Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Riwayat Tari Jaipong, Gubernur Jawa Barat Pernah Terusik Goyangan

Gagasan awalnya membuat tari jaipongan terkait titah Presiden Sukarno yang melarang segala bentuk kesenian berbau barat pada 1965.

4 Januari 2020 | 14.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seniman tari Gugum Gumbira di rumahnya, Bandung, 1985. Dok.TEMPO/Aji Abdul Gofar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Maestro tari jaipongan Gugum Gumbira Tirasondjaja meninggal di usia 74 tahun, Sabtu dinihari 4 Januari 2020. Sejak awal diciptakan pada 1970-an tarian itu mengundang kontroversi. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan pada 2009 pun sempat mempersoalkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gugum menciptakan tari jaipong secara bertahap. Menurutnya seperti dikutip dari kanal YouTube Indonesia Kaya, awalnya dia menciptakan tari ronggeng ketuk tilu hingga tampil di Hongkong pada 1979. Proses kelahiran tari jaipongan berawal dari tari pasangan (couple dance), tari pergaulan (social dance), kemudian menjadi tari pertunjukan (performance dance).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gagasan awalnya membuat tari jaipongan terkait titah Presiden Sukarno yang melarang segala bentuk kesenian berbau barat pada 1965. Saat itu Gugum yang sudah kuliah dan menyukai dansa merasa galau. Solusi dari pelarangan hobinya itu mengarah ke tarian tradisional.

Setelah bergabung ke dalam organisasi Daya Mahasiswa Sunda, Gugum berkeliling daerah di Jawa Barat pada kurun 1967-1974. Tujuannya untuk survei kesenian tradisional apa saja dan masih hidup dimainkan. Dimulai dari Ciamis, Gugum menemukan tari Ronggeng Gunung.

Dari perjalanan keseniannya itu dia mencatat setidaknya ada tiga tarian yang umum dimainkan di Jawa Barat. Jenisnya yaitu tari tayub, pencak silat, dan ketuk tilu. “Saya menyadap tari dan musiknya, itu yang menjadi bahan dasar tari jaipongan,” katanya.

Nama jaipongan muncul ketika datang ke Karawang untuk mencari pemain kendang atau gendang untuk grup musik tradisionalnya, Jugala yang dibentuk 1976. “Jaipongan dari tepak (pukulan) kendang blak tim pong jadi jaipong,” ujar Gugum.

Penari jaipong, Tati Saleh, dan Gugum Gumbira menari Ketuk Tilu di Bandung, Jawa Barat, 1981. Dok.TEMPO/Hasan Syukur

Secara filosofis menurutnya, jaipongan menggambarkan masyarakat Jawa Barat yang dinamis, heroik, dan erotik. “Erotik itu kegiatan mencari titik-titik keindahan. Bukan porno tapi dalam kacamata seni.”

Dia mengakui pada awalnya tari jaipongan mendapat halangan dari beberapa seniman dan tokoh masyarakat Sunda yang tidak setuju. Gugum keukeuh hingga menciptakan tarian Oray Welang. Tarian awal jaipongan itu dia jadikan sebagai dasar tarian jaipongan.

Hingga 2009, kontroversi tari jaipongan masih berdenyut. Gubernur Jawa Barat masa itu Ahmad Heryawan meminta agar gerak tariannya diperhalus pun pakaian penari perempuannya lebih tertutup.

Sempat beredar isu Gubernur Jawa Barat melarang tari jaipongan. Para seniman tari termasuk Gugum bereaksi dengan menggelar pertemuan tertutup dengan Ahmad Heryawan. Tujuannya untuk meminta penjelasan soal isu yang beredar.

Heryawan seperti diberitakan Koran Tempo 10 Februari 2009 enggan menyampaikan langsung ke pers. Lewat Gugum, soal imbauan dan pelarangan tari jaipongan kata Heryawan merupakan interpretasi kepala dinasnya.

Permintan itu menurut Gugum tidak hanya ditujukan ke karyanya. Semua tarian di Jawa Barat diminta menjaga moral dengan menghindari pakaian minim dan goyang berlebihan. “Saya tak merasa satu kata pun keluar yang mengatakan atau mengimbau apalagi melarang terhadap jaipongan,” kata Gugum mengutip ucapan Heryawan.

Gugum Gumbira kelahiran Bandung, 4 April 1945 beristrikan penembang Sunda Euis Komariah yang lebih dulu wafat. Meninggalkan empat orang putra, dia dimakamkan di Majalaya.


ANWAR SISWADI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus