Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saksi terakhir peristiwa G-30-S itu telah tiada. Letnan Kolonel Heru Atmodjo, penerbang kelahiran Jember 1929, menjabat Asisten Direktur Produksi Intelijen Angkatan Udara RI saat kejadian tragis tersebut meletus. Ia mengikuti perkembangan peristiwa sehari sebelum terjadi, pada hari-H, dan beberapa hari setelah meletus gerakan lokal yang ternyata berdampak sangat panjang secara nasional itu. Ia adalah ”saksi mata” gerakan tersebut. Pada 29 Januari 2011, ia meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Heru diperintah atasannya menjemput Brigjen Soepardjo dari Istana ke Halim Perdanakusuma dengan helikopter agar dapat bertemu dengan Presiden Sukarno. Dia kemudian mengantar Soepardjo menemui Letkol Untung dan kawan-kawan. Semasa menjadi tahanan selama 15 tahun, Heru juga berkomunikasi dengan tahanan politik penting lainnya, termasuk Soepardjo sendiri. Berarti informasi yang disampaikannya adalah informasi dari tangan pertama.
Seorang peneliti Belanda, Coen Holtzappel, menuding Heru Atmodjo dan ”operasi khusus intelijen AURI” terlibat dalam G-30-S, bahkan Heru sendiri dituduh ”menyediakan senjata, truk, dan uang” bagi gerakan tersebut. Sedangkan Sjam ”mungkin seorang perwira AURI”. Secara sistematis Heru membantah tuduhan Holtzappel tersebut, bahkan ia sempat bertemu dengan Coen Holtzappel di Belanda dan terlibat dalam perdebatan sengit.
Di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) terhadap Letkol Untung, Heru sebagai saksi perkara disebut ikut menandatangani dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi. Namun pada sore harinya setelah mendengar bahwa itu gerakan kontrarevolusi, ia meminta tanda tangan tersebut dicabut. Namun dokumen ini tidak dapat ditemukan karena dikatakan oleh Pono telah terbakar.
Apakah dokumen otentik tentang dekrit yang dikeluarkan Untung itu masih ada? Dan tersimpan di mana? Selanjutnya mengapa namanya ditulis Heru saja dalam susunan Dewan Revolusi, padahal ada sekian nama Heru di kalangan AURI? Apakah ini pertanda kecerobohan pengetik dokumen tersebut atau karena nama tersebut dipasang tanpa setahu yang bersangkutan?
Dalam sidang Mahmilub terhadap Njono, Mayor Soejono selaku saksi mengatakan bahwa dia melapor kepada atasannya, yaitu Heru Atmodjo. Tapi sesungguhnya, meskipun pangkatnya lebih tinggi secara struktural, Heru tidak membawahkan Soejono. Letnan Kolonel Heru Atmodjo adalah Asisten Direktur Produksi Intelijen, sedangkan Mayor Soejono adalah Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara. Kesaksian Heru dengan Soejono bersilangan, seperti diakui juga oleh Wertheim. Hal ini dapat dipahami sebagai taktik para pemeriksa untuk mengorek keterangan.
Penilaian Heru Atmodjo tentang apa yang terjadi di Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965 sangat tajam. Seandainya Presiden Sukarno langsung mengambil alih pimpinan tertinggi angkatan bersenjata tanpa menunjuk caretaker Angkatan Darat dan selanjutnya mengambil tindakan tegas (termasuk mencopot Mayjen Soeharto yang menolak datang ke Halim), mungkin keadaan bisa lain.
Dalam buku John Roosa, Pretext for Mass Murder, Heru mengungkapkan bahwa pemimpin G-30-S itu sebetulnya bukan Letnan Kolonel Untung, melainkan Sjam Kamaruzaman. Mereka yang melakukan aksi menculik para jenderal dan berencana menghadapkannya kepada Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi ABRI terdiri atas unsur militer dan sipil (biro khusus PKI).
Sjam menjadi perekat dan penentu di antara dua unsur ini. Ketika skenario mereka gagal (beberapa jenderal tertembak dan Presiden Sukarno memerintahkan aksi ini dihentikan), terjadi perpecahan di antara kedua kelompok tersebut. Maka penumpasan mereka tinggal menunggu jam atau hari.
Sabtu, 29 Januari 2011, Heru Atmodjo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai pemegang Bintang Gerilya. Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar, ia pernah berjuang di Jawa Timur selepas proklamasi kemerdekaan.
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, sebetulnya hanya pahlawan nasional dan pemegang gelar Bintang Republik Indonesia dan Bintang Mahaputra yang berhak dimakamkan di taman makam pahlawan utama. Namun, setelah Legiun Veteran RI menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemegang Bintang Gerilya dibolehkan Garnisun Jakarta dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo