Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Runtuhnya Jumlukiyyah Arabiyyah

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novriantoni Kahar

  • Aktivis Jaringan Islam Liberal, bermukim di Exeter, Inggris

    Dalam komentarnya untuk Guardian, Fawaz Gerges menyebut rangkaian gejolak yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Yaman merupakan momentum Berlin bagi dunia Arab. Inilah masa ketika ”Tembok Berlin” otoritarianisme dunia Arab akan berjatuhan. Gejolak ini masih merupakan awal dari serial musim rontok status quo di kawasan Timur Tengah. Bagi profesor politik Timur Tengah dan hubungan internasional di London School of Economics itu, kita segera akan menyaksikan munculnya era baru, tidak hanya di Mesir, tapi juga di kawasan Arab lain.

    Sebelum protes di Mesir menunjukkan tanda-tanda akan berhasil, pengamat Timur Tengah memang masih banyak yang meragukan menjalarnya efek Tunisia ke kawasan lain. Taunasah al-Arab, atau Tunisiasi dunia Arab, selain merupakan kalimat yang menakutkan, dianggap sebagai wishful thinking yang sulit ditiru di tempat lain. Namun, sejak Mubarak terpaksa mengulur waktu dengan menunjuk wakil presiden dan melakukan perombakan kabinet (29 Januari 2011) akibat tuntutan massa, lebih banyak pengamat yang kini percaya bahwa Tunisiasi Arab bisa menjadi kaidah.

    Sebagian orang misalnya berharap Tunisiasi segera terjadi di Arab Saudi, tempat Wahabisme diolah menjadi ideologi kejumudan dan kepicikan yang lalu diekspor ke berbagai dunia muslim. Namun harapan terjadinya pergantian rezim di negara-negara yang berbentuk monarki seperti Saudi atau Kuwait, karena banyak faktor, mungkin jauh panggang dari api. Dalam waktu dekat ini, masih sulit membayangkan akan terjadinya efek Tunisia di Arab Saudi, Maroko, Qatar, Bahrain, ataupun negara Arab Teluk lainnya. Kerajaan Yordania, yang kini agak memanas, pun mungkin masih akan bertahan dalam status quo-nya.

    Efek Tunisia paling mungkin menerpa negara-negara yang aslinya republik tapi menunjukkan gelagat seperti sistem kerajaan. Inilah negara-negara yang dalam istilah Saad Eddin Ibrahim, sosiolog Mesir, disebut Jumlukiyyah Arabiyyah atau republik monarkis Arab. Kata jumlukiyyah merupakan perpaduan antara kata Arab jumhuriyyah (republik) dan mamlakiyyah (monarki). Istilah ini diperkenalkan Ibrahim tatkala Hafez Assad—mendiang Presiden Suriah yang berbentuk republik—mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Presiden Suriah saat ini, Bashar Assad.

    Hampir semua penguasa negeri Arab berbentuk republik memang menunjukkan gelagat akan mewariskan negara kepada anak atau sanak keluarga mereka menurut pola Assad. Satu-satunya penghalang bagi Presiden Tunisia yang baru saja digulingkan, Zine al-Abidine Ben Ali, untuk mewariskan kekuasaan tak lain hanya ia tak punya anak laki-laki.

    Gelagat dan niat Ali Abdullah Saleh di Yaman, Muammar Qadhafi di Libya, Husni Mubarak di Mesir, yang mengarah ke republik monarkis, kini berada dalam tantangan. Jika efek Tunisia benar-benar berhasil di Mesir dengan mundur atau terusirnya Mubarak, dengan sendirinya ini akan menjadi momentum runtuhnya Jumlukiyyah Arabiyyah.

    Selain upaya melawan jumlukiyyah, masyarakat Arab yang saat ini berupaya mereplikasi dan mempercepat terjadinya Tunisiasi di negeri mereka sendiri juga punya beberapa alasan kuat. Pertama, beberapa penguasa di beberapa negara memang sudah bertakhta sekian lama serta punya rekam jejak korupsi dan kediktatoran yang cukup panjang dan membosankan. Masa jabatan Presiden Mubarak di Mesir sudah 30 tahun, Saleh di Yaman 32 tahun, bahkan di Libya, Qadhafi sudah 42 tahun bertakhta.

    Kedua, kebanyakan negara tersebut selama ini cukup berhasil menjual isu bahaya ekstremis-islamis guna menampik perubahan dan mendapat dukungan dunia luar terhadap status quo mereka. Kini pantas disyukuri bahwa Revolusi Bouazizi di Tunisia—yang minim, kalau bukan nihil, dari intervensi kaum islamis—menunjukkan bahwa dunia Arab tak harus memilih simalakama antara otoritarianisme penguasa militer dan kaum islamis picik.

    Rakyat Mesir dan Yaman kini sedang berjuang untuk mewujudkan revolusi serupa sembari dengan tidak mudah menahan watak islamisnya. Hilangnya Al-Ikhwan al-Muslimun dari protes-protes di Mesir sengaja dilakukan untuk menjaga agar rezim tidak mengaborsi tuntutan perubahan yang disuarakan para demonstran.

    Faktor ketiga adalah soal kesenjangan ekonomi. Efek Tunisia akan lebih manjur pada negara-negara yang lebih miskin, dengan tingkat kesenjangan antara minoritas yang berpunya dan mayoritas yang tidak berpunya terlalu tinggi. Ini konsekuensi dari terbentuknya oligarki antara penguasa pemburu rente dan pengusaha yang meraih profit dari sistem perkoncoan yang sudah berlangsung lama.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus