menampakkan empat orang di atas panggung. Dua pria yang masing-masing berpakaian kemeja putih dan celana jins pendek serta memakai sepatu bot itu bergantian beretorika. Mereka berdua bertutur dengan gaya bicara yang dramatis. Mereka adalah Roy Julian dan Mamexandria dari Teater Kantor.
“Kita adalah kombinasi atau mengartikan kesalahan dan kebenaran yang diaduk-aduk dalam adonan kegelapan,” ujar Mame yang berbicara di bibir panggung.
Roy yang sejak tadi berdiri di belakang perlahan maju seraya berujar, “Sombong! Apa yang mau disombongi? Surga dan neraka tempat yang sama dengan dua nama yang berbeda. Ia ada di dalam diri.” Keduanya berbicara sahut-menyahut. Sementara mereka bersahutan, penampil lain, Atenk, sibuk menciptakan bebunyian dari benda-benda yang tak lazim. Ia duduk bersila di atas panggung kecil berlapis kain hitam. Di depannya terdapat gendang, singing bowl, dan botol galon air.
Di tengah panggung Roy dan Mame memainkan tangga panggung berlapis aluminium foil. Sesekali mereka bermain dengan tangga itu, menaikinya atau masuk ke celah di antara anak tangga. Di sisi kiri panggung berdiri seorang perempuan dengan kostum setelan hitam dan sarung tangan putih. Ia adalah Marina Novianti, seorang juru bicara isyarat, yang menerjemahkan setiap perkataan para penampil.
Tuntas sudah tiga episode Trilogi Chaos Kaki suguhan Teater Kantor. Teater ini menghelat tiga pertunjukan tiga hari berturut-turut di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, pada 21-23 November lalu. Mereka menyajikan tiga seri pertunjukan yang proses penciptaannya berbasis pengalaman tubuh aktor secara organis dalam relasinya dengan segala kekacauan dari dalam dan luar tubuh. Trilogi ini adalah karya panjang yang dipentaskan sejak 2017 hingga 2022 dan telah berkeliling ke berbagai kota.
Tiga episode itu adalah “Fermentasi Hujan dalam Sepatu”, “Belajar Tertawa”, dan “Portal Ketiga”. Sejak episode pertama Mame dan Roy memulai adegan dengan memakai kaus kaki dan sepatu, lantas bersahutan atau beretorika sambil terus bergerak atau menghentikan gerakan.
Pada hari pertama, Mame dan Roy bertelanjang dada dan menyandang tas ransel di punggung. Ada kalanya keduanya bergantian seperti push-up atau melakukan gerakan lain di properti yang mereka pakai. Peluh membasahi tubuh mereka. Di hari kedua mereka bereksperimen dengan koper dan aneka barang yang bertebaran.
Atenk pun asyik dengan bebunyiannya, meniup saluang yang menghadirkan rasa ngelangut dan kerinduan. Atau dia memutar tongkat kecil di singing bowl yang menimbulkan suasana meditatif. Ia juga seperti mengkosek-kosek lantai properti yang serupa tenda transparan. Ia pun seperti anak kecil bermain air, menuang atau menyiramkan air, sehingga hadir suara gemericik.
Mereka bereksperimen dengan teks, narasi, dan gerak penampil. Atenk menjadi pencipta ilustrasi “musik” bagi dua penampil lain. Seperti saat Mame dan Roy berceloteh tentang kamar mandi serta perabotnya: toilet, gayung, dan bak mandi. Atenk mengangkat botol galon yang berisi air dan menuangkannya. Gemericik air terdengar seperti keluar dari keran.
Teks monolog atau celotehan mereka menghadirkan kekacauan dari aktivitas keseharian yang mungkin keluar tanpa konteks yang jelas. Mereka mengedepankan bahasa tubuh dengan properti yang mereka bawa yang kadang perlu waktu dalam memahaminya dan menimbulkan kebosanan. Monolog, retorika, atau dialog kedua penampil seperti sangat banal dan acak. Dari berbicara tentang ketidakmengertian, kesepian, pemaafan, toilet, politik, hingga dosa.
Sesuatu yang unik dari penampilan teater ini adalah konsistensi mereka untuk lebih inklusif kepada kelompok dengan disabilitas rungu. Caranya adalah menghadirkan juru bicara isyarat. Pada awalnya ia bergerak seperti pemain pantomim, tapi kemudian baru jelas setelah penampil lain berceloteh bahwa ia menerjemahkan dalam bahasa isyarat.
Marina, pemimpin pementasan ini, menjelaskan kehadiran penerjemah bahasa isyarat. Mereka sengaja memasang seorang juru bahasa isyarat karena akan mengundang para penonton difabel rungu. “Kami mengundang komunitas inklusi di Jakarta dan berharap ada yang datang,” tuturnya melalui aplikasi pesan.
Marina menjelaskan, Teater Kantor berkeyakinan dunia ini inklusif sehingga teater pun selayaknya juga bisa dinikmati semua orang. Ia berharap kelompok difabel rungu bisa menonton dan menikmatinya.
PIKRI RAMADHAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo