Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Banjir Pesanan Saat Ramadan dan Lebaran

Ramadan dan Lebaran menjadi masa panen bagi perajin beduk. Tren penjualan beduk cenderung menurun.

 

17 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perajin bedug di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para perajin beduk di Jakarta dan sekitarnya kebanjiran pesanan setiap Ramadan dan Lebaran.

  • Tren penjualan beduk cenderung menurun dari tahun ke tahun.

  • Perajin kudu berinovasi, misalnya dengan membuat miniatur atau beduk mainan.

Abdul Manaf baru merampungkan perbaikan beduk alias bedug saat Tempo mendatangi rumah sekaligus tempat kerjanya di Jalan Pondok Jati Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, pada Ahad, 7 April lalu. Dia kelar mengerik bulu kambing dan merapikan drum pada beduk itu. "Ini punya masjid dekat sini. Ganti kulit saja," kata Manaf, 46 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Idul Fitri menjadi hari raya tersendiri bagi para perajin beduk seperti Manaf. Sebab, selama Ramadan, orderannya melonjak. "Tahun ini saya membuat 50 beduk, cuma tersisa sepuluh," katanya. Di luar bulan puasa, pesanan yang dialamatkan kepadanya nyaris nihil. Agar dapurnya tetap mengepul, Manaf membuat tempat sampah dan pot bunga dari drum plastik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayah dua anak itu memproduksi beberapa varian ukuran beduk. Mulai dari ukuran terkecil dengan panjang tabung 40 sentimeter, ukuran sedang dengan panjang 70 sentimeter, dan ukuran besar dengan panjang 90 sentimeter. Harganya Rp 200-850 ribu. Manaf mencicil pekerjaannya enam bulan sebelum Ramadan. Jadi, saat bulan suci tiba, dia tinggal menjualnya. 

Manaf menjadi pandai beduk sejak 2017. Sebelumnya, dia berjualan bahan pokok. Namun aktivis masjid itu sudah lama dikenal sebagai orang yang andal memperbaiki beduk di masjid-masjid seputar Pondok Aren.

Perajin beduk Abdul Manaf mengerik bulu kambing untuk proses finishing, di Jalan Pondok Jati Raya, Kecamatan Pondok Aren, Tangsel, Banten, 7 April 2024. TEMPO/Jihan Ristiyamti

Untuk membuat beduk, material utamanya adalah drum bekas dan kulit kambing. Manaf membeli kulit kambing utuh Rp 30 ribu per lembar dari penyedia jasa akikah. Kulit dijemur selama tiga hari sebelum bisa dipasang di drum. Setelah itu, bulu kambing dikerik. 

Kebanyakan konsumen Manaf remaja masjid dan perorangan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka umumnya menabuh beduk untuk membangunkan orang saat sahur. "Ada juga pesanan dari perusahaan. Biasanya untuk pajangan," ujarnya. 

Meski berupaya optimistis memandang masa depan penggunaan beduk, nada bicara Manaf terasa lebih lemas saat membicarakan tren penjualan yang menurun. Tahun lalu, misalnya, 80 beduk yang dia bikin ludes terjual. Pembelinya pun lebih beragam, dari Bandung, Medan, hingga Samarinda. Pesanan datang dari lapak online-nya di Facebook dan Tokopedia. "Enggak tahu kenapa tahun ini turun," kata warga Betawi itu.

Beduk merupakan turunan gendang, instrumen musik tabuh. Beduk menjadi bagian dari budaya Islam di Indonesia yang dijadikan penanda waktu salat. Ditabuh sebelum azan, beduk menghasilkan suara yang berat, rendah, dan terdengar hingga jauh. 

Sayangnya, kini semakin sedikit masjid yang menggunakan beduk. Fungsinya digantikan oleh rekaman dan diputar lewat pengeras suara sebelum azan, seperti beduk setinggi dua meter dan panjang tiga meter berusia 300 tahun di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Berbagai penelitian arkeologis menyebutkan beduk berasal dari India dan Cina. Dalam buku Identifikasi Kesenian Khas Banten, Dadan Sujana menuliskan, pada abad XV, Raja Semarang mendapat hadiah beduk dari Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho, yang beragama Islam, merupakan utusan Kekaisaran Ming di Cina. Beduk memiliki kemiripan dengan alat serupa yang ada di kuil-kuil Cina. 

Sementara itu, Cornelis de Houtman, pemimpin ekspedisi pertama Belanda ke Nusantara, pada XVI, dalam catatannya, De Eerste Boek, mengatakan beduk ada sejak akhir era Majapahit pada abad XIV dan XVI. Dia menuliskan beduk banyak didapati di jalanan dengan posisi tergantung yang biasa digunakan sebagai penanda waktu dan alarm bahaya.

Beduk bertahan hingga sekarang, enam abad setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho. Meski tabuhannya tak lagi seramai dulu, jumlah peminatnya masih banyak, terutama selama Ramadan dan Idul Fitri. 

Seperti Abdul Manaf di Pondok Aren, Budi Hermawan alias Demang mempersiapkan 50 beduk untuk dijual selama bulan puasa dan Lebaran tahun ini. Perajin bedug di Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini menyediakan varian ukuran 90 dan 70 sentimeter. Materialnya sama, kulit kambing dan drum bekas. Sebagian besar habis terjual, tersisa empat beduk berukuran besar seharga Rp 700 ribu.

Demang juga menyediakan beduk mainan yang terbuat dari ember plastik bekas es krim dengan tinggi 30 sentimeter dan berlapis kulit kambing. Dia menjualnya Rp 50 ribu. "Kalau dijual ke reseller cuma Rp 40 ribu," kata warga Betawi itu setengah berpromosi.

Budi Hermawan, perajin beduk menjahit kulit kambing di Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, 7 April 2024. Tempo/Jihan Ristiyanti

Demang menggantungkan hidup keluarganya dari beduk sejak 1995. Awalnya, dia iseng membuat beduk untuk kesenangan pribadi. Karena banyak yang menyukai beduk buatannya, dia menjadikan hobi itu sebagai mata pencarian. Selain menggunakan kulit kambing, dia memakai kulit sapi. Menurut dia, kulit sapi lebih tahan pukul dan tidak mudah sobek, tapi harganya lebih mahal. 

Ketimbang Abdul Manaf, Demang lebih optimistis melihat masa depan pekerjaannya. Dia tidak memusingkan empat beduk yang tersisa karena telah menjual lebih dari 200 beduk mainan. Angka itu naik dibanding pada tahun-tahun sebelumnya. 

Pria 48 tahun yang lahir dan besar di Kebon Melati itu diuntungkan oleh posisi rumah dan bengkelnya yang hanya sebatang rokok dari Jalan KH Mas Mansyur. Dia menggelar hasil karyanya di tepi koridor utama Pasar Tanah Abang tersebut. "Pembeli biasanya sudah tahu saya berdagang di situ," ujarnya. Demang mengakui ada satu-dua pekan dagangannya sepi pembeli, tapi hal itu tidak menjadi soal. "Itu cuma karena bulan puasa kemarin sering hujan."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus